Trilogi
Ketimpangan yang Mencemaskan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
KORAN
SINDO, 07 Januari 2016
Ketimpangan masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari
selesai. Bank Dunia lewat laporan bertajuk “Ketimpangan yang Semakin Melebar”
merilis, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang membuat ketimpangan kian
melebar (KORAN SINDO, 9/12/2015 ).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 6% satu dekade terakhir
hanya dinikmati segelintir pelaku. Indonesia tidak sendiri. Di dunia saat ini
ada 2,2 miliar orang hidup dengan pendapatan kurang USD2. Namun, ketimpangan
yang kian melebar di negeri ini menandakan ada yang salah dalam gerak
pembangunan. Pembangunan justru tidak menyejahterakan semua lapisan.
Ketimpangan itu mewujud dalam tiga bentuk: ketimpangan antarwilayah,
disparitas antarsektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan antarpenduduk.
Dua wajah wilayah Indonesia lebih mudah dikenali dari
kesenjangan wilayah: antara wilayah barat vs timur. Pada 1975 kawasan barat
Indonesia (KBI) menguasai 84,6% PDB nasional dengan Jawa yang hanya 9% dari
luas wilayah menguasai 46,7% PDB nasional dan jadi tempat bermukim 63,2%
penduduk Indonesia. Lebih dari tiga dekade kemudian, pada 2013 KBI (Jawa dan
Sumatera) menguasai 82% PDB nasional dengan meninggalkan kawasan timur
Indonesia (KTI), yang hanya menguasai 18%.
Supremasi Jawa atas non-Jawa terlihat jelas: pada 2013 Jawa
menguasai 58% PDB nasional dengan tiga provinsinya (DKI Jakarta, Jawa Timur,
dan Jawa Barat) menguasai 46% PDB nasional. Inilah dua wajah asli wilayah
Indonesia. Ketimpangan antarsektor terjadi karena kue pertumbuhan tidak
terbagi merata (untuk semua pelaku ekonomi). Kue pertumbuhan ekonomi selama
ini lebih banyak ditopang sektor modern (non-tradable), seperti sektor
keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/hotel/restoran.
Pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,78% ditopang oleh sektor non-tradeable tersebut, seperti sektor komunikasi (tumbuh 10,19%). Sektor ini
tumbuh di atas rata-rata nasional. Sebaliknya sektor riil (tradable) semacam
sektor pertanian (3,5%), industri (5,6%), dan pertambangan tumbuh rendah
(1,34%) tumbuh rendah (BPS, 2014). Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs
non-tradable ini memiliki implikasi serius karena terkait pembag ian kue dan
surplus ekonomi.
Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan
pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat
tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor
nontradable jauh lebih kecil dari sektor tradable . Ini tak hanya
berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibandingkan masa
Orde Baru misalnya. Tetapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh tapi
tidak (semuanya) sejahtera.
Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2014 hanya
14%. Padahal, sektor ini menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibatnya,
pertanian kian involutif yang ditandai massifnya tingkat kemiskinan di
perdesaan. Kesenjangan pendapatan antarpenduduk kian mencemaskan. Distribusi
pendapatan menunjukkan porsi pendapatan 40% masyarakat dengan pendapatan
terendah menurun, dari 20,22% (2005) jadi 16,86% (2011). Pada saat yang sama,
pendapatan 20% masyarakat berpendapatan tertinggi naik dari 42,09% menjadi
48,41%.
Dengan indikator rasio Gini, kecenderungannya juga sama. Dalam
satu dasawarsa terakhir terakhir rasio Gini meningkat, dari 0,32 (2004)
menjadi 0,413 (2014). Menurut data Credit Suisse tahun 2014, 1% kelompok
terkaya menguasai aset uang dan properti 50,3% dari total uang dan properti
nasional. Artinya, pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi:
kelas menengah ke atas. Artinya, jika kemiskinan absolut menurun (perlahan
dan stagnan), kemiskinan relatif justru kian meningkat. Kesenjangan ekonomi
yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan.
Apa makna semua ini? Meskipun sudah 70 tahun Indonesia merdeka
dari belenggu penjajahan, sistem perekonomian negeri ini tetap bersifat
dualistik seperti dikenali oleh Prof. Boeke dalam pidato pengukuhan sebagai
guru besar pada 1930 yang berjudul: “Dualistische
Economie.” Boeke mengemukakan pengenalan tentang ekonomi kolonial di
Hindia Belanda. Intinya adalah tajamnya pembagian ekonomi ke dalam sektor
tradisional dan sektor modern, yang untuk saat ini kira-kira sama dengan
kondisi sektor tradable vs non-tradable.
Dua sektor ini hidup bersamaan tanpa mempunyai kaitan yang satu
dengan lainnya. Inilah dua wajah asli Indonesia. Teori trickle down effect bahwa yang besar akan mengangkat yang kecil
sama sekali tidak berlaku di Indonesia. Sebaliknya, yang besar akan
mengeksploitasi yang kecil, yang oleh Bung Karno diistilahkan dengan exploitation dexploitation dlhomme par
llhomme par lhomme. Data-data mustinya cukup untuk mencari pendekatan
baru dalam pembangunan (ekonomi).
Pendekatan baru itu pada intinya meluruskan arah pembangunan
(ekonomi) yang berjalan saat ini. Memang benar saat ini sekitar 94% angkatan
kerja telah “bekerja”, dan bahkan 68% dari mereka bekerja penuh waktu (>35
jam per minggu). Namun, sebagian besar mereka terserap di sektor informal
yang berpendapatan rendah dan amat rentan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
ternyata tidak beriringan dengan penciptaan lapangan kerja baru.
Saat Orde Baru tiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan
lebih 400.000 lapangan kerja. Pada 2011 dan 2012, lapangan kerja yang
tercipta hanya 235.000 dan 196.000 atau separuh. Uraian ini menunjukkan pembangunan
ekonomi Indonesia gagal menghasilkan transformasi struktural. Secara
struktural, ekonomi di Indonesia bermasalah. Sektor industri yang diharapkan
bisa menyerap tenaga kerja baru jauh panggang dari api. Transformasi
struktural ekonomi Indonesia hanya akan terjadi bila ada kemauan membalik
arah pembangunan: dari sektor non-tradable yang bersifat padat modal,
teknologi dan pengetahuan, ke sektor tradable
yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Tanpa kemauan membalik arah pembangunan, pembangunan hanya akan
menciptakan kesenjangan kotadesa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi
ekonomi perdesaan dan pertanian. Ini wajah asli kita. Memang ada argumen yang
selalu jadi apologi: kesenjangan pendapatan biasa terjadi pada tahap awal
pembangunan. Namun, bagi Indonesia argumen ini sulit diterima. Gemuruh
pembangunan sudah dimulai sejak 1960-an, bersamaan dengan Malaysia,
Singapura, dan Korea Selatan.
Pada tahun itu ekonomi Indonesia lebih baik dari Malaysia.
Bahkan, denganKorea Selatan hampir sama. Dengan Jepang pun tidak ketinggalan
jauh. Pada 1960 Indonesia dan Korea Selatan memiliki pendapatan per kapita
USD100. Namun, kini Korea Selatan jauh meninggalkan Indonesia, dengan
pendapatan per kapita USD31.000, enam kali pencapaian Indonesia. Tentu ada
yang salah pada desain dan arah pembangunan (ekonomi) Indonesia. Tak ada
salahnya menengok China.
China yang memulai pembangunan ekonomi pada 1980 berhasil
menekan angka kemiskinan secara drastis: dari 64% (1981) tinggal 7% (2007).
Tidakhanyaberhasilmengurangi jumlah orang miskin, dalam kurun waktu itu China
juga berhasil membawa 65% penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan
menengah atas. Sebaliknya, meskipun anggaran anti-kemiskinan naik berlipat-lipat,
Indonesia hanya bisa menekan angka kemiskinan tak lebih 4-5%. Kelas menengah
yang dicetak hanya 10,6%.
Ada banyak strategi yang ditempuh China. Namun, salah satu yang
patut dicatat adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara
massif dan berkelanjutan. China mengawali pembangunan dengan membangun desa,
khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di perdesaan,
pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM
berpendidikan dan berketerampilan tinggi. Saat ini 63% penduduk miskin
Indonesia berada di perdesaan, dan sebagian besar bekerja di sektor
pertanian.
Mustinya pengalaman itu meyakinkan kita bahwa jalan yang selama
ini ditempuh, yang meninggalkan sektor pertanian dan membangun industri foot loose, amat tidak tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar