Ratifikasi
“TKI” Butuh Aksi
Ririn Handayani ; Mahasiswa
Pascasarjana Ilmu HI Universitas Airlangga
SUMBER : SUARA
KARYA, 5 Juni 2012
Pemerintah tak perlu menunggu lama untuk membuktikan
kesungguhannya dalam menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Buruh Migran Tahun
1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya yang diputus DPR, 12
April lalu. Hanya berselang beberapa hari setelahnya, kasus tiga tenaga kerja
Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tewas ditembak Polisi
Diraja Malaysia di kawasan Port Dickinson,
Negara Bagian Negeri Sembilan, menjadi 'PR' pertama yang harus dituntaskan
pemerintah.
Kasus tiga TKI tersebut begitu menarik perhatian publik tidak
hanya karena mencuat hampir bersamaan dengan ratifikasi konvensi PBB, namun juga
bertepatan dengan pencabutan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia. Sempat
berkembang pula dugaan telah terjadi penjualan organ tubuh ketiga TKI asal NTB
tersebut. Meski pada akhirnya hasil otopsi ulang menyatakan dugaan itu tidak
terbukti, sejumlah 'PR' besar masalah TKI lainnya siap menanti. Termasuk,
laporan terakhir KBRI di Kualalumpur bahwa tercatat 24 TKI terancam hukuman
mati di Malaysia. (SKO, 4 Juni 2012)
Dalam kancah internasional, Indonesia dikenal sebagai salah satu
negara yang sangat rajin meratifikasi konvensi internasional terutama yang
terkait dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM) namun tidak untuk Konvensi
PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya. Terhadap
konvensi yang dianggap sebagai perlindungan hukum minimal bagi pekerja migran
internasional ini, Indonesia terbilang sangat lamban. Yakni, berselang sekitar
90 bulan sejak turut menandatanganinya, 22 September 2004 lalu.
Kelambanan pemerintah meratifikasi konvensi tersebut telah
berdampak signifikan terhadap kehidupan para TKI. Banyak persoalan melilit
mereka sejak proses rekruitmen di dalam negeri, pengiriman, selama bekerja di
negara tujuan bahkan hingga kembali ke Tanah Air. Seperti sebuah lingkaran
setan. Kondisi ini kian diperparah oleh rendahnya posisi tawar Pemerintah
Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak dan perlindungan yang lebih optimal
terhadap TKI di kancah internasional. Akibatnya, banyak kasus yang menimpa TKI
tidak dapat terselesaikan dengan tuntas.
Dampak lain yang tak kalah signifikan adalah rendahnya posisi
tawar para TKI kita sehingga kurang bersaing dengan pekerja migran dari negara
yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Filipina, misalnya. Dengan
kualifikasi pekerjaan yang sama, gaji dan fasilitas yang diterima TKI umumnya
lebih rendah dari pekerja migran Filipina. Kasus yang menimpa mereka juga
relatif lebih sedikit.
Atas dasar sejumlah fakta di atas, ratifikasi konvensi buruh
migran dianggap sebagai fondasi utama untuk menyelenggarakan pengelolaan dan
perlindungan yang lebih baik bagi para pekerja migran dan keluarganya.
Ratifikasi tersebut diharapkan akan membantu pemerintah menghindari
kebijakan-kebijakan yang cenderung parsial, sporadis, sektoral dan reaktif.
Sejumlah alasan lain yang menganggap ratifikasi sangat penting, antara
lain: memosisikan tenaga kerja migran sebagai makhluk sosial yang memiliki
keluarga dan hak-haknya sebagai manusia, memasukkan semua kategori tenaga kerja
migran termasuk tenaga kerja migran tak berdokumen, mencegah dan membatasi
eksploitasi tenaga kerja migran termasuk menghentikan kegiatan-kegiatan ilegal
seperti perdagangan manusia, menciptakan standar minimum bagi perlindungan
hak-hak tenaga kerja migran yang diterima secara universal.
Konvensi tersebut juga merupakan hukum perjanjian internasional
yang memiliki posisi hukum yang diterima oleh komunitas internasional. Dengan
ratifikasi itu pula pemerintah bisa melakukan harmonisasi semua peraturan
perundang-undangan nasional yang ada sehingga struktur dan kelembagaan yang
memperkuat perlindungan TKI akan lebih terjamin.
Lamban
Ratifikasi memiliki arti sangat penting tapi tidak cukup untuk
menuntaskan semua kompleksitas problematika TKI. Di sisi lain, meski dikenal
sebagai negara yang cukup aktif meratifikasi berbagai konvensi internasional,
namun dalam tataran implementasinya Indonesia terbilang lamban bahkan jauh dari
yang diharapkan.
Kita semua tentu sangat berharap agar ratifikasi konvensi buruh
migran ini tidak hanya menjadi seperti macan ompong mengingat kompleksnya
persoalan yang dihadapi oleh pekerja migran kita. Sejumlah TKI tengah bersiap
menghadapi hukuman mati di sejumlah negara. Banyak pula kasus TKI yang belum
tuntas seperti masalah gaji yang belum dibayar. Tak sedikit pula TKI yang tak
jelas nasibnya selama bertahun-tahun.
Ratifikasi seharusnya menjadi taring perlindungan bagi para TKI
agar terhindar dari berbagai tindak merugikan baik di dalam maupun di luar
negeri. Untuk itu, ratifikasi harus ditindaklanjuti dengan serangkaian langkah
konkrit yang melibatkan semua komponen masyarakat dan negara.
Hal paling mendesak yang harus segera dilakukan adalah melakukan
perjanjian bilateral dengan negara-negara tujuan utama dalam rangka
meningkatkan perlindungan dan posisi tawar TKI kita. Perjanjian bilateral ini
sangat penting mengingat konvensi buruh migran hanya mengakomodir
persoalan-persoalan yang bersifat universal sehingga perlu diperkuat dengan
perjanjian bilateral yang mengakomodir berbagai persoalan yang bersifat lebih
detil dan spesifik antara dua negara.
Upaya menghapus TKI informal terutama pekerja rumah tangga (PRT)
juga harus dipercepat dan diantisipasi dengan baik. Masyarakat harus diberi
banyak akses terutama modal agar memiliki banyak pilihan untuk meningkatkan
taraf hidupnya tanpa harus bekerja sebagai TKI. Akses terhadap pendidikan juga
tak kalah penting agar daya saing SDM kita semakin diperhitungkan di kancah
global sehingga TKI tidak lagi identik dengan PRT dan pekerja informal lainnya.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar