Logika Pelayanan Publik
M. Rizki Pratama ;
Mahasiswa Magister Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada; Awardee BPI-LPDP
|
JAWA
POS, 09 Januari 2016
BATAS pasti
bagaimana sebuah negara harus mengurus urusan publik masih menjadi perdebatan
kritis hingga kini, ketika perang ideologi hamper sudah berakhir antara sudut
kiri socialism dan sudut kanan capitalism.
Dunia menjadi
semakin kompleks, otomatis urusan publik juga kian kompleks. Lalu, apakah
negara selama ini benar-benar telah menyelesaikan masalah publik atau justru
membuatnya sema kin rumit? Yang pasti, rumus pemikiran governance dengan dinamika interaksi antar aktornya hanya bagus
di atas kertas.
Ketika di
lapangan, dominasi predatorislah yang terjadi. Sektor privat semakin besar
dan negara nihil berbuat persis seperti yang ditulis Massimo De Angelis
beberapa tahun silam: logika governance
hanya akal-akalan kepentingan bisnis semata.
Francis
Fukuyama pernah merumuskan berdasar pengalaman negara maju dan berkembang di
dunia, di negara berpopulasi besar, otomatis dengan urusan rakyatnya yang
besar pula, serahkanlah pada sektor swasta untuk mengurusinya. Contohnya,
Amerika Serikat. Sebaliknya, negara berpopulasi kecil, termasuk dengan urusan
rakyatnya yang minimal, maka negaralah yang harus mengurusinya. Misalnya,
Swiss.
Tapi, hal
tersebut tentu tak berlaku umum dan banyak variabel lain yang memengaruhi.
Namun, setidaknya ada panduan awal bahwa negara harus tetap hadir. Yang
berbeda adalah kadar intervensinya dan semua harus sepakat bahwa kita butuh
negara yang kuat.
Konteks
Indonesia yang sangat kental dengan keadilan sosial dalam bentuk pemerataan
seperti penjelasan Prof Mubyarto soal Ekonomi Pancasila justru
terbalik-balik. Yakni, ketika negara seakan bingung dengan posisinya sendiri,
hampir semua sektor urusan publik boleh dimasuki swasta.
Institusi
pendidikan, kesehatan, bahkan urusan transportasi publik pun demikian.
Parahnya, tidak semua warga negara mampu mengaksesnya. Akibatnya, tentu
ketimpangan kini tidak hanya berupa dalamnya kesenjangan ekonomi, tapi juga
diperparah ke senjangan sosial karena sulitnya masyarakat tingkat menengah
bawah untuk mengakses pelayanan publik yang berkualitas.
Sebenarnya, di
tingkat pusaran elite pembuatan kebijakan, sangat jelas bahwa mereka sendiri
tidak memahami logika urusan publik. Posisi Negara pun dipertanyakan,
berpihak kepada siapakah mereka selama ini? Sebab, logika pelayanan publik
yang dibangun cenderung memihak golongan yang sudah mapan.
Dalam diskusi
bersama Muhtar Habibi, selalu berkali-kali ditegaskan harus adanya upaya
membalik logika kebijakan pemerintah. Betting
on the strong side, sisi yang sudah mapan dalam sejarah dunia selalu
menyimpang. Kasus bailout di Amerika Serikat mengingatkan kita akan
pengkhianatan sektor kuat. Pada dasarnya, di Republik ini kita tak pernah
tahu sejak kapan urusan publik berhak menjadi urusan privat.
Fenomena
aplikasi transportasi online juga menunjukkan kegagalan negara dalam
menegakkan aturannya. Bagaimana bisa kadar manfaat Negara kalah total dibandingkan
sektor privat? Menurut analis, biarkanlah inovasi berkembang. Tapi, jelas
fenomena tersebut hanya untuk kemenangan kelas menengah yang melupakan aspek
struktural (Thaniago, 2015).
Sudah barang
jamak ketika menyebutkan bahwa pelayanan publik ada sebagai tanggung jawab
penuh negara guna melayani kebutuhan rakyatnya. Bahkan, dalam teori-teori
klasik, negara muncul untuk melayani rakyatnya.
Watak negara
dengan segala atributnya sangat mencerminkan layanan yang diberikan kepada
masyarakatnya. Di negara nondemokratis atau demokratis, posisi rakyat dalam
pelayanan publik sangat berbeda.
Mantra
privatisasi dan liberalisasi pelayanan publik yag mengejar efisiensi jelas
bukan jawaban utama. Sang penganjur New
Public Management, Osborne dan Gaebler, pun telah mengakui sejak awal
bahwa rumus tersebut bukan satusatunya jalan untuk meningkatkan sektor
publik. Efisiensi yang dikejar melalui hubungan kontraktual justru merusak
wibawa negara serta kesejahteraan masyarakat.
Rezim saat ini
saatnya sadar bahwa harus ada penegakan instrumen yang mampu membalik posisi
warga yang selama ini terabaikan. Wargalah yang seharusnya menikmati
kebijakan redistribusi yang dihasilkan warga kelas atas, bukan sebaliknya.
Tentu negara harus realistis, sulit untuk melakukan reformasi agrarian.
Namun, setidaknya tingkatkanlah pajak para kaum kaya, bukan malah
memangkasnya seperti dalam paket kebijakan berjilid-jilid. Deregulasi bukan
jawaban pemerataan dan kesejahteraan, hanya jangka pendek dan reaktif.
Padahal, yang kita butuhkan adalah kebijakan visioner.
Pendanaan yang
memadai harus dicurahkan untuk mereformsi birokrasi nasional agar pelayanan
publik lebih berkualitas. Kendalikanlah pelayanan public supaya kompetitif
dengan sektor privat yang telanjur dibuka.
Perang
kualitas antara sektor publik dan privat harus terjadi. Semua warga, terutama
yang kurang beruntung, harus mampu menikmati pelayanan publik dan pendidikan.
Tidak seperti sekarang yang hanya dinikmati sebagian kecil. Pembangunan
infrastruktur yang menjadi momen pembuktian rezim saat ini juga harus
disikapi dengan hati-hati oleh masyarakat.
Sebab, harus
jelas dulu siapa yang benar-benar akan menikmatinya. Jika konsep membangun di
pinggiran hanya mengutamakan infrastruktur, juga sudah pasti tak bijak.
Sebab, ada
nilai-nilai sosial yang akan hilang jika ada injeksi capital akibat
pembangunan fisik, seperti kisah MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia) kemarin yang memicu konflik terus-menerus.
Bersikap optimistis memang
perlu. Sebab, republik ini punya potensi. Tapi, sekali lagi, logika
pembangunan yang digunakan harus tepat. Jangan melenceng dari logika
pelayanan publik yang seharusnya ada untuk masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar