Posisi
Wamen Rawan Dipolitisasi
Warjati Suharyono ; Peneliti
Hukum Tata Negara
di KOMAP Institute of Political Research
SUMBER : SUARA
KARYA, 13 Juni 2012
Posisi wakil menteri (wamen) dalam jajaran Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) Jilid II sekarang ini sangat tidak jelas. Hal tersebut bisa
ditinjau dari dua hal, yakni sistem rekrutmennya dan sistem tugas pokok
fungsinya. Pertama, dari sisi rekrutmen, dalam Perpres Nomor 77 Tahun 2011
disebutkan bahwa wakil menteri ialah pejabat karier kementerian bersangkutan
yang mempunyai eselon IA. Maka, dengan demikian, seharusnya menteri terkait
yang lebih berwenang mengangkat posisi wakilnya di kementerian sebagai pejabat
karier, bukannya dilakukan oleh Presiden secara prerogratif.
Hal ini yang kemudian menimbulkan ketidakjelasan dalam memahami
posisi wamen apakah sebagai anggota kabinet setara menteri dalam arti menjadi
pejabat politik ataukah menjadi pejabat birokrat. Kalau diartikan sebagai
pejabat politik, secara jelas posisi wamen rawan dipolitisasi oleh berbagai
partai politik yang menginginkan kadernya duduk di kabinet dan dikhawatirkan
kinerja kementerian yang bersangkutan akan dikooptasi oleh partai politik
tertentu. Kalaupun wamen sendiri dianggap selevel dengan menteri, kenapa harus
ada kata 'wakil' dan menerima gaji serta fasilitas 'setara' dengan menteri?
Wamen seharusnya tidak diperkenankan menikmati fasilitas sekelas
menteri yang dianggarkan dalam Anggaran Sekretariat Kabinet karena sifatnya
yang hanya membantu. Terlebih, jumlah wamen sekarang ini tergolong sangatlah
banyak berjumlah 20 orang tersebar di berbagai kementerian yang tentu akan
membuat menteri malas bekerja karena sudah ada wamen yang menggantikannya.
Maka, bisa dibayangkan menteri sendiri hanya akan berfokus menambah pundi-pundi
uang bagi partainya saja dibandingkan mengurusi kepentingan rakyat banyak.
Dalam hal ini, wakil menteri yang sekarang ini justru diambil dari
berbagai instansi dan kalangan universitas yang sifatnya lintas sektoral
sehingga dari segi konstitusi pengangkatan wakil menteri sendiri kurang tepat.
Ditinjau dari sistem eselonisasi pangkat birokrat, umumnya pejabat karier
birokrat tertinggi hanya sampai level direktorat jenderal (dirjen) atau
sekretaris jenderal (sekjen) yang menjadi pejabat dengan kekuasaan tertinggi kedua
setelah menteri. Adanya posisi wamen yang tiba-tiba menjadi orang kedua setelah
menteri yang datang dari luar struktur kementerian mempengaruhi harmonisasi
relasi kinerja antara menteri dan pejabat bawahannya yang menilai wamen telah
merusak tatanan rantai struktur birokrasi.
Hal ini bisa dianalisa dalam kasus Wamenkumham Denny Indrayana
yang ditinjau dari segi eselonisasi, Wamen Denny sendiri masih IIIA karena
masih berstatus Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, sementara pejabat
Dirjen dan Sekjen di Kemenkuham sendiri rata-rata sudah IIA bahkan IB. Adanya
ketimpangan antara eselon dan jabatan yang dijabat Wamen Denny dengan pejabat
kementerian tentu memberikan dampak kecemburuan sektoral dan jenjang jabatan.
Tentunya bagi pejabat karier yang sudah memiliki golongan tinggi
secara senioritas biasanya tidak mau diperintah oleh pejabat yang masih kalah
tinggi golongannya meskipun sudah menjabat sebagai orang kedua di kementerian
tersebut. Secara psikologis, seorang pejabat lintas sektoral atau lintas
fungsional dalam suatu kementerian cenderung untuk melaporkan kinerjanya secara
langsung kepada menteri yang bersangkutan dan bukan kepada wakil menteri.
Rancu
Kedua, ditinjau tugas pokok fungsinya, apakah deskripsi kerja yang
diemban oleh wakil menteri terkait? Dalam UU No. 39 Tahun 2008 pasal 10
disebutkan, "Dalam rangka mengemban tugas menteri sebagai pembantu
presiden yang dirasa beban kerjanya berat, maka ditunjuklah wakil menteri untuk
membantu tugas menteri di kementerian tertentu."
Definisi 'membantu' kerja menteri sendiri dirasa masih rancu
karena hal ini sama saja Presiden kurang menghargai kinerja sekjen maupun
dirjen yang selama ini telah membantu tugas-tugas kementerian.
Definisi 'membantu' sendiri mempunyai pengertian meluas karena bisa
menabrak tugas pokok fungsi para dirjen dan sekjen sehingga akan menghambat
kinerja kementerian tersebut dan akan menambah panjang mata rantai birokrasi
dalam pengambilan keputusan karena wamen secara stuktural perlu dilibatkan. Hal
ini sama saja Presiden juga tidak konsisten melakukan reformasi birokrasi
dengan mengefisiensi struktur birokrasi yang ada. Adanya 20 wamen, 8 anggota
dewan pertimbangan presiden (wantimpres), staf khusus, satgas, maupun Unit
kerja Presiden lainnya membuat struktur kabinet presidensialisme sekarang ini
sangat gemuk dan hanya menambah beban anggaran semata.
Oleh karena itulah, sebaiknya jabatan wamen sendiri dihilangkan
karena sangat tidak jelas secara struktural maupun kinerja. Akan lebih baik
bagi presiden maupun menteri terkait untuk memperkuat kinerja kepada dirjen dan
sekjen dengan menambah kewenangannya karena di samping dapat mengefisiensi
anggaran, juga dapat menghilangkan stigma kecemburuan dan ego struktural dalam
internal kinerja kementerian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar