”Welcome
You All...”
Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
10 Januari 2016
Di pengujung tahun lalu saya berkesempatan ke Solo, menjadi
salah satu pembicara diskusi bertajuk ”Rupa Kota” yang diselenggarakan oleh Institut
Seni Indonesia Solo. Saya terangkan sedari awal bahwa sumpah saya tak paham
teknis pembangunan kota. Betapapun, saya beruntung dan merasa nyaman karena
banyak peserta adalah teman baik. Di kampus yang luas, asri, sejuk, sepi,
nglangut di pinggiran kota di kawasan Mojosongo itu saya mengajak untuk
bersama-sama merenungkan soal ruang dan waktu saja.
Saya cerita, di Jakarta dalam perjalanan ke Solo saya melihat
truk-truk sampah dengan sampah menggunung di bak, parkir berderet di pinggir
jalan. Saat itu Jakarta dan suburban-nya, yaitu Bekasi dan Bogor, tengah
ribut soal sampah. Kedua kabupaten ini mempermasalahkan sampah Jakarta ke
kabupaten mereka, dan melakukan aksi blokade.
Pertikaian birokratis tersebut ditanggapi masyarakat dengan
kicauan di dunia digital. Ada komentar, kalau sampah tak bisa dibawa ke
Bekasi dan Bogor, bagaimana kalau orang Bekasi dan Bogor juga tak boleh buang
sampah di Jakarta? Kalau masuk Jakarta, silakan kumpulkan sendiri sampahnya,
termasuk kencing dan kotorannya, untuk dibawa pulang. Ini menambah sentimen
yang sering beredar, berhubungan dengan kemacetan. Orang-orang Bandung dan
Bogor banyak yang kesal dengan melimpahnya kendaraan berpelat nomor B di kota
mereka pada setiap akhir pekan dan hari-hari libur.
Itulah problematik ruang, ketika pembangunan kota kurang
mempertimbangkan pengertian, bahwa pada hakikatnya ruang adalah milik
bersama. Semua orang bisa mengedepankan contohnya sendiri-sendiri, misalnya
dengan menunjuk kompleks-kompleks perumahan serta kluster-kluster yang mengedepankan
eksklusivitas, terpisah dan terisolasi dari sekeliling. Rasa aman diserahkan
pada sistem: dari surveilansi lewat kamera pengintip sampai satpam. Bukan
dari kehangatan hidup bersama.
Dengan kata lain, ruang kota yang tengah gencar dibangun adalah
ruang yang bersifat memisahkan, bukan mempertemukan. Ruang yang tidak
menumbuhkan sosiabilitas, sesrawungan,
melainkan ruang yang mengandaikan bahwa hubungan individu bisa dimediasi oleh
teknologi, citra, pamor, kesan, dan segala hal yang semu.
Dimensi keruangan—salah satu hal paling mendasar pada
manusia—telah terkorup oleh pemahaman baru tentang ruang yang sifatnya
memisahkan bukan saja orang dengan orang, melainkan juga orang dengan diri
sendiri.
Mutasi gagasan keruangan berlangsung bersamaan pengertian dan
pemahaman orang mengenai waktu. Sebagaimana komodifikasi terhadap ruang,
terjadi komodifikasi terhadap waktu. Hanya saja prosesnya terbalik. Waktu
yang seharusnya bagian dari individuasi manusia diratakan, menjadi pengalaman
hidup yang seragam: perayaan akhir tahun, liburan, diskon awal tahun, dan
seterusnya. Istilahnya: leisure time. Pada pergantian tahun orang menipu diri
sendiri dengan bersukacita, jungkir balik, guling-guling, kehilangan
manunggaling diri dengan waktu.
Seperti saya katakan di Solo, sungsang jumpalik. Ruang, dari
ruang bersama, kenangan seperti di kampung satu kampung satu halaman,
menjalani proses privatisasi, individuasi. Sebaliknya waktu yang memiliki
makna individuasi justru mengalami penyeragaman. Hilang proses kesendirian, ning, manggeng, sangkan paran, sebelum
sendirian manusia kembali kepada Sing
Pareng Gesang.
Ditambah revolusi digital yang mengakselerasi percepatan
termasuk percepatan informasi, banyak orang sekarang mengalami vertigo
informasi. Manusia kehilangan keseimbangan. Simptomnya, selain readers,
listeners, viewers, communicators, dan lain-lain, dalam ranah media kini
muncul istilah sangat populer: haters. Bahasa guyonannya: panasbung. Mereka
beramai-ramai ikut merajam pendosa dengan batu, tanpa tahu apa yang
benar-benar terjadi. Oh ya, tentu saja tak ketinggalan lovers. Welcome you all....
Itulah keseimbangan dunia. Yin
Yang. Ada yang hilang, tiba yang baru. Cakrawala berlapis-lapis. Yang
diperlukan kesadaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar