Senin, 07 Januari 2013

Ulil : Beda Tafsir Bukan Penodaan


Ulil : Beda Tafsir Bukan Penodaan
Tantowi Anwari ;  Aktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
ISLAMLIB.COM,  04 Januari 2013



“Ketika kelompok mayoritas di banyak tempat di dunia ini, termasuk Indonesia, selalu punya cara untuk mendiskreditkan minoritas, maka kebebasan beragama dan berkeyakinan harus menjadi elemen penting dalam ide kebebasan politik dan sipil.”

Kalimat ini meluncur saat Ulil Abshar-Abdalla menyampaikan materi Pluralisme & Kebebasan Beragama dalam Workshop Jurnalis “Memberitakan Isu Keberagaman” yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di Surabaya 24 – 25 November 2012 lalu. Workshop ini digelar berkat kerjasama SEJUK dengan AJI Surabaya yang diikuti 20 jurnalis yang bekerja untuk media lokal dan nasional. Selain dari sekitar kota Surabaya, peserta workshop berasal dari Malang, Kediri, dan Madura.

Kebebasan beragama mestinya menjadi kerangka berpikir dalam melihat peran dan tanggung jawab negara. Bagaimanapun, kelompok mayoritas akan memajukan tafsir mainstream-nya untuk menentukan aturan sosial di masyarakat dan menuntut pemerintah menjadikannya peraturan atau kebijakan politik.

Sehingga, tafsir atas gagasan pluralisme dan kebebasan beragama bukan perkara mudah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh di Indonesia yang relevan: UU No. 1 PNPS 1965 pernah diajukan dalam judicial review oleh teman-teman LSM dan Gusdur, karena dalam banyak kasus UU tersebut justru melawan prinsip kebebasan beragama. Sayangnya, proses itu gagal dan ditolak MK.

Padahal, kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang harus secara konsisten diberikan negara kepada masing-masing kelompok, bukan malah mempidanakan kelompok dan warganya karena perbedaan tafsir. Negara tidak bisa ikut campur atau mengadopsi salah satu tafsir dari kelompok-kelompok tertentu untuk dijadikan aturan publik (UU) yang pada akhirnya diskriminatif atau meminggirkan kelompok yang dianggap berbeda/kecil. Maka, UU penodaan agama harus dihapus.

Dengan tumbuhnya kesadaran HAM, negara di berbagai kawasan di dunia cenderung tidak lagi mengkriminalisasi orang yang “menodakan agama” karena beda tafsir. Ada kategori lain yang lebih tepat dan bisa dipakai: hate spech atau syiar kebencian. Setiap pihak yang secara sengaja menyebarkan kebencian sehingga mengancam hak dan kebebasan warga negara lainnya, maka harus ditindak secara hukum. Tetapi, perbedaan tafsir bukan penodaan agama, dan karena itu pula sama sekali tidak boleh dibatasi. 

Sehingga, istilah/diksi/bahasa sesat, kafir, menodai, dan lain-lain dari kelompok-kelompok agama tertentu terhadap kelompok lainnya tidak boleh dipakai oleh negara, begitupun media massa, sebagai lembaga publik. Jauh lebih aman bagi aparat pemerintah dan media massa dalam melihat keberagaman paham keagamaan dengan menggunakan diksi/bahasa “kelompok yang berbeda.”

Harus diakui, konflik kebebasan beragama memang mempunyai banyak faktor penyababnya, tetapi perbedaan keyakinan dan kecenderungannya yang konservatif menjadi faktor dominan dalam menindas kalangan marginal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar