Pancasila
Diimpikan Tanpa Dibumikan
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
SUMBER : KOMPAS, 5
Juni 2012
Dalam dekapan hawa musim gugur yang
mendingin, 23 Oktober 2011, ratusan orang memadati ballroom Hotel Great Wall Sheraton di pusat kota Beijing untuk
mendiskusikan buku Negara Paripurna:
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Seorang peserta bertanya kepada penulis, ”Menurut Bapak, manakah yang lebih baik
antara komunisme dan Pancasila. Jika Bapak berani mengatakan Pancasila lebih
baik, mana buktinya bahwa kehidupan warga di bawah payung Pancasila lebih baik
daripada kehidupan warga di bawah payung komunisme seperti di China ini?”
Pertanyaan tersebut mewakili kesadaran banyak
orang dalam menyoal Pancasila. Setelah 67 tahun Pancasila dilahirkan, keluhuran
nilai-nilainya sebagai dasar dan haluan bernegara terus diimpikan tanpa
kemampuan untuk membumikannya.
Sebuah penantian kesia-siaan menyerupai kisah
Waiting for Godot karya Samuel
Beckett. Alkisah, Vladimir dan Estragon berhari-hari menanti di jalan sunyi
kedatangan makhluk misterius bernama Godot. Setelah yang dinanti tak kunjung
datang, keduanya memutuskan untuk pergi. Estragon: ”Baiklah, haruskah kita
pergi?” Vladimir: ”Ya, mari kita pergi.” Meski begitu, keduanya tidak bergerak,
tetap di tempat.
Waktu terus berlalu, meninggalkan bangsa
Indonesia yang terus menanti pendaratan mesiah Pancasila. Penantian yang tak
kunjung datang melahirkan sumpah serapah. Dalam kaitan ini, warisan terburuk
dari pemerintahan otoriter adalah ketidaksanggupan warga untuk membayangkan
sisi-sisi baik dari masa lalu. Masa lalu dipandang sebagai sumber kutukan.
Pancasila yang diindoktrinasikan di masa lalu lantas ramai-ramai dihapus dari
kurikulum sekolah dan kesadaran kenegaraan.
Setelah sumpah serapah dimuntahkan atas
penantian yang dijanjikan masa lalu nan tak kunjung datang, kita memutuskan
pergi untuk mengubah keadaan lewat reformasi. Nyatanya, keputusan pergi itu
tidak diikuti oleh pergerakan. Perubahan demi perubahan prosedural terus terjadi
untuk membuat kehidupan tetap jalan di tempat.
Dalam kegelapan harapan ke depan, orang-orang
kembali menengok masa lalu. Pancasila kembali dirayakan. Namun, sekali lagi,
tanpa kesungguhan usaha untuk membumikan. Kepedulian terhadap Pancasila
berhenti sebagai komedi omong, yang tingkat kedalamannya hanya sampai di
tenggorokan. Kadar pembumian Pancasila hanyalah berayun dari seremoni penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ke seremoni sosialisasi Empat
Pilar (4P), tanpa kekayaan metodologi dan perluasan imajinasi pematrian
nilai-nilai Pancasila itu dalam pembentukan karakter bangsa.
Radikalisasi Pancasila
Setiap pandangan hidup atau ideologi yang
ingin memengaruhi kehidupan secara efektif tak bisa diindoktrinasikan sebatas
upacara, tetapi perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses
”pengakaran” (radikalisasi). Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi
ideologis: keyakinan (mitos),
penalaran (logos), dan kejuangan (etos).
Pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali
Pancasila sebagai ideologi negara. Pada sisi ini, bangsa Indonesia harus
diyakinkan, seperti kata John Gardner, ”Tidak
ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada
sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi
moral guna menopang peradaban besar.” Mematrikan keyakinan pada hati warga
tidak selalu bersifat rasional. Pendekatan afektif-emotif dengan menggunakan
bahasa seni-budaya dan instrumen multimedia akan jauh lebih efektif.
Pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk mengembangkan
Pancasila dari ideologi menjadi ilmu. Pancasila harus dijadikan paradigma
keilmuan yang melahirkan teori pengetahuan dan komunitas epistemiknya. Proses
obyektivikasi penting karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis
dan realitas-kebijakan.
Pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila
diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila
mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila,
dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang
semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang
melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik
kebijakan negara.
Pancasila adalah dasar persatuan dan haluan
kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama kita belum bisa membumikan nilai Pancasila
dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia tidak akan dapat meraih
kemajuan-kebahagiaan.
Radikalisasi Pancasila merupakan suatu
kemestian, betapapun hal itu merupakan pekerjaan yang sulit di suatu negeri
yang dirundung banyak masalah. Namun, dengan semangat gotong royong yang
menjadi nilai inti Pancasila, kesulitan bisa ditanggung bersama. Dalam
membangkitkan semangat itu, diperlukan kepemimpinan yang dapat memulihkan
kembali kepercayaan warga kepada diri dan sesamanya. Kekuasaan digunakan untuk
menguatkan solidaritas nasional dengan memberi inspirasi kepada warga untuk
mencapai kemuliaannya dengan membuka diri penuh cinta kepada yang lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar