Rabu, 02 Januari 2013

Menakar Prospek Redenominasi Rupiah


Menakar Prospek Redenominasi Rupiah
Satrio Wahono ; Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila 
JAWA POS,  02 Januari 2013



WACANA redenominasi rupiah kembali digulirkan. Rencananya, pemerintah bersama DPR akan membahas RUU redenominasi rupiah menjadi prioritas utama Program Legislasi Nasional 2013. Menkeu Agus Martowardojo mengungkapkan, RUU itu sudah difinalisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Bank Indonesia juga sudah memencet lampu hijau. Bahkan, sosialisasi mulai dilaksanakan Januari ini hingga bisa terlaksana penuh secara bertahap pada 2022. 

Memuliakan Uang Receh 

Sebelumnya, perlu digamblangkan tiga istilah terkait redenominasi yang sering dikacaukan. Pertama, devaluasi. Inilah kebijakan satu negara memperlemah kurs mata uangnya guna meningkatkan pendapatan ekspor sekaligus menggemukkan cadangan devisa. Namun, devaluasi kerap memicu aksi devaluasi balasan negara lain sehingga berpotensi melejitkan inflasi. Karena itu, devaluasi meniscayakan angka penurunan kurs besar. Padahal, pemangkasan kurs itu bisa memperburuk kredibilitas mata uang bersangkutan.

Kedua, sanering alias penurunan nilai mata uang dengan mengguntingnya. Misalnya, selembar uang Rp 10.000 bisa digunting dua hingga bernilai Rp 5.000. Umumnya, sebagaimana dituturkan Gubernur BI pertama Sjafruddin Prawinegara dalam Pelaku Berkisah (2003), kebijakan ini bertujuan mengurangi uang beredar (money supply) demi menurunkan harga barang. Sjafruddin pun pernah menerapkan ini -''Gunting Sjafruddin''- pada 1950. Efek sampingnya, masyarakat menjadi kian miskin karena nilai uangnya berkurang. Itu terjadi pada 1965 saat sanering kembali dilakukan di tengah hiperinflasi 650 persen. Memang, sanering ditempuh jika situasi politik kalut. Sebab, cara normal menurunkan inflasi ialah menaikkan suku bunga bank untuk mengerem konsumsi.

Ketiga, redenominasi. Yaitu, penghilangan beberapa digit dari mata uang demi penyederhanaan, sementara nilainya tetap sama. Jadi tidak seperti sanering. Jika redenominasi memangkas tiga nol dari Rp 10.000 menjadi Rp 10, uang Rp 10 itu masih bisa membeli satu kilogram beras yang sebelumnya berharga Rp 10.000. Lalu, redenominasi tidak mengubah kurs seperti devaluasi sehingga tidak mengundang balasan negara lain. 

Jadi, redenominasi bertujuan menyederhanakan suatu mata uang dan membuat transaksi lebih simpel. Selain itu, redenominasi bisa mendongkrak kredibilitas mata uang. Kelak, ketika tiga nol rupiah dihilangkan, kurs per USD akan Rp 9,5, bukannya Rp 9.500 seperti sekarang. 

Tambahan lagi, kebijakan redenominasi rupiah dapat menumbuhkan kembali apresiasi kita terhadap uang receh. Padahal, uang receh meroketkan inflasi yang membebani masya­rakat. Sebagai ilustrasi, kita andaikan kenaikan harga BBM akan menaikkan tarif angkutan umum 10 persen. Namun, di lapangan, jika kita naik angkutan umum bertarif Rp 2.000, yang terjadi bukanlah kenaikan tarif menjadi Rp 2.200 (10 persen), melainkan Rp 2.500. Mengapa? Sebab, uang Rp 200 dianggap remeh lagi, susah persediannya untuk ditran­saksikan. Akhirnya, terjadi pembulatan ke atas sebesar Rp 500 (25 persen) dari Rp 2.000, bukannya 10 persen seperti diproyeksikan. 

Dalam konteks tersebut, redenominasi mampu memuliakan uang receh. Sebab, redenominasi meniscayakan penataan pencetakan uang secara radikal dengan pencetakan mata uang baru. Dari sini, BI dan pemerintah bisa meracik ramuan pas pasokan uang receh dan uang besar secara proporsional. Dengan begitu, pasokan uang receh mencukupi transaksi masyarakat sehari-hari. Harapannya, cukupnya pasokan uang receh akan meniadakan dalih ''sulit recehan'' bagi pihak yang suka membulatkan kenaikan harga. 

Cermin Baik Buruk 

Hanya, redenominasi bukanlah obat mujarab yang dalam semalam bisa meningkatkan perekonomian Indonesia. Dua kisah penerapan redenominasi di Brasil dan di Turki sebagaimana dijelaskan Tony Prasetiantono (2010) patut disimak.

Pertama, redenominasi di Brasil menjadi mimpi buruk saat penyederhanaan mata uang dari cruzeiro menjadi cruzado pada 1986-1989 tak banyak mengubah kurs mata uang itu terhadap dolar AS. Kurs terjun bebas dari 1 cruzado per 1 dolar AS menjadi ribuan cruzado. Alasan kegagalan itu adalah ketidakmampuan pemerintah Brasil mengelola inflasi, yang mencapai 500 persen per tahun kala itu. Juga, rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah karena negeri itu masih dilanda konflik politik dan instabilitas pemerintahan yang mengikis kepastian berusaha.

Untungnya, Brasil mampu bangkit ketika kembali meredenominasi cruzeiro real menjadi real pada 1 Juli 1994. Kunci keberhasilan kali ini: Brasil meng­utamakan stabilitas politik terlebih dahulu dan menjalankan reformasi ekonomi. Dengan begitu, inflasi perlahan terpangkas dan investasi asing mulai masuk memperkuat cadangan devisa.

Kedua, redenominasi di Turki justru menuai sukses. Awalnya, Turki kelimpungan mendapati kurs liranya membengkak dari 9 lira per 1 dolar AS menjadi 1,65 juta lira pada 2001! Masyarakat pun memandang rendah lira dan sekaligus Turki. Karena itu, Turki membuang enam angka nol pada 1 Januari 2005 agar 1 dolar AS setara dengan hanya 1,26 lira baru, yang terus stabil pada level 1,517 lira per Juli 2010. Rahasia keberhasilan Turki: melakukan reformasi ekonomi yang memangkas inflasi hingga satu digit, meningkatkan kepercayaan investor, membuka perekonomian terhadap sektor swasta, dan menurunkan tingkat pengangguran. Efek redenominasi pun lestari hingga kini. Sebab, Turki konsisten mencatat pertumbuhan ekonomi sejak 2002 hingga saat ini. 

Karena itu, asalkan Indonesia dalam jangka panjang tekun menjalankan reformasi politik dan ekonomi, mengendalikan inflasi di tingkat satu digit, menjaga pertumbuhan, dan memperkuat cadangan devisa, redenominasi jelas kebijakan strategis yang potensial menjadikan perekonomian negara ini kian besar. Toh, Indonesia memang menyadari perlu waktu cukup lama untuk merealisasikan hingga redenominasi tuntas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar