Sisifus pada 2016
Kurnia JR ;
Sastrawan
|
KOMPAS,
14 Januari 2016
Tentang Sisifus, Albert Camus bernarasi: ”Sesosok tubuh yang meregang untuk mengangkat, menggelindingkan batu
raksasa mendaki lereng berulang-ulang.”
Lalu, ”Kita lihat wajah yang
tegang, pipi menempel di batu, bahu menahan bongkahan pejal berlumur tanah
itu, dengan satu kaki menopang…. Di ujung usaha yang lama, dalam dimensi
ruang tanpa langit dan waktu tanpa dasar, tercapailah tujuannya. Sesaat
kemudian, Sisifus memandang batu itu menggelinding ke bawah, tempat ia harus
kembali untuk membawa benda itu ke puncak.”
Azab neraka yang harus diterima Sisifus dari dewa adalah
absurditas. Ia harus membawa batu ke puncak hanya untuk melihat batu itu
menggelinding turun. Begitu terus, tanpa kejelasan kapan siksaan itu
berakhir.
Berdasarkan Al Quran, yang menyatakan bahwa Allah menciptakan
dunia dan seisinya bukan tanpa makna, banyak pemikir Muslim yang berupaya
mematahkan pemikiran Eropa tentang absurditas, penalaran absurd dan manusia
absurd itu. Meski demikian, bagi bangsa yang negerinya digempur teror dan
konflik bersenjata tak berkesudahan, kesadaran akan absurditas selalu aktual.
Juga bagi sebagian kita, manusia Indonesia.
Mayoritas bangsa kita bukan sekadar beragama, tetapi religius di
segala aspek kehidupan. Setiap pengalaman dimaknai dalam kaitannya dengan
kuasa Ilahi, direspons dengan doa dan harapan. Kalaupun kalah, diterima
dengan pasrah dan mempertebal asa. Kriminal pun, saat terbongkar, mengatakan
dengan khidmat bahwa dia sedang diberi cobaan oleh Tuhan, bukan sedang
dihukum akibat dosanya. Koruptor yang tertangkap basah menerima suap
bersumpah ”demi Allah” di layar TV bahwa dia hanya korban fitnah lawan
politik.
Ada sekelompok orang religius yang tak sungkan menista saudara
seagama hanya karena berbeda mazhab. Mereka melembagakan kekuatan
terorganisasi untuk melindas orang-orang yang dipandang berbeda demi klaim
kebenaran pihaknya sendiri. Agama yang diajarkan di atas fondasi kedamaian
dan kasih kehilangan maknanya di kalbu yang mengeras dan dipenuhi kebencian
untuk mengafirkan orang lain.
Mereka bertindak seakan di langit hanya ada kekosongan.
Kebenaran direbut dari tangan Allah demi kepentingan kelompok. Merasa benar
tanpa memberi ruang kepada yang lain sama saja menihilkan rahmat Ilahi.
Pernyataan Al Quran bahwa dunia dan isinya diciptakan bukan
tanpa makna pun kehilangan arti pentingnya jika makna yang diisyaratkan itu
dinafikan oleh tindakan manusia yang mengaku beriman. Kebenaran yang
dimonopoli dan dijadikan dalih mengusir orang atas nama agama dan membakar
rumahnya bisa dipastikan kehilangan argumentasi.
Kekosongan langit di dunia kaum beriman merupakan contradictio
in terminis. Tahun 2015 mencatat sejumlah peristiwa yang mengandung
absurditas semacam ini. Kaum religius bertindak tidak rasional, yang justru
mengingkari religiositas universal. Upaya para nabi melakukan emansipasi akal
dan hati manusia diabaikan dengan kejumudan pra Abad Rasio.
Kehilangan
orientasi
Kita adalah bangsa kreatif, rajin, optimistis, dan siap terlibat
dalam berbagai persoalan sosial dan politik, minimal melalui media sosial.
Generasi masa kini tumbuh positif membangun paradigma segar tentang inovasi,
toleransi, dan emansipasi. Itulah sebabnya ada sikap kritis mengevaluasi
fenomena ”golput” dalam pemilihan umum kendati pesimisme dan skeptisisme
terhadap komitmen moral politik anggota parlemen tetap dominan.
Parlemen kita masih dinodai pengkhianatan oleh sebagian wakil
rakyat yang memaknai hidup dengan status kebendaan belaka. Kesadaran politik
rakyat tak berbalas imbalan yang sepadan. Tahun 2015 ditutup dengan skandal
memalukan di DPR, yang mempertontonkan nihilnya etika, moralitas, dan
nasionalisme, serta tiada keberpihakan pada konstituen yang seharusnya
dijadikan prioritas dalam setiap tindakan seorang wakil rakyat.
Jika sebagian legislator kehilangan orientasi terhadap kebenaran
dan menonjolkan koncoisme membabi buta, patut dipertanyakan apakah mereka
melihat hidup ini bermakna atau sekadar mengisi waktu demi snobisme sonder
peduli keberartian?
Politikus kita rata-rata tampil religius. Bahasa verbal mereka
tak jarang memercikkan emosi agamis dan nasionalisme bercita rasa personal.
Siapa sangka, golongan ini yang menjadikan kita Sisifus. Lima tahun sekali
kita dibujuk agar datang ke tempat pemungutan suara. Mereka pidato di
panggung kampanye dengan bahasa agamis, lalu bersumpah selaku pejabat atau
wakil rakyat dengan nama Tuhan. Kemudian, apa yang terjadi? Kita boleh
menegaskan bahwa ritus lima tahunan itu tragedi Sisifus. Berulang kali kita
mendorong batu ke puncak hanya untuk melihat batu itu menggelinding kembali.
Rakyat Indonesia harus bersikap tegas terhadap kelancungan
politikus. Wujud moral manusia absurd, kata Bertrand Poirot-Delpech, menelaah
habis-habisan semua yang dihadapi, tanpa harus peduli pada tatanan nilai. Ini
bertolak belakang dengan persetujuan yang dipenuhi kepasrahan terhadap
hal-hal yang tak dapat diuraikan maknanya.
Yang jadi masalah, kita terbiasa pasrah dan kukuh dengan sikap
yang kita nilai pantas selaku umat beragama. Padahal, sikap ini yang hampir
selalu menjadikan kita pecundang di hadapan moncong sedan mewah politikus
busuk. Kita hanya bersandar pada makna final bahwa kelak di akhirat politikus
lancung akan menuai buah amal buruknya sehingga kita bersikap lembut (baca:
lemah).
Di sisi lain, kita lupa adagium bahwa nasib suatu bangsa
terletak di tangan bangsa itu sendiri. Manusia politik Indonesia secara umum
di abad ini tak mendalami arti penting era informasi terbuka, boleh jadi
karena mereka terlalu sibuk mengukir makna hidup mewah dan berkelimpahan
tanpa komitmen moral.
”Saya menilai makna hidup adalah pertanyaan yang paling
mendesak,” tulis Camus mengenai subyek pemikiran absurditas. Kita tidak
berurusan dengan konstatasi itu sebab kitalah Sisifus dalam esai Le Mythe de Sisyphe. Yang penting bagi
kita, menyongsong 2016, yakinkah kita bisa keluar dari jebakan labirin dan
tak mengulang-ulang perbuatan yang sia-sia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar