Elite Deviance
M Ichlas El Qudsi ; Anggota DPR RI, Fraksi PAN
|
REPUBLIKA,
05 Januari 2013
Dalam kajian teoritis
disebutkan, muncul dan terjadinya suatu fenomena tertentu dalam masyarakat
tidak pernah dianggap usang, selalu awet, dan menjadi magnet bagi penemuan teori-teori
baru. Hal yang sama dengan topik tulisan berikut ini, meskipun bukan barang
baru, selalu menarik untuk ditelaah sebab kecanggihan suatu masalah diawali
dengan kemampuan sistem memecah masalah tersebut. Kasus-kasus baru selalu
lahir dari keterbatasan sistem menangkapnya. Sedangkan, sistem terhalang
waktu merumuskan setiap masalah yang selalu selangkah di depannya. Inilah
alasan mengapa menulis tentang kolusi dan korupsi tetap menarik
diperbincangkan.
Kolusi pada mulanya
adalah perbuatan curang dalam tender alat-alat perang pada Perang Dunia II.
Edwin Hardin Sutherland menemukan bahwa persekongkolan pada waktu itu
dilakukan untuk menentukan siapa yang akan memenangkan tender. Kolusi dalam
tender-tender tersebut dilakukan oleh orang-orang pintar (pejabat
korporasi).
Fakta ini oleh
Sutherland digunakan untuk membantah pandangan bahwa pelaku kejahatan adalah
orang-orang bodoh dan orang miskin, hanya karena 99 persen isi lembaga
pemasyarakatan adalah orang-orang miskin. Suntherland kemudian mengemukakan
istilah yang cukup populer, white
collar crime (WCC), yaitu kejahatan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
korporasi sendiri dan inilah akar dari kejahatan korporasi. WCC dalam konsep
Sutherland belum melibatkan unsur kekuasaan di dalamnya. Konsep Sutherland
kemudian dikembangkan oleh David R Simon dan D Stanley Eitzen yang
mengungkapkan terjadinya penyimpangan kelompok elite atau disebut keduanya
dengan elite deviance.
Kelompok elite dimaksud adalah elite bisnis dan elite politik. Kedua kelompok
elite ini melakukan persekongkolan dengan cara melakukan lobi-lobi politik
untuk mendapatkan kontrak pemerintah dan memberi suap guna mempengaruhi
keputusan pemerintah. Elite deviance merupakan kolusi antara elite bisnis dan
elite politik dalam mendapatkan keuntungan secara tidak sah.
Elite Legislatif
Jika Simon dan Eitzen
menyebut elite bisnis dan elite politik sebagai elite deviance maka dalam
kasus Indonesia, Profesor Mardjono Reksodiputro menambahkan dengan menyebut
adanya elite legislatif. Yaitu, oknum anggota DPR yang memiliki kewenangan
dalam membahas dan mengesahkan anggaran (APBN). Elite legislatif adalah
anggota DPR yang memiliki kedudukan di dalam alat-alat kelengkapan DPR yang
bertugas membahas anggaran yang akan digunakan dalam mengerjakan
proyek-proyek atau program-program pemerintah.
Asumsi DPR sebagai
elite diperkuat dengan tiga fungsi yang melekat padanya, yaitu legislasi,
pengawasan, dan penganggaran belanja. Adanya kasus jual beli pasal dalam
pembuatan undang-undang mengonfi rmasi adanya permufakatan ilegal di kalangan
legis latif. Begitu pula dengan motif politik di balik kontrol DPR
terhadap sejumlah instansi pemerintah, ikut membenarkan hadirnya elite legislatif.
Dan, yang paling telak adalah ditemukannya sejumlah permainan anggaran dalam
pembahasannya pada alat kelengkapan DPR.
Kewenangan DPR dalam
bidang anggaran pada praktiknya sering dimanfaatkan untuk melakukan persengkokolan.
Peruntukan atau jumlah anggaran yang akan dikeluarkan untuk suatu proyek
tertentu biasanya dipresentasikan di depan anggota DPR. Elite legislatif
bukan hanya oknum anggota DPR yang memiliki kewenangan dalam membahas
anggaran, melainkan juga oknum anggota DPR yang memiliki koneksi dengan
pengusaha dan bisa memuluskan diperolehnya anggaran tersebut untuk si
pengusaha.
Profesor Mahfud, ketua
Mahkamah Konstitusi, memberi analisis terhadap kecenderungan terjadinya
korupsi di kalangan birokrasi. Menurutnya, sekurang-kurangnya ada tiga
penyebab pejabat terperosok dalam korupsi. Pertama, karena sistem politik
kita secara sistemik memang menjerumuskan pejabat, ter- utama yang punya
keterikatan dengan parpol, untuk korupsi. Kedua, kecanduan alias mabuk
kekuasaan. Ketiga, karena permainan kroni dan orang-orang dekat yang
menggunakan nama sang pejabat untuk melakukan korupsi.
Pendapat Profesor
Mahfud membuktikan adanya kuasa elite dalam penyelewengan uang negara. Kerja
sama antara elite bisnis, elite politik, dan elite legis- latif adalah fakta
bahwa korupsi semakin canggih dan terstruktur rapi. Konspirasi tiga elite
tersebut bukan hanya merugikan negara, tapi juga melemahkan penegakan
hukum. Sebab, tidak sedikit kasus yang melilit oknum penegak hukum yang
bekerja sebagai pengaman tiga elite. Akibatnya, taji penegak hukum menjadi
tumpul. Hukum bagi tiga elite hanya dijadikan sebagai pelumas konspirasi
agar kegiatannya seolah-olah legal, padahal tindakan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum.
Kerja sama tiga elite
adalah bentuk sempurna dari wajah korupsi dan ini fenomena mutakhir di
Indonesia. Saatnya sistem hukum mengintegrasikan korupsi dalam pusaran tiga
elite sebab keterkaitan satu sama lainnya selalu ada. Terlepas dari beragam
kritik dan kekurangannya, penegak hukum sudah bergerak dan berbuat. Perangkat
politik (partai politik, DPR, dan pemerintah) harus menunjang dan melakukan hal serupa, bila perlu mendahului penegak
hukum.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar