Pelabuhan
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 07 Januari 2016
Kita harusnya senang ketika mendengar rencana Menteri
Perhubungan Ignasius Jonan membenahi pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Ini
jelas pekerjaan raksasa. Bayangkan, ada 1.241 pelabuhan di bawah naungan
Kementerian Perhubungan. Memang tak semua pelabuhan tersebut bakal dibenahi
pada 2016. Ini karena anggarannya sangat terbatas, hanya Rp24 triliun.
Anggaran itu pun masih dibagi lagi untuk pembenahan perkeretaapian, bandara,
dan sebagainya. Selain itu, prioritas pembenahan juga bakal dilakukan untuk
pelabuhan-pelabuhan di daerah tertinggal, terutama di kawasan Indonesia
timur. Ini sejalan dengan arahan atau misi pemerintahan Jokowi-JK yang ingin
membangun Indonesia dari pinggiran.
Bicara soal pelabuhan, sesungguhnya kita masih sangat
tertinggal. Bukan saja fasilitas fisiknya, tetapi juga jumlahnya. Saat ini
jarak antarpelabuhan di negara kita masih 3.000-3.500 kilometer. Sebagai
perbandingan, di Jepang jarak antarpelabuhan sudah 15 kilometer atau di
Thailand jaraknya 50 kilometer.
Kalau memakai Thailand sebagai rujukan, dengan panjang garis
pantai kita yang 100.000 kilometer, mestinya kita memiliki 2.000-an
pelabuhan. Jadi, kita masih sangat kekurangan pelabuhan. Tapi, biarlah itu
menjadi pekerjaan rumah kita bersama.
Bukan Hanya
Dwelling Time
Membahas rencana Menteri Jonan membenahi pelabuhan, mungkin yang
terbayang di benak kita keberhasilannya menata beberapa bandara di kawasan
Indonesia timur. Misalnya, Bandara Wamena di Papua, Bandara Wakatobi di
Sulawesi Tenggara, dan Bandara Kalimarau di Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Tiga bandara tersebut kini menjadi lebih luas, lebih nyaman, dan
tampak lebih modern.
Landasannya lebih panjang dan toiletnya juga bersih. Kata
Menteri Jonan, tak kalah dengan toilet Istana Presiden di Jakarta. Sejalan
rencana Menteri Jonan untuk membenahi pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, saya
ingin memberikan beberapa catatan dan masukan.
Pertama, pembenahan kapasitas
pelabuhan dan penampilan fisiknya memang penting. Beberapa pelabuhan kita
memang tampak kusam, tak terawat, dan berantakan. Kita tak perlu pergi jauh-jauh untuk melihat itu. Datanglah ke
Pelabuhan Muara Angke di Jakarta Utara, yang menjadi titik pemberangkatan
bagi para wisatawan yang ingin berkunjung ke Kepulauan Seribu. Alamaaak,
betapa becek, kotor, bau, dan sangat berantakan. Hujan sedikit saja, atau
jika laut sedang pasang, air menghitam dan berbau tergenang di mana-mana. Jadi, pembenahan fasilitas fisik dan kapasitas pelabuhan memang tak bisa
ditawar lagi. Itu harus.
Belum lagi kalau kita ke dermaga pelabuhan ikan air tawar di
Waduk Janggari di Cianjur. Itu pusat produksi ikan mas, tetapi menjadi satu
dengan kubangan sampah yang amat berbahaya bagi keamanan pangan kita.
Kedua,
pembenahan kapasitas dan fasilitas fisik itu adalah hardware-nya. Pembenahan seperti ini biasanya lebih mudah. Tapi,
persoalan terbesar pelabuhan kita adalah software-nya.
Di sini yang saya maksud software adalah regulasi, perilaku, dan budaya kerja
SDM serta stakeholders-nya.
Saya kira soal ini kita tahu persis. Kita merasa sudah berhasil
kala sebuah bangunan terbangun. Tetapi, setelah itu kita sama sekali
mengabaikan perawatannya. Manusianya bahkan tak kita rawat. Toilet kering,
tapi dikelola manusia yang biasa merawat toilet basah. Belum lagi ketelitian
dalam perawatan. Itu yang menyangkut perilaku dan budaya kerja SDM serta
stakeholders-nya.
Banyak yang masih perlu dibenahi. Ini akan menjadi PR berat
bagi kita semua. Andaikan sebagai pengunjung kita mau peduli, kita bisa ikut
berpartisipasi dalam mendidik SDM yang bukan apaapanya kita. Hanya karena peduli, kita bisa berbuat sesuatu. Tapi, kalau
bicara pelabuhan di negara kita, masalah terbesar adalah regulasi yang
tumpang tindih.
Bicara regulasi, mungkin perhatian Anda langsung terpusat
kepada isu dwelling time. Kalau
iya, itu artinya Anda masih memandang masalah pelabuhan di Indonesia hanya
dari sudut pandang Jakarta. Belum dari sudut pandang Indonesia. Nah, sekarang
saya ajak Anda untuk melihat masalah pelabuhan dari sudut pandang Indonesia.
Langsung dengan contohnya.
Tumpang Tindih
Banyak pemerintah daerah yang menganggap pelabuhan sebagai
sumber penerimaan. Contohnya Pelabuhan Dumai yang menjadi tempat mengekspor
minyak mentah dan CPO. Benar banyak devisa yang masuk ke pemerintah pusat
dari pelabuhan ini. Tapi, begitu melihat uangnya, Pemerintah Kota Dumai, saya
dengar, menginginkan penerimaan tadi masuk ke kas daerah. Di Cilegon juga
begitu. Pemerintah kotanya mengeluarkan peraturan daerah tentang
pengelolaan pelabuhan. Intinya, mereka ingin pengelolaan pelabuhan berada di
bawah kewenangan pemerintah kota, bukan Kementerian Perhubungan.
Sengketa
soal ini bahkan masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah kota dan
pemerintah kabupaten, yang tergabung dalam asosiasi, melakukan judicial
review atas aturan pemerintah pusat. MK mengabulkan judicial review tersebut. Maka, jadilah kewenangan pengelolaan pelabuhan pindah ke daerah
dan tak jarang tumpang tindih dengan aturanaturan lainnya yang berlaku
standar secara global.
Apakah mereka tahu konsekuensinya? Saya ragu. Sejak
Tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), pengelolaan pelabuhan dan
kapal-kapal yang melayani pelayaran internasional mesti tunduk pada regulasi International Maritime Organization
(IMO), sebuah badan yang berada di bawah naungan badan dunia PBB. Lalu, ada
lagi aturan dari International Ship
& Port Facilities Security (ISPFS) yang juga harus dipenuhi.
Intinya, semua aturan itu untuk menjamin safety dan security
baik untuk barang, manusia, maupun kapal-kapalnya. Akibat kelalaian kita
dalam menerapkan aturan tersebut, setibanya di AS, kapal-kapal yang berasal
dari lima pelabuhan di Indonesia harus melewati prosedur keamanan tambahan.
Jadi, mereka tak boleh langsung bersandar. Belum banyak pelabuhan kita yang
comply dengan aturan dari IMO dan ISPFS. Inilah PR yang mesti dibenahi
Kementerian Perhubungan.
Ada juga masalah yang terkait UU Pelayaran. UU ini
mengatur bahwa keselamatan pelabuhan menjadi tanggung jawab Otoritas
Pelabuhan dan Syahbandar. Bagaimana bisa?
Dalam buku-buku manajemen mana pun, tanggung jawab harus berada
di satu tangan. Jika lebih, menjadi tak jelas siapa yang sesungguhnya
bertanggung jawab. Padahal, isu safety dalam pelayaran masih menjadi masalah
serius di negara kita. Anda membaca bukan berita tenggelamnya KM Marina di
Perairan Siwa, Sulawesi Selatan. Penyebabnya, kapal itu bocor. Mestinya
sebelum kapal itu meninggalkan pelabuhan, syahbandar dan otoritas pelabuhan
mengecek dulu kondisinya. Jika kapal dinilai tak layak berlayar, ya jangan
dibiarkan meninggalkan pelabuhan.
Kenyataannya tidak demikian. Itulah akibat tumpang tindihnya
kewenangan. Jadi, selagi Menteri Jonan berencana membenahi kapasitas dan fasilitas
fisik pelabuhan- pelabuhan di Indonesia, kita juga harus membenahi SDM dan
regulasinya. Jangan sampai muncul kesan mobilnya Mercy, tapi pengemudinya
masih Metromini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar