|
SUARA
KARYA, 23 Januari 2013
Dalam doktrin
kenabian, setiap jenis perbuatan yang dilakukan manusia pastilah ada
konsekuensinya akibat yang harus ditanggung dan dipertanggungjawabkan-nya.
Tuntutan ini logis supaya setiap kemauan bebas (free will) manusia tetap dalam koridor sebagai ambisi yang
terkontrol, mengikuti regulasi yang berlaku, dan tidak salah dalam menunjuk
kiblat yang diikutinya.
Sering kali kemauan
bebas manusia yang bermodus jahiliah itulah yang menjadi pangkal terjadinya
persoalan serius kehidupan di muka bumi ini (fil-arld), pasalnya kebebasan
itu dibiarkan mengabsolut atau mengembara tak kenal 'titik nadir' kepuasan.
Berbagai ragam bentuk
kerusakan, kehancuran sumber daya ekologis alam, dan kompilasi bencana
merupakan akibat konkrit dari perbuatannya yang digerakkan oleh prinsip
kemauan bebas dan keserakahan yang ditempatkan sebagai kedaulatan utama.
Allah
SWT dalam ayat 7-8 QS A-Zilzalah (Kegoncangan) mengingatkan, "Barangsiapa yang melakukan kebaikan
seberat dzarrah, maka ia akan mendapatkan kebaikan seberat itu pula, dan
barangsiapa melakukan kejelekan seberat dzarrah, maka ia pun akan mendapatkan
kejelekan seberat dzarrah."
Firman
itu menggariskan tentang prinsip hukum 'sebab-akibat', ada akibat pastilah
ada sesuatu yang menyebabkannya. Ibarat 'menabur angin, menuai badai',
sesuatu yang buruk yang diderita masyarakat atau bangsa mestilah diakibatkan
oleh faktor buruk kejahiliyahan yang mempengaruhinya.
Itu
ibarat pepatah yang berbunyi, evil causis evil vallacy atau setiap kondisi
buruk yang terjadi, pastilah disebabkan kondisi buruk yang memengaruhinya.
Kalau yang diproduknya lebih dominan sebagai kriminalisasi atau kejahiliahan
manusia atas sumber daya ekologis, maka kehancuran konstruksi peradabannya
sulit dihindari.
Para
peneliti ekologi sudah sering mengingatkan kalau kerusakan hutan Indonesia
mencapai 1,1 juta hektar per tahun, yang aktor-aktor perusaknya lebih dominan
dari korporasi nakal maupun sindikat global. Penelitian Global Species
Assessment (GSA) dalam siaran persnya menyebutkan, bahwa sekitar 15.589
spesies yang terdiri dari 7.266 spesies satwa dan 8.323 spesies tumbuhan dan
lumut kerak, diperkirakan berada dalam resiko kepunahan.
Menurut
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), kasus meluasnya banjir di berbagai daerah
akibat gundulnya hutan yang disebabkan dahsyatnya penebangan liar. Akibat
penebangan liar ini, kerusakan hutan sudah mencapai 3,8 juta hektar setahun
atau 7,2 hektare per menit. Kerusakan hutan ini tercepat di dunia.
Pemerintah
tidak perlulah tergelincir menyalahkan masyarakat kecil yang membuang sampah
sembarangan atau sedikit menebang (ranting pohon) hutan sebatas untuk
memenuhi dapur mengepulnya, karena dalam kenyataannya pemerintah gampang
mengobral model pembangunan yang tidak berbasis eko-humanistik.
Dalam suatu Hadis,
Nabi Muhammad SAW memperingatkan, "Meratanya azab (musibah, bencana)
adalah sesuai dengan meratanya kejahatan yang diperbuat manusia."
Peringatan ini dapat dipahami, bahwa siapapun yang meliberalisasikan
tangannya menabur kekejian baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup
lainnya, maka manusia pastilah menuai dampak destruktifnya.
Manusia sangatlah
potensial dihancurkan oleh kejahiliahannya sendiri. Tuhan hanya memberi jalan
atas opsi sesat dan jahatnya. Manusia sudah diberi kemerdekaan untuk
menjatuhkan pilihan, mau mengikuti dan memperbudak ambisi-ambisinya di jalur
penghancuran sumber daya alam ataukah mau di jalur pemanfaatan berbasis,
meminjam istilah Sirozi Ahmad (2009), 'humanisasi dan spiritualisasi
ekologis'.
Kalau
jalur penghancuran yang dijadikan opsi, sementara negara membiarkan dan
bahkan merestuinya, maka kebijakan rehabilitasi ekologis seperti anjuran
menanam sejuta pohon atau memasukkan pendidikan berbasis ekologis dalam
kurikulum, hanyalah sia-sia.
Dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap manusia yang perbuatannya
mengabdi pada kebenaran dan kebaikan, serta kemaslahatan pengelolaan sumber
daya ekologis, tentulah aspek-aspek strategis yang berhubungan dengan
aktivitasnya akan mendapatkan keuntungan.
Sebaliknya
ketika manusia gagal mengedukasikan dirinya dari perbuatan-perbuatan buruk,
gampang tergiur melakukan dan membenarkan dehumanisasi, kebiadaban, dan
bahkan kebinatangan dalam kehidupannnya di muka bumi, pastilah berbagai
bentuk kejahiliyahan ini dapat mendatangkan bencana yang berpola mengerikan
dan mematikan.
Bencana
banjir yang menimpa Jakarta dan sejumlah wilayah lain di Indonesia wajib
dibaca secara cerdas sebagai bentuk kemenangan 'hukum kausalitas' atau sebab
akibat yang diajarkan Allah. Allah brmaksud menunjukkan pada manusia tentang
ongkos fatalistik kejahiliyahan yang diperbuatnya. Allah membimbing manusia
yang sudah terseret jauh dalam pembenaran kejahatan terorganisir dan
sistemiknya terhadap sumberdaya ekologis.
Secara
a contrrario, ketika perilaku kebaikan bisa ditujukan untuk melindungi
kekayaan laut, potensi alam bahari, misalnya, baik dari tangan-tangan
jahatnya sendiri, kelompok maupun sindikasinya, maka bukan hanya sumber daya
ekologis ini tetap akan terlindungi sebagai sumber penyangga kehidupan diri,
masyarakat, dan negara, tetapi sumber daya ini juga tidak akan sampai
menumpahkan amarahnya kepada manusia
Jika manusia tetap
merasa bahwa kejahatannya terhadap sumber daya ekologis tetap dianggap bukan
produk kejahiliahannya dan masih ditakar sebagai kebutuhan rasionalitas, maka
bukan tidak mungkin di masa mendatang, negeri ini akan banyak bermunculan
bencana yang lebih dahsyat dibandingkan yang sekarang sedang terjadi, yang
potensial menjadikan negeri ini tinggal menjadi 'kapal yang tenggelam'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar