Rabu, 02 Januari 2013

Forum Kebudayaan Dunia


Forum Kebudayaan Dunia
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
KOMPAS,  02 Januari 2013



Pemerintah Indonesia yang diprakarsai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—setidaknya menurut brosur yang ada—akan menyelenggarakan Forum Kebudayaan Dunia (WCF) di Bali tahun 2013.
Ide ini menjadi buntut atau epigon dari forum-forum dunia lain seperti di Davos untuk bidang ekonomi dan di Brasilia untuk bidang sosial.
Tema utama WCF adalah bagaimana memosisikan kebudayaan sebagai katalis(ator) pembangunan berkelanjutan. Artinya bagaimana menempatkan kerja-kerja kebudayaan, produk-produknya, hingga cara berpikir pada kedudukan yang tinggi dalam cara kita bernegara dan berbangsa. Artinya kita memperhitungkan khazanah nilai, norma, tradisi, estetika, dan etika sebagai pertimbangan yang sama, utamanya dengan, katakanlah, politik dan ekonomi yang selama ini menjadi panglima.
Untuk menunjukkan niat dan kepantasan negara kita sebagai penggagas dan penyelenggara tetap, akan banyak dihelat pergelaran kesenian dan hasil-hasil kreatif lain dalam kesempatan itu. Suatu hal yang sebenarnya tidak perlu digemborkan berlebihan karena sebenarnya sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu dunia sudah mengakui itu dengan berbondong-bondong datang ke Nusantara untuk menguasai dan mengolonisasi, hingga kini.
Sebuah forum besar dan global semacam itu tidaklah cukup diisi dengan keramaian pasar malam, hal-hal yang bersifat festival atau karnaval, karena publik sudah melakukannya. Bahkan sebuah kota kecil semacam Jember, Jawa Timur, mampu menyelenggarakan sebuah pesta kebudayaan berupa karnaval busana berkaliber internasional. Belum lagi festival musik, sastra, seni pertunjukan, dan sebagainya di seluruh Indonesia.
Sebuah forum global semacam WCF menjadi terlalu mewah jika sekadar menciptakan keramaian. Ia mesti memiliki misi berkait dengan amplitudo kegiatan yang mengglobal. Artinya, ia juga memberi peran signifikan pada masyarakat dunia untuk ikut memecahkan masalah-masalah regional maupun global.
Namun, problem pertama dari usaha yang tidak main-main itu justru datang dari tema yang ditetapkan.
Masalah di Indonesia
Memang proposisi ”kebudayaan adalah katalisator bagi pembangunan yang berkelanjutan” tidak salah. Yang menjadi masalah adalah ketika kita menyodorkan proposisi itu pada dunia, kita tidak memberikan bukti cukup dan memadai untuk mematuhi proposisi itu. Benarkah, pertanyaan dasar dan pertamanya, kebudayaan di negeri ini sudah menjadi katalisator pembangunan? Menjadi pertimbangan yang sama kuat dengan politik, ekonomi, bahkan hukum dan militer?
Dalam bentuk wacana saja, berapa banyak kita mendengar elite pengambil kebijakan di negeri ini membicarakan kebudayaan sebagai dasar pertimbangan kebijakan yang diambilnya? Minim sekali.
Begitu pun dalam kebijakan penyelenggara negara (pemerintah), berapa banyak yang terkait dengan kebudayaan? Bagaimana sebenarnya visi para pemimpin bangsa ini dalam soal kebudayaan? Adakah kita memiliki strategi kebudayaan? Berapa kali presiden menyebut kebudayaan dalam pidato-pidato kenegaraan? Signifikankah alokasi APBN untuk pengembangan kebudayaan?
Dengan sangat menyesal saya harus menjawab semua itu dengan sebuah afirmasi negatif: tidak. Dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan ASEAN, Indonesia begitu tertinggal karena merasa diri memiliki kebudayaan tinggi tetapi tidak memiliki strategi dan visi ke depan. Kata kebudayaan, baik sebagai kata kerja maupun benda, senantiasa luput dari diskursus para pemimpin terpenting kita.
Yang menyedihkan, dibanding Brasil yang mengalokasikan 20 persen dari anggaran tahunan untuk kebudayaan (seperti kasus pendidikan di negeri kita), Indonesia hanya mengalokasikan sekitar Rp 600 miliar tahun 2012 untuk bagian Kebudayaan Kemdikbud RI. Ini bahkan kurang dari 0,5 persen—bukan dari APBN—tetapi dari anggaran saudara mudanya, pendidikan. Artinya kurang dari Rp 30.000 per kapita. Apa yang bisa diperbuat dengan angka itu?
Pemerintah seperti tidak berbuat apa-apa. Maka, pemerintah selaiknya bersyukur dan berterima kasih kepada para seniman dan para pekerja budaya Indonesia yang telah bekerja secara swadaya atau mandiri dalam menyelenggarakan proses, dinamika, dan produk-produk kebudayaan bangsa kita.
”Cultural Summit”
Dalam posisi dan kondisi semacam itu, dapatkah kita mengatakan kebudayaan sudah menjadi katalisator bagi pembangunan berkelanjutan Indonesia? Saya kira Anda setuju jika kita bersama mengatakan dengan tegas: tidak. Dan saya tidak perlu melanjutkan dengan kenyataan infrastruktur di bidang kebudayaan dan kesenian yang ada di seantero negeri ini. Di lebih dari 30 kota penting Indonesia yang saya kunjungi belakangan ini, infrastruktur kebudayaannya tidak hanya minim, tetapi juga mengenaskan.
Sebagai pengundang, situasi ini tentu harus segera dibenahi agar kita tidak menjadi tebal muka, karena tuan rumah belum menjadi contoh yang baik dari tema forum di atas. Pemerintah harus mengajak semua pihak dan pemangku kepentingan kebudayaan bekerja sama menempatkan kebudayaan seperti yang dibayangkan.
Kebudayaan semestinya menjadi rompi kebanggaan kita yang indah, kuat, dan dikenakan di bagian luar, sebagai daya tarik sekaligus sebagai daya tahan. Sesungguhnya kita memiliki semua alasan untuk itu. Walaupun nyatanya saat ini kebudayaan menjadi pasif karena negara tidak memberikan dukungan cukup untuk berhadapan dengan kebudayaan global yang sumir dan artifisial, tetapi dilengkapi dengan uang dan diplomasi politik.
Kebudayaan di negeri ini bukan sekadar tradisi, etik dan estetik, melainkan juga sebuah peranti sosial yang efektif mengatasi persoalan-persoalan kontemporer. Semua itu diperlihatkan oleh berbagai budaya etnik dan sub-etnik, yang dalam kompetisi dengan budaya global masih bisa mengembangkan diri dan meneguhkan eksistensi.
Berbagai adat-tradisi Nusantara, entah itu Ambon, Bugis, Minahasa, Batak, Jawa, Bali, Banten, Sunda, dan banyak lainnya mampu memberi acuan bagi warganya untuk bertahan dan berkembang, menjadi postmodern tanpa kehilangan referensi primordialnya. Itulah bangsa Nusantara, bangsa Indonesia. Sebuah kenyataan kebudayaan yang menjadi bukti pada dunia bahwa kita ada dan akan tetap ada.
Kenyataan kebudayaan dengan kekayaan adat dan tradisi inilah yang semestinya kita tawarkan kepada dunia, sebagai cara kebudayaan yang khas Indonesia dalam memecahkan persoalan-persoalan pelik di Bumi. Persoalan-persoalan antarbangsa tidak harus diselesaikan dengan cara (bertindak dan berpikir) politik atau ekonomi apalagi militer. Cara kebudayaan adalah alternatif penting yang dapat dipahami oleh siapa pun, bahkan oleh pemimpin-pemimpin dunia. Penting diselipkan dalam forum ini semacam cultural summit bagi para pemimpin.
Tidakkah membahagiakan jika dalam fora kebudayaan seperti ini kita bisa mendudukkan dalam meja yang sama Barack Obama, Ahmadinejad, dan Benjamin Netanyahu? Mereka akan dicap tidak berbudaya jika menolaknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar