Sabtu, 16 Januari 2016

Logika Pelayanan Publik

Logika Pelayanan Publik

M. Rizki Pratama  ;   Mahasiswa Magister Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada;  Awardee BPI-LPDP
                                                      JAWA POS, 09 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BATAS pasti bagaimana sebuah negara harus mengurus urusan publik masih menjadi perdebatan kritis hingga kini, ketika perang ideologi hamper sudah berakhir antara sudut kiri socialism dan sudut kanan capitalism.

Dunia menjadi semakin kompleks, otomatis urusan publik juga kian kompleks. Lalu, apakah negara selama ini benar-benar telah menyelesaikan masalah publik atau justru membuatnya sema kin rumit? Yang pasti, rumus pemikiran governance dengan dinamika interaksi antar aktornya hanya bagus di atas kertas.

Ketika di lapangan, dominasi predatorislah yang terjadi. Sektor privat semakin besar dan negara nihil berbuat persis seperti yang ditulis Massimo De Angelis beberapa tahun silam: logika governance hanya akal-akalan kepentingan bisnis semata.

Francis Fukuyama pernah merumuskan berdasar pengalaman negara maju dan berkembang di dunia, di negara berpopulasi besar, otomatis dengan urusan rakyatnya yang besar pula, serahkanlah pada sektor swasta untuk mengurusinya. Contohnya, Amerika Serikat. Sebaliknya, negara berpopulasi kecil, termasuk dengan urusan rakyatnya yang minimal, maka negaralah yang harus mengurusinya. Misalnya, Swiss.

Tapi, hal tersebut tentu tak berlaku umum dan banyak variabel lain yang memengaruhi. Namun, setidaknya ada panduan awal bahwa negara harus tetap hadir. Yang berbeda adalah kadar intervensinya dan semua harus sepakat bahwa kita butuh negara yang kuat.

Konteks Indonesia yang sangat kental dengan keadilan sosial dalam bentuk pemerataan seperti penjelasan Prof Mubyarto soal Ekonomi Pancasila justru terbalik-balik. Yakni, ketika negara seakan bingung dengan posisinya sendiri, hampir semua sektor urusan publik boleh dimasuki swasta.

Institusi pendidikan, kesehatan, bahkan urusan transportasi publik pun demikian. Parahnya, tidak semua warga negara mampu mengaksesnya. Akibatnya, tentu ketimpangan kini tidak hanya berupa dalamnya kesenjangan ekonomi, tapi juga diperparah ke senjangan sosial karena sulitnya masyarakat tingkat menengah bawah untuk mengakses pelayanan publik yang berkualitas.
Sebenarnya, di tingkat pusaran elite pembuatan kebijakan, sangat jelas bahwa mereka sendiri tidak memahami logika urusan publik. Posisi Negara pun dipertanyakan, berpihak kepada siapakah mereka selama ini? Sebab, logika pelayanan publik yang dibangun cenderung memihak golongan yang sudah mapan.

Dalam diskusi bersama Muhtar Habibi, selalu berkali-kali ditegaskan harus adanya upaya membalik logika kebijakan pemerintah. Betting on the strong side, sisi yang sudah mapan dalam sejarah dunia selalu menyimpang. Kasus bailout di Amerika Serikat mengingatkan kita akan pengkhianatan sektor kuat. Pada dasarnya, di Republik ini kita tak pernah tahu sejak kapan urusan publik berhak menjadi urusan privat.

Fenomena aplikasi transportasi online juga menunjukkan kegagalan negara dalam menegakkan aturannya. Bagaimana bisa kadar manfaat Negara kalah total dibandingkan sektor privat? Menurut analis, biarkanlah inovasi berkembang. Tapi, jelas fenomena tersebut hanya untuk kemenangan kelas menengah yang melupakan aspek struktural (Thaniago, 2015).

Sudah barang jamak ketika menyebutkan bahwa pelayanan publik ada sebagai tanggung jawab penuh negara guna melayani kebutuhan rakyatnya. Bahkan, dalam teori-teori klasik, negara muncul untuk melayani rakyatnya.

Watak negara dengan segala atributnya sangat mencerminkan layanan yang diberikan kepada masyarakatnya. Di negara nondemokratis atau demokratis, posisi rakyat dalam pelayanan publik sangat berbeda.

Mantra privatisasi dan liberalisasi pelayanan publik yag mengejar efisiensi jelas bukan jawaban utama. Sang penganjur New Public Management, Osborne dan Gaebler, pun telah mengakui sejak awal bahwa rumus tersebut bukan satusatunya jalan untuk meningkatkan sektor publik. Efisiensi yang dikejar melalui hubungan kontraktual justru merusak wibawa negara serta kesejahteraan masyarakat.

Rezim saat ini saatnya sadar bahwa harus ada penegakan instrumen yang mampu membalik posisi warga yang selama ini terabaikan. Wargalah yang seharusnya menikmati kebijakan redistribusi yang dihasilkan warga kelas atas, bukan sebaliknya. Tentu negara harus realistis, sulit untuk melakukan reformasi agrarian. Namun, setidaknya tingkatkanlah pajak para kaum kaya, bukan malah memangkasnya seperti dalam paket kebijakan berjilid-jilid. Deregulasi bukan jawaban pemerataan dan kesejahteraan, hanya jangka pendek dan reaktif. Padahal, yang kita butuhkan adalah kebijakan visioner.

Pendanaan yang memadai harus dicurahkan untuk mereformsi birokrasi nasional agar pelayanan publik lebih berkualitas. Kendalikanlah pelayanan public supaya kompetitif dengan sektor privat yang telanjur dibuka.

Perang kualitas antara sektor publik dan privat harus terjadi. Semua warga, terutama yang kurang beruntung, harus mampu menikmati pelayanan publik dan pendidikan. Tidak seperti sekarang yang hanya dinikmati sebagian kecil. Pembangunan infrastruktur yang menjadi momen pembuktian rezim saat ini juga harus disikapi dengan hati-hati oleh masyarakat.

Sebab, harus jelas dulu siapa yang benar-benar akan menikmatinya. Jika konsep membangun di pinggiran hanya mengutamakan infrastruktur, juga sudah pasti tak bijak.

Sebab, ada nilai-nilai sosial yang akan hilang jika ada injeksi capital akibat pembangunan fisik, seperti kisah MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) kemarin yang memicu konflik terus-menerus.

Bersikap optimistis memang perlu. Sebab, republik ini punya potensi. Tapi, sekali lagi, logika pembangunan yang digunakan harus tepat. Jangan melenceng dari logika pelayanan publik yang seharusnya ada untuk masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar