Sabtu, 05 Januari 2013

Blok Politik Iran-Rusia


Blok Politik Iran-Rusia
Ismatillah A Nu’ad ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina, Jakarta
REPUBLIKA,  05 Januari 2013
  

Perseteruan Iran-Israel secara tidak langsung mengutubkan kembali peta politik dunia pada dua kerucut. Iran membuka blok politik dengan Rusia, sementara Israel kukuh dengan sekutu utamanya Amerika Serikat. Dalam konflik Suriah, misalnya, jelas keterlibatan Iran-Rusia untuk mengokohkan kekuasaan Bashar Assad, sementara Israel-AS menggembosi dan mendukung supaya Assad jatuh dari tampuk kuasa.

Akankah konflik Iran-Rusia versus Israel-AS membawa petaka bagi tatanan dunia? Sebab, jika terjadi, berarti menuju Perang yang dahsyat melebihi Perang Teluk (gulf war). Jika terjadi, perang itu nanti akan menyeret negara-negara sekutu dari kedua negara, misalnya, Israel dengan AS dan Inggris serta negara-negara Eropa lainnya berhadapan dengan Iran beserta Rusia, Venezuela, dan negara-negara Latin Amerika. 

Perang Teluk III Perang Teluk I terjadi pada 1990- 1991, saat Irak masih di bawah kekuasaan Saddam Hussein menginvasi Kuwait yang disokong AS. Perang Teluk II terjadi pada 2003 saat Bush junior masih berkuasa di mana AS berhasil menggulingkan Saddam Hussein di bawah bendera "misi pembebasan rakyat Irak" oleh AS. Tentara AS akhirnya ditarik secara penuh di bawah kendali Barrack Obama pada 18 Desember 2011.

Arsitek demokrasi AS berkebangsaan Perancis Alexis de Tocqueville pernah berkata, "There are two things which a democratic people will always find very difficult-to begin a war and to end it” (Democracy in America, 1831). Secara bebas, bisa diartikan bahwa masyarakat demokratis selalu menghadapi hal yang sulit, yakni memulai perang dan mengakhirinya. Apakah benar kutipan Tocqueville yang termaktub itu dapat mengonfirmasi bahwa memang negara-negara "demokratis" sekalipun sangat menyukai peperangan dan jika sudah perang sulit untuk mengakhirinya?

Israel tampak merasa menemukan pantaran perangnya, Iran. Hal ini menjadi pertanda menuju ke arah Perang Teluk III semakin nyata. Lihat, misalnya, Inggris sebagai sekutu utama Israel dan AS telah menyiagakan kapal perang paling modern dalam jajaran angkatan lautnya, HMS Daring 45 Destroyer, untuk siaga pada kemungkinan terburuk.

Blok-blok politik dunia pun kini tampaknya akan kembali menuju pada dua kekuatan besar, bukan cuma Pax- Americana, melainkan juga blok timur yang diwakili Iran dan disokong Rusia. Di Laut Hitam (Black Sea), misalnya, yang memisahkan Asia Barat dengan Eropa, pasukan elite angkatan laut (AL)

Rusia telah mengirim kapal tempurnya berbarengan dengan pengiriman kapal tempur USS George HW Bush.

Persaingan politik AS-Rusia secara de facto boleh jadi memang telah berakhir pascatumbangnya komunisme di Uni Soviet pada 1989. Tapi, sentimen politik yang menganga secara de jure antara kedua negara besar itu tak bisa dibohongi. Hingga saat ini. masih dalam ketegangan yang nyata. Dalam konflik di Selat Hormuz, misalnya, terlihat betapa Rusia berkepentingan untuk menyokong Iran melawan arogansi Israel, AS, dan sekutunya.

Selat Hormuz selama ini memang menjadi lalu-lalang antaran minyak dunia, stabilitas harga minyak global terganggu karena sikap politik Iran menutup selat itu. Karena itulah, AS sebagai sekutu utama Israel dan Eropa menentang keras penutupan Selat Hormuz. Selain itu, tensi politik antara kedua negara selama ini memang sangat memanas karena soal proliferasi nuklir yang tengah gencar dijajaki Iran. 

AS selama ini memang terkesan ingin menyudahi proliferasi nuklir Iran. Oleh Iran, hal itu dianggap sebuah keangkuhan. Jika AS akan menggunakan jalan perang dengan Iran melalui Israel, tentu akan mengeluarkan biaya yang mahal, bukan saja ongkos material yang menjadi perhitungan untung-rugi para kapitalis yang kebanyakan bersarang di negara itu, melainkan juga ongkos kemanusiaan yang bakal menjadi tumbal keangkuhan.

Banyak cendekia Barat yang mengecam kebijakan AS, seperti bermaksud ingin mendehumanisasi peradaban dunia melalui jalan perang. Tokoh, seperti Hans Kung, seorang teolog kelahiran Jerman yang rajin menebar dan menyemai ga- gasan-gagasan perdamaian, John Pilger, dan Noam Chomsky, keduanya sekarang bermarkas di negara bagian AS, sampai saat ini amat tegas mengkritik kebijakan Pemerintah AS. Sayang, kritikan itu dianggap angin lalu oleh Pemerintah AS.

Tesis lain Israel, AS dan sekutunya akan menggempur Iran adalah ingin menghantam dan menumpas kelompok- kelompok Muslim radikal berbasis syiah konservatif. Iran yang mayoritas berpenduduk Muslim syiah sudah jelas mempunyai tradisi kuat tentang penghormatan kepada Mullah Velayat Faqih. Sekaliber pemimpin pun, akan tunduk pada petuah seorang Mullah.

Presiden Ahmadinejad tampaknya menjadi bagian dari kelompok syiah konservatif. 
Ketidaknyamanan AS, misalnya, pada kelompok syiah konservatif selama ini dituangkan melalui patronase demokratisasi dan keterbukaan. Dan, hal itu menuai keberhasilan seperti yang terjadi tarik-ulur internal antara kelompok Mullah konservatif dan moderat. Di satu sisi, menginginkan negara dijalankan atas dasar Islam-demokratis dan moderat yang mampu mengakomodasi keter- bukaan dan demokrasi dalam arti versi Barat, di lain sisi, menginginkan Islam- demokrasi-teokratis yang tentu saja menolak mentah-mentah gelombang demokrasi dan keterbukaan versi Barat.

Bagi sayap Islam-demokrasi-teokratis, seperti Presiden Ahmadinejad, AS dianggap memiliki double standard. Di satu pihak, seakan-akan AS adalah negara yang menginginkan perdamaian, mempertahankan peradaban, dan demokratisasi mondial, seperti yang digambarkan sosiolog Perancis Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, di pihak lain, AS dengan sikap selalu mencurigai, ketakutan buta, dan keangkuhannya ingin menyingkirkan Iran dari panggung politik dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar