Minggu, 06 Januari 2013

Surga di Telapak Kaki Ibu


Surga di Telapak Kaki Ibu
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO,  06 Januari 2013



Saya masih punya ibu yang, alhamdullilah, masih sehat. Usianya sudah 90 tahun, tetapi masih bisa menelepon, masih bisa membaca tanpa kacamata, masih ke Jakarta hampir setiap hari (beliau tinggal di Bogor), dan masih memimpin Yayasan Panti Asuhan Muslimin (warisan ibunya, alias eyang putri saya dan adik-adik saya). 

Di samping itu, saya juga punya istri yang, alhamdullilah, juga masih aktif. Karena sama-sama aktivis, banyak yang kenal dua-duanya, ibu saya dan istri saya. Akibatnya saya selalu bingung kalau ada teman yang mengatakan, “Salam pada ibu”. Jadi saya selalu balik bertanya, “Ibu yang mana? Ibu saya, atau istri saya?” Ada lagi cerita lain. Seorang teman saya sudah beberapa tahun bercerai dari istrinya. Akhir-akhir ini dia dekat dengan seorang wanita yang juga baru saja bercerai dari suaminya.

Keduanya sudah cukup serius mau lanjut ke pernikahan, tetapi anak-anak teman saya tidak setuju. Mereka masih sayang pada ibunya. Tidak ikhlas kalau ada ibu tiri. Kebingungan, kawan saya itu bertanya pada saya, “Bagaimana baiknya?”. Jawab saya, “Katakan pada anak-anakmu, Bunga (bukan nama sebenarnya) akan jadi istriku, tetapi tidak akan menjadi ibumu. Ibumu ya tetap ibu kandungmu itu, tidak ada yang bisa menggantikannya”. Jadi konsep “ibu” itu tidak hanya satu, melainkan banyak. 

Yang dimaksud dengan ibu dalam “surga di telapak kaki ibu”, tentunya ibu saya, bukan istri saya. Kata guru agama saya, buat istri yang ada adalah “swarga nunut, neraka katut” (bahasa Jawa, karena memang semasa sekolah keluarga kami tinggal di Jawa Tengah), artinya “ke surga [istri] ikut, ke neraka terbawa-bawa”. Jadi istri wajib menjaga tauhid, iman serta amal suaminya, agar terjamin masuk surga (kaum feminis pasti protes, tetapi saya hanya copy paste guru agama saya, loh). 

Bahwa konsep ibu itu bermakna banyak, kita semua sudah mafhum. Ada ibu kandung, ada ibu tiri, ibu sepesusuan ,ibu pejabat, ibu ketua, ibu kota, ibu pertiwi, Ibu Pratiwi (istri saya), ibu-ibu.... masak, yuuk. Tetapi ada dua hal yang sering kali mengacaukan konsep ibu dalam praktik sehari-hari. Yang pertama adalah pencampuradukan konsep seperti yang dialami kawan saya tersebut di atas. Anak-anaknya mencampurkan antara konsep istri dengan konsep ibu. Dulu memang, istri identik dengan ibu. Sekarang, bukan lagi. Mawar adalah calon istri ayah, bukan calon ibunya anak-anak, alias ibu tiri. 

Yang kedua adalah generalisasi konsep. Ibu tiri, misalnya selalu dianggap jahat, dan saudara-saudara tiri jadinya juga dianggap jahat. Seperti dalam dongeng “Putri Salju” dan “Bawang Merah, Bawang Putih” (aneh, namanya kok Bawang, bukan Bunga?). Padahal ibu tiri, atau istrinya Papa yang baru, banyak juga yang baik. Cobalah Anda ingat-ingat dalam daftar teman, kerabat atau sanak saudara Anda, sangat boleh jadi ada di antara mereka yang ibu tiri tetapi baik. 

Sebaliknya, coba baca koran hari ini. Pasti ada saja berita tentang ibu membunuh anaknya (mungkin karena desakan ekonomi), atau bayi masih merah dibuang di got, pastinya oleh ibu kandungnya (karena malu, hamil di luar nikah), atau yang terjadi setiap hari di mana saja, yaitu ibu yang KDRT pada anak kandungnya gara-gara anaknya malas belajar, main melulu atau tidak nurut pada kata ibunya. Kalau saya kebetulan memberi ceramah kepada remaja, sering saya tanyakan, “Siapa yang pernah atau masih benci pada ibunya?”, maka banyak sekali yang tunjuk tangan (atau tunjuk jari, tergantung apa yang ditunjukkan). 

Lalu bagaimana dengan kata-kata mutiara “Surga di telapak kaki ibu”, atau pepatah “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan”? Lebih runyam lagi, dengan kemajuan teknologi zaman sekarang, jenis ibu makin beragam. Dulu, di zaman Rasulullah, hanya ada yang namanya ibu sepesusuan. Yaitu kalau ibu yang ASI-nya kurang, bayinya boleh disusui oleh ibu lain yang kebetulan juga sedang menyusui dan ASI-nya tumpah ruah. Jadi dua (atau lebih) bayi, punya satu ibu sepesusuan.

Bayi-bayi yang menyusu dari satu ibu itu, kalau besar tidak boleh menikah. Baik untuk bayi-bayi yang berbeda jenis kelamin, maupun kalau jenis kelaminnya sama (wah, gawat kalau ini tidak dilarang). Tetapi sekarang saudara sepesusuan sudah tidak pernah saya dengar lagi, minimal di Indonesia (entah kalau di Arab sana). Di sisi lain, dengan bantuan teknologi medis, satu bayi bisa punya dua ibu kandung. Ibu kandung pertama adalah ibu dari mana telur (ovum) berasal. Karena berbagai alasan medis, ibu ini tidak bisa atau tidak boleh mengandung. 

Maka telur itu dibuahi dengan sperma suaminya dalam sebuah mesin (lebih tepatnya alat di laboratorium), dan hasil pembuahan dengan mesin itu ditanamkan kembali ke kandungan seorang ibu lain yang sehat, sehingga kehamilan berlangsung normal dan bayi lahir dari ibu kandung kedua, yaitu ibu titipan (surrogate mother). Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, ibu titipan ini legal (sah menurut hukum). Biasanya, si ibu titipan sebelumnya sudah menandatangani surat perjanjian bahwa ia akan menyerahkan bayinya yang akan lahir nanti, ke ibu asli.

Untuk itu, ibu titipan mendapat imbalan uang. Ibu dan ayah asli ikhlas, karena sangat mendambakan anak. Namun, yang terjadi adalah banyak ibu titipan yang ingkar janji (istilah hukumnya: wanprestatie). Proses mengandung dan melahirkan, mau tidak mau akan menimbulkan hubungan emosional antara ibu (titipan) dan bayinya. Maka wajar secara psikologis (tetapi tetap wanprestatie secara hukum), kalau ibu titipan tidak mau melepaskan bayinya. Di Indonesia belum ada ibu surrogate dengan teknologi tinggi seperti itu, tetapi yang banyak justru ibu-ibu titipan nonteknologi. 

Misalnya seorang ibu yang kebanyakan anak, sementara kemampuan suaminya terbatas, ikhlas menitipkan anaknya ke kakaknya yang kebetulan belum punya anak. Anak itu boleh mengunjungi ibu kandungnya setiap liburan sekolah. Ibu kandungnya di panggilnya “mbok” (karena di desa di Jawa Tengah), sedangkan ibu titipannya dipanggil (karena orang Jakarta) “bunda”. Contoh lain, remaja putri kelas II SMA, tiba-tiba hamil (sebetulnya tidak terlalu tiba-tiba sekali, sih, tetapi ketahuannya tiba-tiba).

Terlambat, tidak bisa lain kecuali bayi itu dilahirkan. Setelah lahir, dokter membuat surat keterangan lahir atas nama eyang putri dan eyang kakung sebagai ibu dan ayah kandung (maksud dokter baik, yaitu menolong keluarga daripada menanggung aib seumur-umur). Anak itu kemudian memanggil eyang-eyangnya (nenek-kakeknya) atau orang tua titipannya dengan “mama-papa”, sedangkan ibu kandungnya dipanggil “kakak”. 

Masalah di kemudian hari timbul, jika secara pelan-pelan, tidak disadari, para ortu titipan dan ibu kandung ini kembali kepada peran aslinya. Si kakak berperan seakan-akan sebagai ibu kandung, sementara mama-papa makin lepas tangan. Anak jadi bingung, “Siapa sih mamaku sebenarnya?”. Nah, kebingungan seperti inilah yang juga menyebabkan saya bingung ketika dititipi salam untuk “Ibu Sarlito” (ibu atau istri?), dan anak-anak teman saya galau ketika ayahnya mau membawa istri (atau ibu?) baru ke rumah.

Terlalu banyak konsep tentang ibu, yang sebetulnya tidak apa-apa, selama kita menyadarinya dan bisa memilah-milahnya dan menempatkannya pada konteks yang tepat. Dengan begitu, kita tidak perlu lagi terlalu percaya kalau ada yang mengatakan,“Mana ada ibu yang tega pada anaknya sendiri?” atau “Semua ibu sayang kepada anaknya”. Memang realita sering kali jauh dari norma. Selamat Tahun Baru 2013!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar