Pragmatisme
UU Pengadaan Tanah
Maria SW Sumardjono ; Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM
SUMBER : KOMPAS, 7
Juni 2012
Keberadaan UU No 2/2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang disahkan 14 Januari 2012,
”tenggelam” oleh kasus- kasus sengketa/konflik pertanahan yang begitu masif dan
kompleks.
Pengaturan pengadaan tanah dalam UU memang
tepat. Namun, dari segi substansi, UU yang strategis dan berdampak luas ini
menyisakan beberapa catatan.
UU dibentuk untuk suatu tujuan. Kendala utama
pembangunan untuk kepentingan umum, khususnya infrastruktur—lebih khusus lagi
jalan tol—adalah pembebasan tanah, yang tidak dapat ditanggulangi melalui
Perpres No 36/2005 jo Perpres No 65/2006. Oleh karena itu, UU Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (PTKU) dimaksudkan disusun untuk
menjamin kelancaran proses pengadaan tanah.
Jadwal keseluruhan proses pengadaan tanah
kurang dari 2 tahun. Pendataan awal sampai konsultasi publik 4,5 bulan.
Keberatan terhadap lokasi pembangunan yang tak berhasil ditangani gubernur
diselesaikan melalui peradilan tata usaha negara sampai keputusan Mahkamah
Agung memakan waktu kurang lebih 4 bulan. Tahap inventarisasi sampai revisi
data 2,5 bulan. Pada tahap pemberian ganti rugi, bila ada pihak yang
berkeberatan dapat menempuh jalur hukum melalui pengadilan negeri setempat
sampai dengan kasasi, yang ditempuh sekitar 4 bulan.
Bagi investor, berlarutnya proses pengadaan
tanah berakibat penundaan kegiatan, berdampak terhadap biaya yang membengkak,
dan risiko lain. Kegalauan investor dijawab dengan memberikan bobot lebih pada
kepastian hukum dalam UU PTKU.
Kepastian hukum memang penting. Namun, di
luar tujuan untuk serba cepat itu, tidak kalah penting kualitas dalam proses
pengadaan tanah, khususnya upaya mencapai kesepakatan dengan pihak yang harus
melepaskan tanahnya.
Agar dapat dijamin bahwa musyawarah dapat
berlangsung secara sukarela dan bebas dari tekanan, hak masyarakat untuk
mengajukan keberatan serta tata caranya wajib disampaikan ke masyarakat.
Transparansi terhadap hal-hal yang berpengaruh terhadap masyarakat yang terkena
dampak itu sesuai dengan UU No 18/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi
masyarakat yang kehilangan tanahnya, UU PTKU dirasakan adil jika kesejahteraan
sosial-ekonominya tak mengalami penurunan setelah tanahnya dilepaskan untuk
kepentingan umum.
Pengadaan tanah diselenggarakan dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan
masyarakat. Dengan demikian, berbagai ketentuan dalam UU PTKU harus dapat
menjamin bahwa kegiatan pembangunan itu ditujukan untuk kemakmuran rakyat.
Tolok ukur capaiannya paling tidak harus dapat dilihat dari kemanfaatan pembangunan
untuk kepentingan umum itu bagi rakyat dan tingkat pemerataan kemanfaatannya
serta penghormatan terhadap hak rakyat.
Mengingat pembangunan untuk kepentingan umum
itu merupakan bagian dari penyelenggaraan ekonomi nasional, pasal-pasal dalam
UU PTKU harus dapat mencerminkan keseimbangan antara keuntungan pembangunan
bagi investor dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Hal ini sesuai
dengan prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan menurut Pasal 33
Ayat (4) UUD 1945.
Menabrak
Prinsip Hukum
Terobosan yang ditempuh UU PTKU menimbulkan
tanda tanya dikaitkan dengan konsep dasar perolehan tanah untuk kepentingan
umum. Sesuai konsepsi hukum tanah nasional, pada prinsipnya perolehan tanah
harus dengan cara musyawarah. Artinya, masyarakat melepaskan tanahnya secara
sukarela dengan memperoleh ganti kerugian.
Bila untuk kepentingan umum semua upaya untuk
mencapai musyawarah gagal, sedangkan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan
ke tempat lain, maka ditempuh acara pencabutan hak atas tanah. Langkah ini
sesuai UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang
Ada di Atasnya, yang landasan hukumnya diletakkan oleh Pasal 18 UU Pokok
Agraria.
Konsepsi ini masih dianut oleh Keppres No
55/1993 dan perpres. Sesuai keppres dimaksud, bila bentuk dan besar ganti
kerugian ditolak oleh 25 persen pemegang hak, sedangkan lokasi tidak dapat
dipindahkan, hal itu dapat berujung pada upaya pencabutan hak atas tanah. Ganti
rugi dititipkan di pengadilan jika pemilik tanah tak ditemukan.
Menurut perpres, bila 75 persen pemilik tanah
menolak lokasi pembangunan, terbuka upaya menempuh acara pencabutan hak atas
tanah. Demikian juga bila 25 persen pemilik tanah menolak penawaran ganti
kerugian, ganti rugi dititipkan di pengadilan negeri setempat, dengan tetap
terbuka kemungkinan menempuh upaya pencabutan hak.
Karena hak perorangan itu dihormati, bila
kepentingan umum menghendaki dan musyawarah menemui kegagalan, sedangkan lokasi
tak dapat dipindah, demi memenuhi asas keseimbangan antara kepentingan umum dan
kepentingan perorangan, maka hak atas tanah dapat dicabut melalui proses yang
berujung pada keputusan presiden. Permasalahan terkait ganti kerugian ditempuh
melalui pengadilan tinggi, yang putusannya bersifat final dan mengikat (PP No
39/1973).
UU PTKU menempuh jalan pintas terhadap
penolakan masyarakat. Apa pun keberatan masyarakat, semua diselesaikan melalui
lembaga peradilan, disertai penitipan ganti kerugian di pengadilan. Tertutup
sudah kemungkinan menempuh acara pencabutan hak yang disediakan UU No 20/1961.
Bahkan, dalam keadaan mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang
meluas, dan wabah penyakit, pembangunan untuk kepentingan umum dapat langsung
dilaksanakan berdasarkan penetapan lokasi oleh gubernur. Sebelum UU PTKU, ini
merupakan rezim pengaturan UU No 20/1961.
Demi politik pencitraan, hendaknya sistem
hukum jangan dikorbankan demi menjaga agar presiden tidak perlu menerbitkan
keputusan pencabutan hak untuk kepentingan umum bila musyawarah menemui
kegagalan. Hukum sudah menyediakan sarananya dan sampai sekarang UU No 20/1961
belum dicabut.
Sikap
Tegas
Pragmatisme UU PTKU telah menabrak prinsip
”hukum sebagai sistem”. Ini contoh buruk dalam pembangunan hukum. Perlu
ketegasan sikap untuk mengakhiri pembengkokan konsep dalam perolehan tanah
untuk kepentingan umum.
Pilihannya adalah pertama, UU PTKU harus
dirombak. Artinya, kembali kepada sistem yang ada, yakni pengadaan tanah
melalui musyawarah. Bila musyawarah gagal, dibuka upaya menempuh acara
pencabutan hak. Penitipan ganti kerugian dapat dilakukan untuk hal-hal
tertentu, yakni jika pemegang hak tidak ditemukan atau keberadaannya tidak
diketahui; obyek pengadaan tanah sedang menjadi obyek perkara di pengadilan;
tanah dalam sengketa, diletakkan sita jaminan, dan sedang dijaminkan dengan hak
tanggungan. Kedua, UU PTKU tetap dipertahankan, tetapi UU No 20/1961 dan Pasal
18 UU PA harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Masing-masing pilihan pasti ada risikonya.
Namun, inilah konsekuensinya jika penyusunan UU cenderung ditujukan untuk
kepentingan jangka pendek. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar