Politik
Anggaran Hibah
Apung Widadi ; Anggota Badan
Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW)
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 2 Juni 2012
SAAT ini
ada kecenderungan peningkatan alokasi dana hibah dan bantuan sosial (bansos)
menjelang pilkada di beberapa daerah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Politik anggaran itu berkorelasi dengan peningkatan kasus korupsi dana hibah
dan bansos menjelang pilkada, dan tren itu disinyalir memuncak menjelang Pemilu
2014. Audit BPK 2011 menyebutkan aliran dana bansos tahun 2007-2010
mencapai Rp 300 triliun
Namun BPK menyatakan dana itu banyak diselewengkan untuk keperluan pilkada. Temuan lembaga itu selaras dengan hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai tren korupsi 2009, yakni dana bansos dan hibah paling banyak dikorupsi bertepatan dengan tahun penyelenggaraan pemilu. Kerugian negara khusus akibat korupsi dana bansos pada tahun itu Rp 215,57 miliar.
Ironis, dana untuk kepentingan sosial masyarakat disalahgunakan oleh elite untuk membiayai aktivitas politik. Dana bansos dan hibah menjadi dana taktis pilkada di daerah dan pusat karena partai cenderung pragmatis mengelola anggaran negara melalui wakilnya di kementerian atau lembaga legislatif. Mereka tidak mengarahkannya untuk menyejahterakan rakyat, sebagaimana substansi Permendagri 32 Tahun 2011.
Temuan terbaru ICW soal korupsi dana hibah dan bansos terjadi di Banten 2011. Pada tahun anggaran itu, alokasi dana hibah Rp 340,46 miliar dan bansos Rp 51 miliar, meningkat hampir 100% ketimbang tahun sebelumnya. Tahun itu bertepatan dengan pilkada di provinsi tersebut, dan incumbent (petahana) kembali mencalonkan diri.
Berdasarkan verifikasi, dari 160 penerima dana bansos dan hibah, Pemprov Banten hanya mencantumkan 30 nama lembaga, itu pun tak dilengkapi alamat jelas. Sisanya, dengan persentase terbesar, yaitu 130 lembaga penerima (81,3%) hanya ditulis ’’daftar bantuan terlampir’’. Setelah ICW menguji petik ternyata lembaga penerima dana itu dipimpin oleh kerabat dan kroni incumbent.
Tren itu juga terjadi di DKI Jakarta 2012, bertepatan dengan tahun pilgub. Dana hibah di DKI Rp 1,3 triliun, meningkat hampir 200 persen ketimbang tahun sebelumnya. Muncul dugaan hal itu terkait dengan kembali tampilnya incumbent. Modusnya pun hampir sama, mengalirkan dana itu kepada kroni dan tim sukses.
Petunjuk Teknis
Dana hibah di Jateng 2012, atau setahun menjelang Pilgub 2013 tercatat Rp 3 triliun. Angka itu, menurut catatan ICW, paling besar ketimbang provinsi lain. Alokasi itu terasa tidak wajar terkait dengan kondisi Jateng yang masih belum bisa bersaing misalnya dengan Jatim, baik dari laju perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat.
Penulis khawatir dana hibah di Jateng yang nilainya besar disalahgunakan mengingat Pilgub 2013 sudah relatif dekat. Kita bisa melihat organisasi yang berpeluang menjadi tim pemenangan mendapat dana besar, misalnya KNPI Jateng mendapat hibah Rp 45 miliar, sedangkan organisasi buruh atau PKL mendapat bantuan senilai hanya ratusan, bahkan puluhan juta rupiah.
Dari beberapa fakta itu, kita tak memungkiri dana bansos dan hibah rawan dikorupsi. Memang ada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang bersumber dari APBD tapi regulasi ini belum membatasi alokasinya, misalnya maksimal 1% dari total APBD. Akibatnya, definisi yang menyebutkan besaran dana hibah dan bansos sesuai dengan kemampuan keuangan daerah bisa ’’dimainkan’’ oleh beberapa elite.
Seyogianya perlu ada moratorium pemberian dana hibah dan bansos minimal setahun menjelang daerah itu menggelar pilkada. Upaya itu sekaligus mengantisipasi supaya incumbent dan elite politik tidak bisa memanfaatkan dana itu sebagai dana taktis pemenangan pilkada. Tentunya pemerintah harus mendorong partai menggali dana secara mandiri dan kreatif. ●
Namun BPK menyatakan dana itu banyak diselewengkan untuk keperluan pilkada. Temuan lembaga itu selaras dengan hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai tren korupsi 2009, yakni dana bansos dan hibah paling banyak dikorupsi bertepatan dengan tahun penyelenggaraan pemilu. Kerugian negara khusus akibat korupsi dana bansos pada tahun itu Rp 215,57 miliar.
Ironis, dana untuk kepentingan sosial masyarakat disalahgunakan oleh elite untuk membiayai aktivitas politik. Dana bansos dan hibah menjadi dana taktis pilkada di daerah dan pusat karena partai cenderung pragmatis mengelola anggaran negara melalui wakilnya di kementerian atau lembaga legislatif. Mereka tidak mengarahkannya untuk menyejahterakan rakyat, sebagaimana substansi Permendagri 32 Tahun 2011.
Temuan terbaru ICW soal korupsi dana hibah dan bansos terjadi di Banten 2011. Pada tahun anggaran itu, alokasi dana hibah Rp 340,46 miliar dan bansos Rp 51 miliar, meningkat hampir 100% ketimbang tahun sebelumnya. Tahun itu bertepatan dengan pilkada di provinsi tersebut, dan incumbent (petahana) kembali mencalonkan diri.
Berdasarkan verifikasi, dari 160 penerima dana bansos dan hibah, Pemprov Banten hanya mencantumkan 30 nama lembaga, itu pun tak dilengkapi alamat jelas. Sisanya, dengan persentase terbesar, yaitu 130 lembaga penerima (81,3%) hanya ditulis ’’daftar bantuan terlampir’’. Setelah ICW menguji petik ternyata lembaga penerima dana itu dipimpin oleh kerabat dan kroni incumbent.
Tren itu juga terjadi di DKI Jakarta 2012, bertepatan dengan tahun pilgub. Dana hibah di DKI Rp 1,3 triliun, meningkat hampir 200 persen ketimbang tahun sebelumnya. Muncul dugaan hal itu terkait dengan kembali tampilnya incumbent. Modusnya pun hampir sama, mengalirkan dana itu kepada kroni dan tim sukses.
Petunjuk Teknis
Dana hibah di Jateng 2012, atau setahun menjelang Pilgub 2013 tercatat Rp 3 triliun. Angka itu, menurut catatan ICW, paling besar ketimbang provinsi lain. Alokasi itu terasa tidak wajar terkait dengan kondisi Jateng yang masih belum bisa bersaing misalnya dengan Jatim, baik dari laju perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat.
Penulis khawatir dana hibah di Jateng yang nilainya besar disalahgunakan mengingat Pilgub 2013 sudah relatif dekat. Kita bisa melihat organisasi yang berpeluang menjadi tim pemenangan mendapat dana besar, misalnya KNPI Jateng mendapat hibah Rp 45 miliar, sedangkan organisasi buruh atau PKL mendapat bantuan senilai hanya ratusan, bahkan puluhan juta rupiah.
Dari beberapa fakta itu, kita tak memungkiri dana bansos dan hibah rawan dikorupsi. Memang ada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang bersumber dari APBD tapi regulasi ini belum membatasi alokasinya, misalnya maksimal 1% dari total APBD. Akibatnya, definisi yang menyebutkan besaran dana hibah dan bansos sesuai dengan kemampuan keuangan daerah bisa ’’dimainkan’’ oleh beberapa elite.
Seyogianya perlu ada moratorium pemberian dana hibah dan bansos minimal setahun menjelang daerah itu menggelar pilkada. Upaya itu sekaligus mengantisipasi supaya incumbent dan elite politik tidak bisa memanfaatkan dana itu sebagai dana taktis pemenangan pilkada. Tentunya pemerintah harus mendorong partai menggali dana secara mandiri dan kreatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar