Kamis, 17 Januari 2013

Kajian Malaysia Mendesak Diajarkan


Kajian Malaysia Mendesak Diajarkan
Ahmad Sahidah ;  Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
SUARA KARYA, 17 Januari 2013


Kasus iklan diskon tenaga kerja Indonesia (TKI) mungkin telah tertimbun dalam ingatan. Kita hanya perlu menunggu isu lain pemicu pertengkaran. Sebagaimana diketahui, hubungan Indonesia-Malaysia ini bersumbu pendek. Sedikit sulutan, ledakan meruyak ke seantero negeri.
Mengapa kasus iklan itu menerbitkan amarah yang begitu meluap? Padahal, baru saja Mahathir Mohamad mendapatkan penghargaan doktor honoris causa dari Universitas Negeri Sebelas Maret Solo. Tidak seperti kasus pertama, yang terakhir tak begitu mendapatkan tempat yang luas di media dan memantik perbincangan di media sosial, facebook dan twitter.
Bagaimanapun, penganugerahan tersebut (di sana ijazah doktor kehormat) pada Mahathir Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia, menghiasi media cetak dan elektronik negara tetangga. Pengakuan ini setidak-tidaknya merajut hubungan kedua negara agar lebih kokoh. Sementara, sekelompok orang yang melakukan unjuk rasa atas kehadiran bekas orang nomor satu negeri jiran ada-lah ekspresi yang tidak dapat disangkal di negara demokrasi. Namun, apa makna kehadiran pemimpin yang dijuluki little Soekarno ini?
Sebenarnya, hal serupa juga dilakukan oleh Malaysia terhadap tokoh-tokoh Indonesia yang dianggap berjasa bagi kehidupan masyarakat secara luas. Misalnya, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI, menerima penghargaan yang sama dari Universitas Utara Malaysia, perguruan tinggi yang diilhami oleh ide Mahathir. Pendek kata, sebagai bagian dari kegiatan perguruan tinggi, pemberian gelar ini tidak hanya mempunyai dampak akademik, tetapi juga politik. Tentu, kita tetap melihat alasan apakah yang menjadi latar dari anugerah tersebut.
Dalam sebuah harian nasional, seorang pembaca menyoal kegemaran anak-anak pada film Upin-Ipin. Bagi yang bersangkutan, alur cerita dalam film tersebut akan mempengaruhi generasi Indonesia. Melalui penetrasi kebudayaan, anak-anak terancam untuk tidak mengenal jati dirinya. Salah seorang warga Malaysia pun meluahkan kegundahan se-rupa. Dalam sebuah surat pembaca koran Utusan, harian terbesar di Malaysia, seorang guru mengkhawatirkan ketidakberdayaan bahasa Malaysia karena serbuan kosa kata Indonesia melalui lagu. Tambahnya, anak-anak negeri tetangga telah terbiasa menggunakan kata pacaran, istilah yang tidak ada dalam kamus mereka. Kedua pandangan dari dua warga tersebut adalah buah dari hiruk-pikuk pertikaian yang acapkali mendera dua negara.
Nah, kehadiran pusat kajian di atas sebenarnya melengkapi kehadiran Balai Kajian dan Budaya Melayu (BKBM) di Yogyakarta. Tentu saja, keberadaan keduanya di tanah Jawa menandakan sebuah pesan bahwa Melayu di sini tidak diartikan sebagai etnik dalam pengertian sempit. Banyak teman yang memanggil sebutan encik sebelum nama saya mengandaikan bahwa panggilan ini seakan-akan kebiasaan khas Malaysia. Padahal, hal serupa juga berlaku di Riau. Ini bisa dimaklumi karena pertemuan warga Semenanjung dan Sumatera jauh lebih intensif di bandingkan daerah lain-lain. Meskipun demikian, suku Bugis dan Jawa turut mewarnai kebudayaan Melayu Malaysia hingga ke hari ini.
Atas dasar kenyataan di atas, betapa kompleks identitas Melayu. Betapapun, di Malaysia jati diri tersebut ditandai dengan tiga ciri penting, yaitu agama Islam, adat dan bahasa Melayu. Namun di sini, pemerian tersebut tidak berlaku. Oleh karena itu, tanpa meninggalkan kesukuan yang khas, ide Melayu Besar Pramoedia Anantatoer layak diketengahkan. Faktor kebahasaan adalah pengikat yang paling nyata dan konkrit untuk menyemai identitas bersama. Dari sini, tak ayal hubungan-hubungan yang lain akan senantiasa subur.
Untuk mengokohkan kekitaan, kebersamaan perlu dipupuk. Ia lahir dari kepercayaan satu sama lain. Lebih jauh, hubungan emosional kadang terbit dari persaudaraan. Sebagaimana diberitakan, Mahathir turut mengajak serta sang isteri, Tun Hasmah. Ibu dari anak-anak penulis karya Dilema Melayu ini bernenek moyang asal Padang. Marina, puteri Mahathir, dengan riang menceritakan bahwa di masa kecil keluarganya sering berkunjung ke Medan untuk menemui sanak-saudaranya. Malah, Marina sendiri bersuamikan orang Indonesia, seorang pilot. Apakah kenyataan ini tidak lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa lancung menyebut warga Malaysia adalah liyan.
Namun, dalam sejarah manusia, pertikaian antarmanusia tidak mengenal hubungan sedarah. Kisah Nabi Adam membuka mata kita tentang pertikaian Habil dan Qabil yang menumpahkan darah hanya karena dipicu oleh perebutan perempuan. Dengan kata lain, perselisihan itu mudah terpantik apabila kedua orang atau kelompok yang berkepentingan berebut kepemilikan, apa pun bentuknya. Mengingat kebudayaan Malaysia berakar pada sistem yang sama dengan Indonesia, tak ayal klaim warisan akan terus menghantui keduanya. Tanpa kehendak yang kuat untuk mengurai asal-muasal ini di kalangan generasi muda, kita akan terus menyuburkan kedunguan.
Sepatutnya, konflik itu bukan titik yang mutlak, namun jalan untuk membuka sejarah lama. Sehingga, pada gilirannya menyuburkan hubungan yang lebih cerdas dan santun hari ini dan pada masa yang akan datang.
Betapapun kesamaan itu tidak dapat disangkal, namun kita perlu memikirkan agar perguruan tinggi sini mengajarkan mata kuliah Kajian Malaysia (Malaysian Studies) untuk memahami negeri jiran secara utuh dari pelbagai disiplin, dan pada waktu yang sama kita harus mengakui bahwa negara bekas jajahan Inggeris ini telah merintis jalan yang berbeda untuk menjadi negara-bangsa yang maju. Selagi pemahaman kita tidak utuh, isu-isu yang menjadi pemicu persengketaan hanya akan diributkan tetapi tidak diselesaikan dengan tuntas. Kita hanya menunggu pelatuk ditarik, lalu pertikaian meledak. Laksana Sysyphus, tokoh mitologi Yunani, kita menaikkan batu ke atas gunung, lalu menggulirkannya ke bawah berulang-ulang. Maukah kita meniru tragedi tokoh yang selalu menolak batu ke bawah setelah dinaikkan ke atas? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar