Tahun Inovasi
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 06 Januari 2016
Selamat datang tahun baru 2016. Dan, selamat datang pula di era
baru. Era itu ditandai dengan hadirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan
munculnya kaum muda sebagai wirausaha berbasiskan digital yang meremajakan business model.
Tak pernah terjadi sebelumnya harga minyak mentah dunia
mengalami penurunan yang luar biasa cepat sehingga memorakporandakan impian
para pekerja tambang.
Juga tak terjadi sebelumnya "ikan-ikan teri" (usaha
kecil) berbasiskan online membuat konsumen retailer besar beralih. Peristiwa
downshifting menjadi gejala yang wajar sejak tahun lalu.
Yang tak kalah menariknya adalah fenomena "balik arah"
yang terjadi pasca lebaran lalu. Tentu tak pernah pula terjadi
sebelumnya, oknum partai politik
pendukung membuat sulit presidennya sediri. Atau oknum MKD yang mengadili
pelapor lalu berbalik arah.
Tapi sudahlah, ini bukan soal politik yang ada “udang di balik
batunya”, melainkan fenomena pasar.
Di Pegadaian sebelumnya tak misalnya, konsumen yang biasa menggadaikan barang
menjelang hari raya kini justru menebusnya untuk dipakai pada hari istimewa
itu.
Demikian pula penumpang yang ramai di bandara saat hari raya
Natal, bukannya mereka yang beragama nasrani yang berlibur melainkan
rombongan umroh.
Lantas bagaimana MEA?
Kalau tahun lalu kita lelah berdebat soal betapa kurang siapnya
kita menyambut MEA, kini akhirnya kita sampai juga pada era tersebut. Semua
debat tersebut kini menjadi tidak relevan lagi, karena kita sudah berada di
dalamnya. Jadi, hadapi sajalah.
Saya kira kita sepakat bahwa kita bukan bangsa kita yang takut dan cemas menghadapi
era tersebut. Kita cuma ditakut-takuti mereka yang tak pernah menjadi
petarung di lapangan.
Vietnam yang kita katakan lebih siap ternyata cemas juga.
Sebab, PT. Semen Indonesia Tbk, sudah
mengakuisisi Than Long Cement. Lalu, di Myanmar, Brunei Darussalam dan Timor
Leste, juga sudah ada PT. Wijaya Karya.
Di Malaysia juga sudah ada Grup Sinar Mas yang masuk ke bisnis
properti. Lalu, Pertamina siap-siap masuk ke bisnis eksplorasi migas. Masih
ada lagi PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang juga berancang-ancang
membuka perwakilan di sana.
Belum lagi para pengusaha sektor pertanian, manajer hotel, ahli
tambang, desainer dan tenaga kerja
kita.
Jadi, jangan biarkan masa depan kita didikte oleh orang-orang
yang sebentar-sebentar cemas. Karena itu bukan solusi.
Saya malah melihat inilah tahun dimana kita harus mulai
menjejakkan kaki kita dalam berinovasi.
Empat Sifat
Kata Abraham Lincoln, “The best way to predict your future is to
create it.” Bagaimana caranya menciptakan masa depan? Belajarlah dari BRI
yang pada 16 Desember 2015 lalu genap
berusia 120 tahun, namun masih tampak bak anak muda yang bugar. Apa kuncinya?
Menurut Arie de Geus dalam bukunya The Living Company, perusahaan akan mampu bertahan jika memiliki
empat sifat khas. Pertama, peka terhadap dunia sekeliling.
Perusahaan-perusahaan yang
panjang umur adalah perusahaan yang mau belajar, dan beradaptasi
dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Kedua, sadar akan identitasnya. Perusahaan bisa menjadi sangat
kohesif dan memiliki rasa identitas yang kuat berkat kemampuan membangun
bersama-sama dengan masyarakat.
Ketiga, toleran terhadap ide-ide baru. Sifat seperti ini akan
membuat inovasi mengalir deras dalam perusahaan. Lalu, seperti halnya
manusia, perusahaan juga mesti memiliki sifat sabar: memberikan kesempatan
pada anak-anak usaha atau cabang-cabangnya untuk mengembangkan layanan sesuai
dengan kebutuhan stakeholder-nya.
Keempat, tentu saja perusahaan perlu mengelola keuangannya
secara konservatif. Jangan besar pasak daripada tiang.
BRI memiliki empat sifat tersebut. Misalnya, memahami bahwa
Indonesia adalah negara kepulauan, BRI kemudian mengembangkan Teras Kapal.
Jadi, kantor bank BRI ada di sejumlah kapal.
Kelak, melalui kapal-kapal itulah BRI akan melayani nasabahnya
yang tersebar di seluruh pulau—terutama pulau-pulau terpencil. Nasabah
tersebut tidak hanya bisa menabung, tetapi juga bisa mengajukan permohonan
kredit untuk usaha.
Konsep ini merupakan salah satu inovasi khas BRI yang mereka
kembangkan melalui dialog dengan stakeholder-nya,
yakni para nelayan. Jadi, siapa bilang ide inovasi harus selalu datang dari
internal perusahaan. Ide bisa datang dari mana saja.
Loncatan Inovasi
Tapi, menurut catatan saya, salah satu loncatan penting dalam
inovasi BRI adalah keberaniannya dalam membeli satelit yang dinamai BRISat
dan dibentuknya Innovation center. Ini adalah investasi yang berani karena,
Anda tahu, dibutuhkan Rp 2,5 triliun.
BRI menjadi bank pertama di dunia yang memiliki satelit yang
akan mengoperasikan sendiri.
Apakah upaya BRI ini tak menuai kontroversi? Sama saja dengan
gagasan kereta cepat konsorsium BUMN yang "diomeli" politisi, BRI
pun pernah diomeli.
Barangkali kalau para politisi itu terjebak dalam kemacetan
selama 11 jam di jalan tol Jakarta-Bandung kemarin, barulah mereka bilang "kita memang sudah butuh kereta
cepat."
Demikian pula ketika satelit BRISat diumumkan, banyak yang
mempersoalkan. Namun begitu tahu bahwa biaya telekomunikasi BRI setiap
tahunnya saja sudah Rp 500 miliar dan posisi orbitnya tengah diperebutkan
dunia untuk mengganti satelit kita yang sudah berakhir, mereka pun
manggut-manggut.
Berbekal BRISat, BRI akan lebih agile melayani
nasabah-nasabahnya yang berada di pulau-pulau terpencil. Maklum,
jangkauan telekomunikasi dari para
operator nasional amat terbatas. Sulit sekali menembus daerah-daerah yang
terpencil.
Sementara, dengan BRISat—yang bakal beroperasi pada Oktober
2016, BRI akan memiliki akses telekomunikasi hingga ke daerah-daerah yang
terpencil.
Selain BRIsat, ia juga berinovasi dengan layanan kapal. Jadi, ke
manapun kapal-kapal BRI berlayar,
akses telekomunikasinya tak bakal terputus.
Nah innovation center-nya,
akan menampung berbagai gagasan kreatif dari stakeholders-nya untuk menciptakan aneka produk baru, sistem,
proses dan tentu saja pendekatan-pendekatan baru.
Bukankah semua ini persis seperti ungkapan Lincoln tadi, yakni the best way to predict your future is to
create it. Bukan dengan menunggunya. Dengan keberaniannya membeli
satelit, BRI menciptakan masa depannya sendiri. Jadi, mengapa harus takut
dengan MEA?
Namanya juga perubahan, akan selalu ditemui siapa pemenang dan
siapa pecundangnya.
Semoga kisah ini menginspirasi Anda dalam menyambut tahun yang
baru dan era MEA. Jangan takut, hadapi saja dengan inovasi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar