Skandal Kedokteran
Stefanus lawuyan ;
Dokter; Tinggal di Surabaya
|
KOMPAS,
14 Januari 2016
Kembali kita didera skandal kesehatan. Sebuah klinik di Jakarta
ditutup karena beroperasi tanpa izin. Penutupan berlangsung setelah terkuak
dugaan malapraktik oleh dokter asing yang berpraktik tanpa izin, yang
menyebabkan kematian seorang karyawati perusahaan migas. Ternyata dokter
tersebut di negaranya mendapat sanksi disiplin dan jadi tersangka kasus
kriminal (Kompas, 8/1). Kasus
serupa pernah terjadi di Negara Bagian Queensland, Australia, yang dikenal
sebagai the scandal of dr Death.
Skandal
Bundaberg
Bundaberg adalah kota kecil di wilayah Queensland, 385 km di
utara Brisbane. Di Queensland, rumah sakit yang jauh dari kota besar biasanya
hanya memiliki fasilitas terbatas untuk menerima rujukan primer dari daerah
yang lebih terpencil, biasa disebut Base Hospital. RS Bundaberg masuk
kategori ini dan kurang menarik minat para dokter untuk praktik di Bundaberg.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis, tahun 2003 RS Bundaberg
menerima Dr Jayant Patel dari Amerika, dokter ahli bedah, yang kemudian
menjadi Direktur Bedah di RS itu.
Skandal Bundaberg menyangkut kinerja Patel. Selama dua tahun,
Patel telah mengoperasi 867 pasien, 88 di antaranya meninggal dan 14 orang
menderita komplikasi serius. Manajer Keperawatan ICU Toni Hoffman menjadi
whistle blower karena sejak Juli 2003 telah menyatakan keprihatinan akan
kinerja Patel, tetapi diabaikan manajemen.
Komisi penyelidikan yang diketuai Anthony Morris mengungkapkan
bahwa Patel sering melakukan tindakan operasi besar dan kompleks yang tidak
didukung oleh peralatan di RS Bundaberg, memalsukan rekam medis pasien, kasus
perundungan terhadap staf, dan memiliki angka komplikasi pasca operasi
tinggi. Patel juga sering menunda merujuk pasien ke RS tersier. Morris juga
menyoroti praktik manajemen yang lebih mementingkan pencapaian target kinerja
RS dalam hal finansial daripada keselamatan pasien.
Hal terpenting dari temuannya adalah tidak ketatnya proses
penerimaan Patel oleh Komite Kredensial RS. Setelah kasus ini mencuat, baru
diketahui bahwa Patel ternyata pernah diskors tiga tahun karena membuat
kelalaian besar di RS Rochester, New York, AS. Bahkan, tahun 2000, Komisi
Medik di Oregon pernah membatasi operasi yang boleh dilakukannya.
Patel sempat meninggalkan Australia dan kemudian diekstradisi
dari Amerika, Juli 2008. Patel yang oleh media dijuluki ”Dr Death” mendapat
13 dakwaan, 3 di antaranya kasus pembunuhan. Penyelesaian kasusnya
berlarut-larut dan baru tahun 2013 divonis 2 tahun potong masa penahanannya
yang sudah 788 hari sehingga langsung bebas.
Skandal Bundaberg telah membuat Queensland Health mereformasi sistem kesehatan dengan membenahi
pola perekrutan dokter di seluruh negara bagian dengan sistem kredensial yang
sangat ketat dan perbaikan sistem pendidikan kedokterannya untuk menjamin
kualitas pelaku kesehatan.
Yang terpenting adalah dibentuknya Komisi Kualitas Kesehatan dan
Penanganan Komplain (Health Quality and
Complaints Commission) tahun 2006. Komisi ini membangun sistem pengawasan
untuk perbaikan pelayanan kesehatan dengan peraturan perundangan yang
menjamin perlindungan pasien.
Sir Liam Donaldson, mantan Chief
Medical Officer dari National
Health Service (NHS) Britania Raya (UK), yang sekarang menjabat utusan
khusus WHO untuk keselamatan pasien, pernah mengungkapkan bahwa setelah
skandal Bristol—yang melibatkan kasus kematian anak karena operasi jantung
antara 1988- 1995—NHS telah melakukan reformasi signifikan sejak tahun 1997.
Lemah
pengawasan
Skandal Patel menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kinerja
dokter yang kemudian memicu NHS mengeluarkan kerangka kerja berupa
pelaksanaan clinical governance.
Kerangka kerja ini menitikberatkan pentingnya kualitas pelayanan kesehatan.
Dokter harus menerapkan serangkaian standar dan prosedur tindakan medis yang
ketat untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Untuk menunjang pelaksanaannya, perlu dibudayakan untuk tidak
saling menyalahkan (no blame culture)
dan budaya belajar dari kesalahan. Jadi, bukan sekadar mencari siapa yang
salah, melainkan bagaimana kita belajar, memetik hikmah dari suatu kejadian
untuk perbaikan.
Suatu hal yang selalu diingat adalah pernyataan para orangtua
yang anaknya meninggal. ”Anak kami memang telah meninggal, kami tidak
menuntut apa-apa, tetapi untuk menghormati kematian anak kami, apakah para
dokter telah belajar?”
Kultur lesson learned yang telah membudaya di negara maju
mempermudah reformasi sistem kesehatannya. Semua pihak sadar bahwa belajar
dari kesalahan tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang salah, tetapi
bagaimana memetik hikmah dari suatu kejadian untuk perbaikan.
Dunia kedokteran penuh risiko, kesalahan manusiawi amat mudah
terjadi dan dapat berakibat fatal. Setiap saat, dunia medis dihadapkan pada kondisi
pasien yang penuh dengan komplikasi dan tidak jarang meregang maut. Maka,
kesemuanya memerlukan penanganan dan keputusan sesaat yang berdampak pada
hidup-mati pasien.
Salah satu bagian penting dalam clinical governance adalah upaya pengungkapan suatu kasus besar
(biasanya kematian pasien) yang dikenal dengan istilah root cause analysis (RCA). Penyelidikan dimulai sejak pasien
masuk RS sampai kondisi terakhir. Hasil RCA tidak dapat dijadikan alat bukti
di pengadilan. Maka, semua pihak yang terlibat berani mengungkapkan apa yang
terjadi karena dilindungi peraturan perundangan termasuk sang whistle blower.
Dengan demikian, masalah lebih mudah terungkap. Perlindungan hukum itu tidak
dimaksudkan untuk mengabaikan suatu tindak kriminal, seperti halnya kasus
Patel, tetapi untuk memberikan perlakuan yang adil bagi pelaku kesehatan
karena kompleksitas pelayanan kesehatan tersebut.
Komisi
Nasional Kesehatan
Dunia kesehatan kita saat ini sangat memprihatinkan karena
pilihan menerapkan pembayar pihak ketiga (BPJS) yang sangat kapitalistik
menimbulkan kegaduhan tenaga medis dan manajemen rumah sakit.
Kita akan menapak tilas skandal asuransi mulai dari moral hazard, seperti doctors shopping, pasien dan sanak
keluarganya mendatangi dokter untuk mendapatkan jenis obat tertentu, sampai
skandal asuransi kesehatan, seperti Phantom
Wards di Negara Bagian Victoria, Australia, di mana RS mengklaim memiliki
ruangan yang sebenarnya tidak ada dan mengakali daftar tunggu pasien operasi
demi keuntungan finansial.
Dari pihak asuransi, seorang dokter dari AS, Linda Peeno, yang
bekerja sebagai verifikator asuransi, mengaku telah mengakibatkan
meninggalnya pasien yang seharusnya tertolong jika saja dia menyetujui proses
operasi yang harus dijalani.
Belajar dari pelbagai skandal kedokteran itu, sudah sepatutnya
kita memiliki Komisi Nasional Kesehatan untuk melindungi keselamatan pasien.
Mungkin pada awalnya kita bisa menggabungkan Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit dengan Komisi Akreditasi Rumah Sakit, yang sudah ada, menjadi
satu komisi yang sekaligus menangani pengaduan masyarakat.
Dengan demikian, dugaan kasus kematian Allya Siska Nadya (33)
dapat segera dilaporkan dan ditindaklanjuti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar