Ulil : Beda
Tafsir Bukan Penodaan
Tantowi Anwari ; Aktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
|
ISLAMLIB.COM,
04 Januari 2013
“Ketika kelompok mayoritas di banyak tempat di dunia ini,
termasuk Indonesia, selalu punya cara untuk mendiskreditkan minoritas, maka
kebebasan beragama dan berkeyakinan harus menjadi elemen penting dalam ide
kebebasan politik dan sipil.”
Kalimat ini meluncur saat Ulil
Abshar-Abdalla menyampaikan materi Pluralisme & Kebebasan Beragama dalam
Workshop Jurnalis “Memberitakan Isu
Keberagaman” yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman
(SEJUK) di Surabaya 24 – 25 November 2012 lalu. Workshop ini digelar berkat
kerjasama SEJUK dengan AJI Surabaya yang diikuti 20 jurnalis yang bekerja
untuk media lokal dan nasional. Selain dari sekitar kota Surabaya, peserta
workshop berasal dari Malang, Kediri, dan Madura.
Kebebasan beragama mestinya
menjadi kerangka berpikir dalam melihat peran dan tanggung jawab negara.
Bagaimanapun, kelompok mayoritas akan memajukan tafsir mainstream-nya untuk menentukan aturan sosial di masyarakat dan
menuntut pemerintah menjadikannya peraturan atau kebijakan politik.
Sehingga, tafsir atas gagasan
pluralisme dan kebebasan beragama bukan perkara mudah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Contoh di Indonesia yang relevan: UU No. 1 PNPS 1965
pernah diajukan dalam judicial review
oleh teman-teman LSM dan Gusdur, karena dalam banyak kasus UU tersebut justru
melawan prinsip kebebasan beragama. Sayangnya, proses itu gagal dan ditolak
MK.
Padahal, kebebasan beragama dan
berkeyakinan adalah hak yang harus secara konsisten diberikan negara kepada
masing-masing kelompok, bukan malah mempidanakan kelompok dan warganya karena
perbedaan tafsir. Negara tidak bisa ikut campur atau mengadopsi salah satu
tafsir dari kelompok-kelompok tertentu untuk dijadikan aturan publik (UU)
yang pada akhirnya diskriminatif atau meminggirkan kelompok yang dianggap
berbeda/kecil. Maka, UU penodaan agama harus dihapus.
Dengan tumbuhnya kesadaran HAM,
negara di berbagai kawasan di dunia cenderung tidak lagi mengkriminalisasi
orang yang “menodakan agama” karena beda tafsir. Ada kategori lain yang lebih
tepat dan bisa dipakai: hate spech
atau syiar kebencian. Setiap pihak yang secara sengaja menyebarkan kebencian
sehingga mengancam hak dan kebebasan warga negara lainnya, maka harus
ditindak secara hukum. Tetapi, perbedaan tafsir bukan penodaan agama, dan
karena itu pula sama sekali tidak boleh dibatasi.
Sehingga, istilah/diksi/bahasa
sesat, kafir, menodai, dan lain-lain dari kelompok-kelompok agama tertentu
terhadap kelompok lainnya tidak boleh dipakai oleh negara, begitupun media
massa, sebagai lembaga publik. Jauh lebih aman bagi aparat pemerintah dan
media massa dalam melihat keberagaman paham keagamaan dengan menggunakan
diksi/bahasa “kelompok yang berbeda.”
Harus diakui, konflik kebebasan
beragama memang mempunyai banyak faktor penyababnya, tetapi perbedaan
keyakinan dan kecenderungannya yang konservatif menjadi faktor dominan dalam
menindas kalangan marginal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar