Sabtu, 16 Januari 2016

Skandal Kedokteran

Skandal Kedokteran

Stefanus lawuyan  ;   Dokter; Tinggal di Surabaya
                                                       KOMPAS, 14 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kembali kita didera skandal kesehatan. Sebuah klinik di Jakarta ditutup karena beroperasi tanpa izin. Penutupan berlangsung setelah terkuak dugaan malapraktik oleh dokter asing yang berpraktik tanpa izin, yang menyebabkan kematian seorang karyawati perusahaan migas. Ternyata dokter tersebut di negaranya mendapat sanksi disiplin dan jadi tersangka kasus kriminal (Kompas, 8/1). Kasus serupa pernah terjadi di Negara Bagian Queensland, Australia, yang dikenal sebagai the scandal of dr Death.

Skandal Bundaberg

Bundaberg adalah kota kecil di wilayah Queensland, 385 km di utara Brisbane. Di Queensland, rumah sakit yang jauh dari kota besar biasanya hanya memiliki fasilitas terbatas untuk menerima rujukan primer dari daerah yang lebih terpencil, biasa disebut Base Hospital. RS Bundaberg masuk kategori ini dan kurang menarik minat para dokter untuk praktik di Bundaberg.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis, tahun 2003 RS Bundaberg menerima Dr Jayant Patel dari Amerika, dokter ahli bedah, yang kemudian menjadi Direktur Bedah di RS itu.

Skandal Bundaberg menyangkut kinerja Patel. Selama dua tahun, Patel telah mengoperasi 867 pasien, 88 di antaranya meninggal dan 14 orang menderita komplikasi serius. Manajer Keperawatan ICU Toni Hoffman menjadi whistle blower karena sejak Juli 2003 telah menyatakan keprihatinan akan kinerja Patel, tetapi diabaikan manajemen.

Komisi penyelidikan yang diketuai Anthony Morris mengungkapkan bahwa Patel sering melakukan tindakan operasi besar dan kompleks yang tidak didukung oleh peralatan di RS Bundaberg, memalsukan rekam medis pasien, kasus perundungan terhadap staf, dan memiliki angka komplikasi pasca operasi tinggi. Patel juga sering menunda merujuk pasien ke RS tersier. Morris juga menyoroti praktik manajemen yang lebih mementingkan pencapaian target kinerja RS dalam hal finansial daripada keselamatan pasien.

Hal terpenting dari temuannya adalah tidak ketatnya proses penerimaan Patel oleh Komite Kredensial RS. Setelah kasus ini mencuat, baru diketahui bahwa Patel ternyata pernah diskors tiga tahun karena membuat kelalaian besar di RS Rochester, New York, AS. Bahkan, tahun 2000, Komisi Medik di Oregon pernah membatasi operasi yang boleh dilakukannya.

Patel sempat meninggalkan Australia dan kemudian diekstradisi dari Amerika, Juli 2008. Patel yang oleh media dijuluki ”Dr Death” mendapat 13 dakwaan, 3 di antaranya kasus pembunuhan. Penyelesaian kasusnya berlarut-larut dan baru tahun 2013 divonis 2 tahun potong masa penahanannya yang sudah 788 hari sehingga langsung bebas.

Skandal Bundaberg telah membuat Queensland Health mereformasi sistem kesehatan dengan membenahi pola perekrutan dokter di seluruh negara bagian dengan sistem kredensial yang sangat ketat dan perbaikan sistem pendidikan kedokterannya untuk menjamin kualitas pelaku kesehatan.

Yang terpenting adalah dibentuknya Komisi Kualitas Kesehatan dan Penanganan Komplain (Health Quality and Complaints Commission) tahun 2006. Komisi ini membangun sistem pengawasan untuk perbaikan pelayanan kesehatan dengan peraturan perundangan yang menjamin perlindungan pasien.

Sir Liam Donaldson, mantan Chief Medical Officer dari National Health Service (NHS) Britania Raya (UK), yang sekarang menjabat utusan khusus WHO untuk keselamatan pasien, pernah mengungkapkan bahwa setelah skandal Bristol—yang melibatkan kasus kematian anak karena operasi jantung antara 1988- 1995—NHS telah melakukan reformasi signifikan sejak tahun 1997.

Lemah pengawasan

Skandal Patel menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kinerja dokter yang kemudian memicu NHS mengeluarkan kerangka kerja berupa pelaksanaan clinical governance. Kerangka kerja ini menitikberatkan pentingnya kualitas pelayanan kesehatan. Dokter harus menerapkan serangkaian standar dan prosedur tindakan medis yang ketat untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.

Untuk menunjang pelaksanaannya, perlu dibudayakan untuk tidak saling menyalahkan (no blame culture) dan budaya belajar dari kesalahan. Jadi, bukan sekadar mencari siapa yang salah, melainkan bagaimana kita belajar, memetik hikmah dari suatu kejadian untuk perbaikan.

Suatu hal yang selalu diingat adalah pernyataan para orangtua yang anaknya meninggal. ”Anak kami memang telah meninggal, kami tidak menuntut apa-apa, tetapi untuk menghormati kematian anak kami, apakah para dokter telah belajar?”

Kultur lesson learned yang telah membudaya di negara maju mempermudah reformasi sistem kesehatannya. Semua pihak sadar bahwa belajar dari kesalahan tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana memetik hikmah dari suatu kejadian untuk perbaikan.

Dunia kedokteran penuh risiko, kesalahan manusiawi amat mudah terjadi dan dapat berakibat fatal. Setiap saat, dunia medis dihadapkan pada kondisi pasien yang penuh dengan komplikasi dan tidak jarang meregang maut. Maka, kesemuanya memerlukan penanganan dan keputusan sesaat yang berdampak pada hidup-mati pasien.

Salah satu bagian penting dalam clinical governance adalah upaya pengungkapan suatu kasus besar (biasanya kematian pasien) yang dikenal dengan istilah root cause analysis (RCA). Penyelidikan dimulai sejak pasien masuk RS sampai kondisi terakhir. Hasil RCA tidak dapat dijadikan alat bukti di pengadilan. Maka, semua pihak yang terlibat berani mengungkapkan apa yang terjadi karena dilindungi peraturan perundangan termasuk sang whistle blower. Dengan demikian, masalah lebih mudah terungkap. Perlindungan hukum itu tidak dimaksudkan untuk mengabaikan suatu tindak kriminal, seperti halnya kasus Patel, tetapi untuk memberikan perlakuan yang adil bagi pelaku kesehatan karena kompleksitas pelayanan kesehatan tersebut.

Komisi Nasional Kesehatan

Dunia kesehatan kita saat ini sangat memprihatinkan karena pilihan menerapkan pembayar pihak ketiga (BPJS) yang sangat kapitalistik menimbulkan kegaduhan tenaga medis dan manajemen rumah sakit.

Kita akan menapak tilas skandal asuransi mulai dari moral hazard, seperti doctors shopping, pasien dan sanak keluarganya mendatangi dokter untuk mendapatkan jenis obat tertentu, sampai skandal asuransi kesehatan, seperti Phantom Wards di Negara Bagian Victoria, Australia, di mana RS mengklaim memiliki ruangan yang sebenarnya tidak ada dan mengakali daftar tunggu pasien operasi demi keuntungan finansial.

Dari pihak asuransi, seorang dokter dari AS, Linda Peeno, yang bekerja sebagai verifikator asuransi, mengaku telah mengakibatkan meninggalnya pasien yang seharusnya tertolong jika saja dia menyetujui proses operasi yang harus dijalani.

Belajar dari pelbagai skandal kedokteran itu, sudah sepatutnya kita memiliki Komisi Nasional Kesehatan untuk melindungi keselamatan pasien. Mungkin pada awalnya kita bisa menggabungkan Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit dengan Komisi Akreditasi Rumah Sakit, yang sudah ada, menjadi satu komisi yang sekaligus menangani pengaduan masyarakat.

Dengan demikian, dugaan kasus kematian Allya Siska Nadya (33) dapat segera dilaporkan dan ditindaklanjuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar