Gaji
dan Prestasi Wamen
Joko Wahyono ; Peneliti
pada Center for Indonesian and Islamic Political Studies
(CIIPS) Yogyakarta
SUMBER : SUARA
KARYA, 13 Juni 2012
'Gempa' kembali mengguncang Istana Negara. Bukan gempa musibah
alam, melainkan guncangan hukum dan politik yang menghantam titik episentrum
kekuasaan itu. Kebijakan Presiden terkait mekanisme pengangkatan wakil menteri
(wamen) melalui Perpres No 76 Tahun 2011 telah kehilangan dasar pijakan hukum.
Ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menganulir Penjelasan Pasal 10 UU
No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang digunakan sebagai dasar
Perpres tersebut. Wamen yang kini dihuni oleh pejabat karier 'bukan anggota
kabinet' dinyatakan bertentangan dengan susunan organisasi kementerian dan UUD
1945, sebagaimana diatur dalam UU Kementerian Negara.
Implikasinya, keberadaan wamen dalam kabinet menimbulkan problem
konstitusionalitas dan legalitas. Meski keberadaannya tetap sah dan
konstitusional, namun pengangkatan wamen dari pejabat karier bertentangan
dengan asas legalitas. Permasalahan ini jelas menimbulkan kekacauan dan
distorsi di bidang hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan. Oleh karena
itu, Presiden dengan kewenangan ekslusif dan hak prerogatifnya perlu segera
merevisi Keppres tersebut agar menjadi produk yang memiliki kepastian hukum.
Jika Presiden lamban mencabut dan merevisinya, maka wamen bisa saja bertindak
merugikan dan Presiden bisa digugat.
Inilah 'gempa' carut marutnya tata kelola pemerintahan yang
akhir-akhir banyak diperbincangan. Bagaimana keberadaan wamen secara formal
dinilai tetap sah, namun secara meteriil adalah status quo (kosong). Di sinilah kredibilitas seorang Presiden
dipertaruhkan kembali. Lebih-lebih Presiden kerap kontroversial dalam membuat
kebijakan. Misalnya, ketika Presiden mengangkat Denny Indrayana (Golongan IIIb)
yang tidak memenuhi kualifikasi jabatan karier maupun struktural (Eselon Ia)
menjadi wamen. Kini, Presiden dituntut cepat, hati-hati dan tepat mengevaluasi
keberadaan wamen di dalam tubuh kabinetnya.
Hal yang paling krusial menjadi pertimbangan Presiden dalam
mengangkat wamen adalah asas kemanfaatan. Keberadaan wamen itu memberi manfaat
atau tidak, meningkatkan kinerja pemerintah atau tidak. Profesionalisme kerja
dan prestasi adalah urgen dan tidak boleh dikesampingkan.
Di tengah isu jebolnya APBN dan pesakitan rakyat akibat
tersumbatnya akses ekonomi, problem gaji wamen selalu menarik untuk dicermati.
Tidak sedikit yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai mereka, mulai dari
gaji, fasilitas, anggaran operasional dan tunjangan lainnya. Penghasilan lain
juga bisa didapat dari honor sebagai pejabat pengadaan barang/ jasa, honor
sebagai nara sumber dan lain sebagainya. Banyak pengamat menilai bahwa
pengangkatan wamen hanya akan menghabiskan anggaran. Setiap tahun anggaran
untuk menggaji wamen cenderung semakin meningkat. Ini jelas membebani pajak
yang harus dibayarkan oleh rakyat.
Bisa jadi penilaian ini terbukti benar. Pasalnya, jika kementerian
tertentu sudah memberlakuan tunjangan kinerja, maka mereka akan mempunyai
status grading (kelas jabatan paling tinggi). Sejak pelantikan pada 18 Oktober
2011 terdapat 3 wamen pada kementerian yang sudah memberlakukan tunjangan
kinerja, yakni Wamen Kemenkeu (Grade 27) sebesar Rp 49.950.000, Wamen Kemenkumham
dan Wamen Kem PAN dan RB masing-masing (Grade 17) sebesar Rp 19.360.000. Jika
ditambah gaji pokok wamen sekitar Rp 9-10 juta, maka seorang wamen tiap
bulannya akan menerima total take home
pay (gaji) sekitar Rp 27-30 juta.
Data lain dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (2012)
menyebutkan anggaran untuk wamen di Kemenlu tahun 2011 sebesar Rp 728 juta,
tahun 2012 meningkat menjadi Rp 753 juta. Bahkan untuk tahun 2013 Kemenlu sudah
mengusulkan anggaran untuk wamen hingga Rp 1,41 miliar. Sementara, alokasi
anggaran untuk wamen di Kemendikbud pada tahun 2011 dan 2012 tetap, yakni
sekitar Rp 600 juta. Jika asumsi setiap wamen mendapat Rp 753 juta per tahun,
maka pengeluaran negara setiap tahun untuk 20 wamen berkisar Rp 15 miliar.
Prestasi adalah elemen penting lain sebagai parameter apakah
pengangkatan wamen memberikan manfaat atau tidak. Kenyataannya sampai hari ini
belum tampak sinyal-sinyal meyakinkan bahwa keberadaan mereka telah memberikan
dampak konkrit bagi perubahan peningkatan kinerja pemerintah. Publik masih
sulit mengatakan bahwa kinerja wamen sebagai tandem menteri telah berhasil
merealisasikan program kerja secara maksimal dan menyentuh kepentingan publik
secara komprehensif.
Masalah ini murni menjadi tanggung jawab Presiden, karena proses
pelantikan wamen dilakukan di Istana Negara oleh Presiden sendiri. Oleh karena
itu, tugas seorang wamen seharusnya di bawah komando Presiden. Baik buruknya
kinerja wamen sangat bergantung pada arahan yang diberikan Presiden. Setiap
permasalahan yang timbul terkait dengan kementerian harus diberikan arahan yang
jelas dan tegas, sehingga terpantau dan terkendali. Namun, arahan yang tegas
dari Presiden justru absen, sehingga membuat kinerja wamen menjadi tidak jelas.
Segala persoalan sangat muskil dapat terselesaikan dengan arahan yang terlalu
normatif. Problem miskinnya prestasi wamen berawal dari sini.
Kini, saatnya Presiden berani membuat indikator-indikator
pencapaian tertentu terkait dengan kinerja wamen. Selain prestasi dan mekanisme
pengangkatannya, problem gaji juga harus menjadi titik perhatian oleh Presiden.
Karena ketika wamen ditetapkan menjadi anggota kebinet, maka anggaran negara
untuk menggaji mereka sudah pasti akan membengkak. Hal inilah yang
dikhawatirkan oleh berbagai kalangan. Meski dengan gaji tinggi, belum tentu ada
garansi yang menjamin bahwa wamen akan menorehkan prestasi.
Di sinilah prestasi dan gaji penting untuk dipertimbangkan oleh
Presiden dalam pengangkatan wamen. Jangan sampai pengangkatan mereka hanya
sebatas politisasi jabatan yang justru memboroskan anggaran. Pengangkatan wamen
sebenarnya tidak akan bermasalah jika didasarkan pada pola the right man and the right place. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar