Korupsi
dan Moralitas Publik
Endrizal ; Staf Pengajar
STISIP Persada Bunda Pekanbaru,
Pengurus
Institute of Social, Empowerment and Development (ISED) Pekanbaru
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 6 Juni 2012
Kembali menguak dan mengapungnya persoalan
kasus pembangunan proyek Hambalang yang sedianya diperuntukkan untuk pemusatan
latihan para atlet Indonesia yang disinyalir penuh dengan
kejanggalan-kejanggalan bahkan telah menjurus kepada persoalan korupsi, seakan
mengindikasikan bahwa persoalan korupsi di Indonesia tidak akan pernah habis
dibahas.
Beberapa tahun terakhir korupsi diperlakukan
sebagai kejahatan luar biasa dan sejumlah koruptor dijerat hukum. Sebelumnya,
korupsi sulit diberantas. Sistem hukum lama tak mampu menjerat pejabat publik
yang ditengarai terlibat skandal keuangan.
Negara sulit menghukum pejabat, tetapi mudah
menghukum rakyat. Padahal, yang dikorupsi adalah uang rakyat. Tiada efek jera
bagi pejabat yang melihat uang negara sebagai objek untuk dijarah. Pengeluaran
negara dibuat jauh lebih besar daripada seharusnya. Penerimaan negara dibuat
jauh lebih kecil daripada seharusnya. Politik anggaran penuh rekayasa.
Kehormatan Institusi
Dalam rezim otoriter, hukum didesain lebih
untuk rakyat daripada untuk penguasa. Hukum ditujukan kepada kasus pelanggaran
warga dan tidak disiapkan untuk menghadapi kejahatan terstruktur yang
melibatkan pejabat. Saat ada terobosan dalam peradilan dan pejabat menjadi
tersangka korupsi, penegak hukum gamang. Kehormatan institusi bisa tercoreng.
Maka, tersangka akhirnya bebas dengan dalih bukti tidak cukup. Uang negara
gagal diselamatkan.
Ketika pemerintah mengatur mekanisme untuk
menghukum diri sendiri (diwakili pejabat terkait), keadilan menjadi bias.
Pemerintahan korup, berkepentingan dengan sistem hukum yang lemah agar
sesedikit mungkin pejabat terjerat hukum untuk menjaga kehormatan institusi.
Semakin tinggi jabatan atau dekat lingkaran kekuasaan, semakin banyak alasan
untuk melindunginya dari jerat hukum.
Kendati suatu kebijakan publik terbukti
keliru, pejabat terkait tidak dikriminalkan. Kebijakan keliru dianggap produk
kelembagaan, bukan produk individu. Pejabat bertindak sebagai otoritas publik
dan lolos dari jerat hukum, meski keuangan negara amat dirugikan. Daripada
mengabdi untuk kehormatan institusi, pejabat korup berlindung di balik kehormatan
itu dan melakukan kolusi lintas institusional.
Kendati selalu ada kemauan politik untuk
menghukum pejabat yang salah, dalam praktiknya pemerintah cenderung defensif.
Pejabat kerap berkelit jika dikatakan korupsi mewabah nyaris di semua institusi
negara. Pihak yang disalahkan selalu oknum. Tiap penyimpangan dikembalikan
kepada kesalahan pribadi, kelemahan nurani yang bersangkutan. Padahal yang
terjadi adalah penyimpangan korps. Semangat koruptif korps. Nurani korps
bermasalah.
Di kantor-kantor layanan administrasi publik,
warga yang taat aturan terpaksa menunggu lama untuk dilayani dibandingkan
mereka yang menggunakan jasa calo. Sudah biasa calo bebas masuk-keluar ruang
petugas. Mustahil prosedur seperti itu hanya inisiatif satu dua petugas di
loket tanpa dukungan korps. Itu sebabnya Rancangan Undang-Undang Layanan Publik
mendesak untuk disahkan.
Perang melawan korupsi tidak cukup hanya
dicanangkan, tetapi harus menular di level pejabat struktural. Administrasi
layanan publik sarat pungutan liar. Inspeksi mendadak selalu diperlukan untuk
menimbulkan efek jera, terutama bagi kepala kantor yang dengan sengaja
membiarkan praktik koruptif merajalela. Indonesia belum belajar dari negeri
tetangga yang dipercaya para investor dan menjadi kaya karena tertib
administrasinya.
Negeri kaya sumber daya alam macam Indonesia
tak kunjung kaya. Negara dirugikan oleh kleptokrasi. Oknum birokrasi dengan
mudah melakukan pungutan ilegal. Yang tidak tunduk dipersulit. Rakyat kecil
harus membayar segala macam layanan publik yang mestinya gratis atau murah.
Tertib bernegara ditentukan oleh kekuatan uang, bukan oleh tata kelola
pemerintahan.
Moralitas yang Tergadaikan
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat di
lingkungan eksekutif-legislatif-yudikatif menunjukkan lemahnya disiplin
anggaran dan tata kelola pemerintahan. Pejabat lebih merasa berutang kepada
(oligarki) partai, bukan kepada rakyat. Kepentingan asing pun bermain dalam
proses legislasi yang akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat. Pejabat
terjebak hiruk-pikuk demokrasi yang tak berkorelasi dengan kesejahteraan
rakyat.
Pelayan publik mengabdi demi uang, bukan
untuk kepentingan publik. Pengabdian mendua itu menghasilkan perilaku koruptif.
Darurat moralitas publik. Solusinya bukan menjadikan negara sebagai polisi
moral bagi warga, tetapi rakyat terus menekan birokrasi agar mentalitas
koruptif terkikis. Jika perang melawan korupsi dilakukan dengan semangat jihad,
niscaya Indonesia melesat maju meninggalkan banyak negeri lain sekawasan.
Rakyat sering terjebak dengan keberagamaan
lahiriah pejabat. Padahal, substansi keberagamaan pejabat adalah integritas
moralnya. Kesalehan publiknya, kecintaannya kepada rakyat, pengabdiannya tanpa
pamrih berhadapan dengan jerat korporasi yang bersandar pada mekanisme pasar
dan hukum-hukum impersonal, negara mestinya berperan sebagai regulator, tidak
ikut-ikutan memakai bahasa pasar berhadapan dengan rakyat.
Harga jual gas kita kepada asing dalam
kerangka kontrak bisnis jangka panjang masih lebih murah dibandingkan harga gas
subsidi di dalam negeri. Namun, pemerintah membiarkan harga jual di dalam
negeri berlaku sesuai mekanisme pasar. Rakyat kecil menjerit dengan harga gas
yang cenderung naik dan pontang-panting menghadapi kelangkaan. Mudahnya pejabat
kita mengingkari kontrak sosial dengan rakyat (baca: konstitusi).
Di negara demokrasi yang kuat penegakan
hukumnya, (calon) pejabat mudah membuat pengakuan salah di depan publik. Meski
dikenal sebagai negeri yang lemah penegakan hukumnya, jarang sekali pejabat
kita mengaku salah. Makin tinggi posisi, makin sulit mengaku salah. Citra
publik di atas moralitas publik. Kesenjangan antara moralitas individual dan
moralitas publik.
Banyak yang tidak beres dengan
penyelenggaraan negara, tetapi terlalu sedikit pejabat yang mengaku salah atau
dikenai sanksi berat. Ketidakberesan ditutupi kebohongan publik. Ketidakberesan
terus berlangsung karena ketidaktegasan atasan dan lemahnya kontrol dari atas.
Reformasi birokrasi jalan di tempat. Krisis ekonomi berlanjut dan kini
menggerogoti pranata sosial. Figur publik membanjir di tengah kelangkaan
moralitas publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar