Rabu, 02 Januari 2013

Optimisme Baru


Optimisme Baru
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SINDO,  02 Januari 2013



Selamat Tahun Baru! Di awal tahun ini, saya ingin berbagi cerita tentang perjumpaan saya dengan seorang kawan baik, perempuan Indonesia berprofesi akuntan yang sudah lama menetap di Amerika Serikat. 

Sebagaimana layaknya pertemuan seorang kawan lama, apalagi karena dia sudah saya anggap seperti adik sendiri, perbincangan antarkami mengalir sangat lancar.Ia menanyakan apa saja perkembangan politik ekonomi Indonesia dan apa saja yang sedang dikembangkan di Tanah Air. Satu pertanyaan yang sangat menggelitik dari dia. Apa yang harus kita kerjakan pada 2013, terutama para orang muda Indonesia? 

Pertanyaan macam itu yang sebenarnya perlu didiskusikan secara berkala di antara praktisi dan pemikir di Indonesia.Negeri ini termasuk negeri berpopulasi penduduk usia muda. Rugi besar bila kita mengabaikan potensi mereka. Apalagi tahun 2013 adalah tahun yang sangat menentukan bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan daya saing Indonesia dalam percaturan politik ekonomi global. Ini tahun di mana kita perlu bergerak cepat melengkapi kekurangan dan kelemahan supaya tepat 1 Januari 2014 segala instrumen bagi Indonesia sebagai negara maju sudah siap pakai. 

Gerak cepat diperlukan karena tahun ini negara-negara Barat masih akan disibukkan oleh pergulatan membangun “jembatan penyelamat” bagi perekonomian mereka yang kembang-kempis. Dari segi regulasi, mereka butuh waktu untuk sampai pada satu kesepakatan politik internal. Namun, jangan kita lengah. Penduduk di negara-negara tersebut termasuk cepat beradaptasi. Dengan bekal pendidikan, keterampilan,mentalitas serta kebiasaan hidup (habitus) kompetitif dalam kehidupan yang serbaindividualistis, mereka akan menciptakan caracara baru untuk menyalip Indonesia, China, India, Brasil.

Mereka sudah punya instrumennya seperti sistem perbankan yang maju, sistem logistik dan mekanisme bisnis hulu-hilir yang lengkap dan satu atap, serta cara berpikir yang sistematis dan berstandar internasional. Jangan heran, mereka pasti lebih agresif melakukan penetrasi ke Indonesia. Sektor swasta di belahan dunia Barat tidak akan tinggal diam menunggu pemerintahnya tiba pada kesepakatan politik. Negara-negara berkembang seperti Indonesia akan makin merasakan tekanan ekonomi pasar global. Bukan tekanan secaraabstrak,tetapiriilkarena sosok tekanan itu bisa dilihat langsung di Tanah Air.

Pasokan barang dan jasa dari berbagai negara di seluruh dunia akan dengan mudah ditemui di Indonesia, mulai dari barang pecah belah dari Turki, sepatu dan tekstil dari China,teknologi ramah lingkungan dari Spanyol hingga jasa layanan teknologi informasi dari India dan masih banyak lagi. Di kala penduduk di belahan dunia lain mengetatkan ikat pinggang dan mengurangi porsi belanja, penduduk Indonesia justru sedang hobi (dan mampu) berbelanja.Wajar jika negara-negara lain ingin agar orang Indonesia berbelanja produk dan jasa buatan mereka.

Yang repot tentu para produsen lokal. Jika harga dan mutu barang serta jasa mereka tidak dianggap keren atau mewah oleh konsumen, kalah sainglah dia. Jika tak ada gebrakan insentif untuk orang Indonesia membeli produk dan jasa lokal, akhirnya kita akan sibuk mengisi pundi-pundi uang negara lain saja. Namun, saya kemudian diingatkan oleh keunikan hubungan antarorang Indonesia dan rata-rata orang Asia.Misalnya hubungan saya dengan kawan tadi. Kami sama sekali tidak punya ikatan darah dan kami bertemu dalam usia dewasa. Kebetulan kami “klik” dan nyaman berdiskusi sehingga meskipun sudah hidup berjauhan, kami saling ingat. 

Ketika bertemu,tanpa direncanakan, kami saling bertukar hadiah. Di situ saya terhenyak karena meskipun ia sudah lebih dari 18 tahun hidup dan bekerja di AS,kultur Indonesia masih melekat erat dalam dirinya. Rupanya tiap kali melihat barang unik (dan tidak murah lho),ia terpikir untuk membelikan itu untuk saya dan anak saya. Kata “kamu seperti saudara sendiri” dimaknai sungguh- sungguh dengan memberikan yang terbaik.Penuh perhatian dan tulus. Hubungan semacam itu tidak pernah saya rasakan dalam budaya Barat.Bahkan antarkeluarga sedarah pun ritual bertukar hadiah di antara mereka lebih sering karena alasan praktis saja. 

Hadiah pun diberikan karena alasan harga dan bukan karena ikatan sentimental dengan pihak yang menerima hadiah. Ini unik.Orang Indonesia di mana pun mereka berada sebenarnya loyal satu dan lainnya. Artinya ada ikatan emosional yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat jaringan penguatan ilmu pengetahuan,keterampilan, dan teknologi bangsa ini.Tidak selalu dengan pendidikan formal, tetapi dengan berbagi pengalaman. Bayangkan dahsyatnya bila tiap orang Indonesia bergegas menyerap ilmu dari segala penjuru bumi dan menyalurkannya untuk membangun kekuatan sosial ekonomi.

Tak sulit pasti karena rata-rata orang Indonesia sebenarnya sangat lihai mengambil hati orang. Alih teknologi akan selalu mahal jika kita menunggu saja. Mereka yang bersekolah, bekerja atau menetap di luar negeri adalah modal kita untuk menyerap informasi dan keahlian sebanyak-banyaknya dari negara-negara lain.Hal ini pernah terjadi di India pada era 1980–1990-an di mana banyak anak muda cerdas tak kembali ke India setelah menyelesaikan tugas belajar di Eropa dan Amerika.

Namun ternyata sejauh-jauhnya mereka pergi, ikatan terhadap tanah leluhur lebih kuat tarikannya ketimbang materi ekonomi. Saat ini India dikenal sebagai sebuah negeri outsourcing,khususnya di bidang teknologi informasi. Sekaranglahkesempatanuntuk menyelami para pesaing kita, apalagi pihak Barat tak segan membuka diri di kala ekonomi mereka sulit seperti ini. 

Bangsa Indonesia perlu bersyukur bahwa dibandingkan dengan negara-negara lain, kita termasuk bangsa yang berhasil melewati sejumlah krisis ekonomi global. Melewati krisis ekonomi sekaligus politik di tahun 1998, kita makin menyadari sistem dan pemimpin seperti apa yang dibutuhkan negeri ini. Gerakan reformasi telah melapangkan jalan bagi tokoh-tokoh politik muda. Sejumlah pemikir dan kaum intelektual yang beriktikad baik berhasil mendapatkan akses politik dan karier baik di kementerian. 

Politisi busuk pun dengan lebih mudah dikenali. Korupsi tampaknya akan tetap menjadi fokus perhatian di tahun ini. Meskipun ada yang apatis atau kecewa dengan banyaknya kasus korupsi yang terungkap, saya melihat itu semua sebagai hal positif yang perlu diapresiasi karena penegak hukum mulai unjuk gigi memburu para politikusbirokrat yang telah menggerogoti uang rakyat. Bila tidak positif,mustahil kiranya para investor tetap memercayakan uangnya untuk diinvestasikan di Indonesia. 

Kita tak boleh lupa akan naluri tulus individu Indonesia yang senang berada dalam kebersamaan.Kita perlu yakin bahwa individu yang baik akan terus berjuang mengasah keterampilan untuk menangani kecurangan,korupsi,dan kekerasan. Kita buka kesempatan seluas-luasnya bagi orang baik untuk berperan dalam kehidupan publik di Tanah Air. Satu lagi hal yang menggembirakan adalah bahwa ideologi partai politik mulai terkuak dan tidak lagi sembunyi di bawah bayang-bayang sektarian. 

Partai politik tidak lagi sibuk berlomba-lomba mewacanakan isu nasionalisme versus agama,tetapi mulai mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan kewarganegaraan, termasuk untuk hidup bebas korupsi.Tentu saja di sejumlah daerah masih ada saja orang yang mudah termakan isu sektarian, tetapi kita perlu yakin bahwa kecerdasan politik masyarakat dan partai politik akan makin berkembang. Percayalah, bangsa ini punya kemampuan beradaptasi dan kerja sama yang baik.

Para pemimpin dan politisi negeri ini perlu memupuk dan memfasilitasi kemampuan warga ini dengan sebaik-baiknya. Jangan serahkan pengembangan sumber daya manusia pada pasar. Jangan biarkan orang muda yang peduli cuma jadi penonton dan komentator. Buatlah mereka menjadi bagian dari langkah strategis yang terencana sehingga tahun peluang ini membuahkan hasil sebaik-baiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar