Kamis, 07 Juni 2012

Paradoks Kemuliaan Sepak Bola


Paradoks Kemuliaan Sepak Bola
Amir Machmud NS ; Wartawan Suara Merdeka
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 7 Juni 2012


MOMEN demi momen sepak bola seolah-olah menjadi “menara” pemersatu fokus umat manusia, namun juga tak pernah berhenti menyembulkan paradoks tentang “luka”. Inilah ruang yang memberi jaminan kebersatuan segala macam “sekte” yang menggelayuti bawah sadar manusia: tak ada sekat agama, politik, status sosial-ekonomi, golongan, dan sekat kesukuan.

Bukankah tak akan ada yang mempermasalahkan, apa agamamu maka kamu menoleh ke Polandia-Ukraina untuk menikmati Piala Eropa? Tak pula ada kelompok fanatikus agama yang mempersoalkan, mengapa kamu mengidolakan kesebelasan tertentu yang berbeda ideologi denganmu. Tak akan ada yang menggugat mengapa kamu mendukung Mario Ballotelli dan bukan Thomas Mueller. Mengapa pula Jerman menerima keberadaan Mesut Oziel dan Sami Khedira; Prancis tak menyoal eksistensi Franck Ribery, Samir Nasri, dan Karim Benzema; atau Belanda tak kehilangan kondusivitas karena beda keyakinan agama Robin van Persie dari rata-rata anggota tim Oranye.

Ya, karena sejatinya sepak bola adalah “taman bunga” dengan semerbak dan keelokan warna-warninya. Football without frontier, sepak bola tanpa batas. Ia menyatukan umat manusia dalam hakikat multikultur: kesamaan, kesetaraan; menjadikan panggung bola sebagai milik semua. Fasisme, chauvinisme, atau segala macam ideologi pemuja keunggulan tak pernah mendapat tempat. Uber alles bukan matra yang diterima jika dipahami dari konteks arogansi ras tertentu. Keultrakananan Marie Jean Le Pen yang melecehkan Zinedine Zidane dan kawan-kawan di tim juara dunia Prancis 1998 misalnya, bukankah hanya berbalas kecaman?

Jadi apa artinya ketika seorang Mario Ballotelli menyampaikan ancaman untuk meninggalkan lapangan jika mendapat hinaan rasis di lapangan, dan ancaman itu dikuatkan oleh dukungan sikap seluruh anggota tim Italia?

Pendirian striker yang diberi nomor punggung 9 oleh pelatih Cesare Prandelli itu tidak berlebihan. Rasisme, yang masih menghantui liga-liga Eropa, kini juga ditengarai menjadi virus pengancam di Polandia-Ukraina.

Inilah paradoks kemuliaan sepak bola: realitas setback justru ketika Amerika Serikat dan negara-negara Barat tak berhenti mengampanyekan dan “mengekspor” demokrasi dengan aneka justifikasinya, termasuk ke negara-negara tertentu yang malah menimbulkan komplikasi kedaulatan.

Di lapangan, kisah Rio Ferdinand yang membela adiknya, Anton dari cercaan rasis John Terry, atau sikap striker Liverpool Luis Suarez terhadap kapten Manchester United Patrice Evra adalah contoh hipokritas justru di jantung arena yang mengedepankan nilai-nilai sportmanship. Pemain asal Kamerun, Samuel Eto’o, tak henti meradang ketika masih bermain di Spanyol. Suara dan gerakan meniru monyet, lemparan kulit pisang, atau spanduk penistaan merupakan sikap verbal yang nyata-nyata mengekspresikan penelikungan elan multikultur sepak bola.

Simaklah kegelisahan Franklin Foer, editor senior The New Republic, dalam  Memahami Dunia lewat Sepak Bola (2006), “... saya mulai curiga bahwa globalisasi sebenarnya tengah memperkuat entitas-entitas lokal dengan cara yang tidak selalu bagus...”

Perlawanan Terakhir


Memilih mereaksi perlakuan rasis dengan meninggalkan lapangan merupakan perlawanan terakhir, ketika kampanye “Say No to Racism” belum mampu menyentuh hati mereka yang merasa diberkahi kemuliaan hanya karena berkulit warna tertentu.

Tak sedikit contoh betapa fakta-fakta perlakuan itu menumpahkan air mata, menguak luka, dan menindas kepercayaan diri manusia.

Hukuman organisasional berupa larangan bermain untuk beberapa laga, atau peradilan seperti yang dihadapi oleh John Terry, terbukti belum menjadi terapi penjera, karena antirasisme hanya akan efektif jika tumbuh menginternal sebagai sikap.

Bukankah pelatih Spanyol di Piala Eropa 2008, Luis Aragones justru memperkuat paradoks lewat caranya memotivasi Jose Antonio Reyes, dengan menyebut pembanding Thiery Henry dari warna kulitnya? Fabio Capello juga digugat para aktivis di Inggris karena mempertahankan ban kapten John Terry yang diduga melecehkan Anton Ferdinand. Kini, walaupun beralasan murni pilihan teknis, keputusan pelatih Inggris Roy Hodgson membawa Terry dan menepikan Rio Ferdinand juga banyak dipertanyakan.

Di satu sisi, dinamika menggembirakan muncul dari keputusan para pelatih yang membangun “taman bunga” seperti Prancis di Piala Dunia 1998, Piala Eropa 2000, juga tim Euro 2012; atau skuad Jerman di Afrika Selatan 2010 dan sekarang.

Sikap Cesare Prandelli yang men-support ancaman Ballotelli juga menjadi angin segar bagi kesadaran melawan rasisme.

Pada sisi lain, “luka” dari cemooh, cerca, dan sikap para pemain yang masih banyak meletupkan hipokritas, juga suporter-suporter ultras yang “sok putih”, memaparkan latar kenyataan lain betapa sepak bola masih menjadi ruang perjuangan untuk menjaga konsistensi stamina menyetarakan semua.

Dalam masyarakat multikultural, tulis Richard Giulianotti dalam Sepak Bola: Pesona Sihir Permainan Global (2006), heterogenitas suara nasionalis khususnya sangat mencolok. Contohnya, saat Prancis memenangi Piala Dunia 1998 di Tanah Airnya, kemenangan itu disambut oleh berbagai corak pendapat etnis dan politis; rakyat keturunan Afrika Utara membentangkan bendera tiga warna bersama dengan bendera nasional Aljazair.

Intinya adalah ketulusan keberterimaan. Pada saatnya, sikap antirasisme itu harus membentuk penghayatan: orang-orang di lingkungan industri sepak bola Eropa menerima ras berbeda bukan sekadar lantaran kehebatan skill dan gol-golnya melainkan karena para pemain yang “dibedakan” itu adalah bagian dari mereka.

Sepak bola hanya forum kecil dari banyak medium penyadaran tentang keindahan persaudaraan sejati... ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar