Rabu, 23 Januari 2013

Maulid Nabi dan Resolusi Problem


Maulid Nabi dan Resolusi Problem
Aunillah Reza Pratama ;  Anggota Dewan Isyrafi Yasalma Yogyakarta
SUARA KARYA, 23 Januari 2013

  
Menurut Michael H Hart, yang memosisikan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh teratas dalam daftar paling berpengaruh di dunia, Nabi Muhammad adalah satu-satunya orang dalam sejarah yang sangat berhasil, baik dalam hal keagamaan maupun sekuler. Dari asal-usulnya yang bersahaja, Nabi Muhammad mendirikan dan mengembangkan salah satu agama besar dunia (Islam), serta menjadi pemimpin politik yang sangat efektif. Saat ini, empat belas abad pascawafatnya, pengaruhnya masih kuat dan merasuk.
Kelahiran Nabi SAW pada 571 M lalu menjadi inspirasi bagi para pujangga dan penyair untuk membuat sederetan kata-kata indah. Ambisi besarnya pada kenabiannya telah melahirkan tatanan baru dunia bagi umat manusia agar menjadi umat beradab. Kelahirannya seolah menjadi kabar gembira bagi seisi alam yang menantikan perdamaian, kesucian, dan kesejahteraan. Kelahirannya juga menandakan kelahiran dunia baru, yang kini diperingati oleh umat Islam sebagai salah satu hari besar yang sangat berpengaruh dalam pergerakan arus zaman.
Peringatan Maulid Nabi SAW diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said Al-Qa'buri, seorang gubernur di Irbil, Irak, pada masa pemerintahan Sultan Saladin (Sholahuddin Al-Ayyubi). Idenya bahkan berasal dari Sultan sendiri. Perayaan dan peringatan tersebut kemudian menyebar dan hingga kini tetap lestari sebagai wujud kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad. Hal ini sesuai sebuah riwayat Bukhari yang mengatakan bahwa tidak dianggap beriman seseorang itu kecuali nabinya lebih dicintai daripada dirinya sendiri. Dalil kecintaan kepada Nabi SAW tersebut dipertegas lagi dalam QS Al-Ahzab ayat 6 bahwa Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.
Spirit Maulid Nabi adalah spirit kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan kecintaan tersebut, terbangunlah keteladanan untuk meneladani sifat-sifat mulia orang yang tercinta. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-A'raf ayat 157 bahwa orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya.
Spirit cinta tersebut pada dasarnya tidak hanya berupa keyakinan semata, lebih dari itu, melainkan berupa aksi nyata. Hal itu sebagaimana syarat keimanan yang mencakup meyakini dalam hati, melafalkan secara lisan, dan melakukan dalam bentuk implementasi perbuatan. Begitu pula dengan spirit kecintaan kepada Nabi SAW, hendaknya juga diyakini yang kemudian diaksikan dalam bentuk implementasi perbuatan yang diajarkan dan diteladankan oleh Nabi SAW.
Terlebih lagi, di era globalisasi, ragam kehidupan umat manusia semakin kompleks. Begitu pula dengan segala hiruk-pikuk perilaku umat manusia yang semuanya pada gilirannya memunculkan problematika sosial. Tentunya, kecintaan berupa keteladanan kepada Nabi SAW bisa menjadi landasan umat Islam dalam berperilaku dan bertindak.
Banyak hal yang telah diberikan Nabi SAW dengan keteladanannya. Sosok Nabi SAW adalah figur yang solutif, selalu memberikan jalan keluar pada setiap problematika. Hal itu tercermin dalam sikapnya yang selalu memberikan jawaban kepada para sahabat yang menanyakan berbagai persoalan dan mengadu tentang berbagai permasalahan, baik sosial maupun individual. Dengan pertimbangan yang sangat matang dan diawasi langsung oleh Tuhan, Nabi Muhammad memberikan jawaban yang tepat dan jawaban tersebut kemudian menjadi sumber hukum dalam agama Islam.
Fenomena tersebut terus menerus terjadi dan secara lengkap telah memberikan jawaban atas problematika umat ketika Nabi Muhammad masih berada di tengah-tengah masyarakat. Jika hal itu ditransformasikan dalam kehidupan sekarang yang lebih ekstrem dan vulgar, jawaban-jawaban tersebut menjadi acuan penting dan dasar utama dalam memecahkan problem sosial. Jika dipahami dan ditafsiri, segala jawaban yang pernah dilontarkan kepada para sahabat tersebut mampu memberikan ilustrasi untuk memecahkan problematika sosial di masa kini asalkan didudukkan sesuai porsinya (proporsional).
Maksudnya, Nabi Muhammad SAW ketika berada pada suatu kondisi dan memberikan solusi atas permasalahan yang telah lalu, harus ditafsiri sesuai dengan kondisi sekarang secara kontekstual. Namun demikian, tekstualitasnya tidak bisa diabaikan begitu saja meskipun esensi yang diambil adalah bentuk kontekstualnya. Hal itu karena untuk mendapatkan kemaslahatan yang seimbang dan jalan tengah di antara berbagai gejolak pemikiran dan problematika yang ada.
Tidak pula jawaban-jawaban Nabi SAW yang menjadi hadis tersebut dimaknai dan ditafsiri secara liberal, karena liberalisasi tersebut tidak akan memberikan landasan dan perundang-undangan yang tepat dan baku. Sebaliknya, tekstualitas juga tidak serta-merta menjadi hal yang paling dikedepankan dalam memahami jawaban-jawaban Nabi tersebut, karena fundamentalisme akan memberikan kesimpulan yang sangat kaku.Kontekstualitas yang tanpa meninggalkan tekstualnya akan menjadi jalan tengah. Dengan demikian pula, jawaban-jawaban yang berwujud sumber syariat tersebut menjadi resolusi dari berbagai bentuk problematika sosial.
Peringatan Maulid Nabi SAW tidak hanya bersifat teologis-spiritual yang cenderung lebih ke arah religiusitas, melainkan bisa dimaknai sebagai gagasan sosial-humanisme yang lebih membumi. Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi ternyata bisa menjadi buah dari spirit religiusitas dan sosial, sakral dan profan, agamis dan sekuler, serta melangit dan membumi.
Untuk itu, perayaan Maulid Nabi Muhammad sejatinya bukan seremonial dan semarak formal yang diramaikan dengan berbagai ritual. Pada dasarnya, spirit Maulid Nabi adalah meneladani sifat-sifat kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan merefleksikan secara seimbang dengan aplikasi dan implementasi riil dalam berbuat dan bertindak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar