Rabu, 13 Januari 2016

”Welcome You All...”

”Welcome You All...”

Bre Redana   ;  Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 10 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di pengujung tahun lalu saya berkesempatan ke Solo, menjadi salah satu pembicara diskusi bertajuk ”Rupa Kota” yang diselenggarakan oleh Institut Seni Indonesia Solo. Saya terangkan sedari awal bahwa sumpah saya tak paham teknis pembangunan kota. Betapapun, saya beruntung dan merasa nyaman karena banyak peserta adalah teman baik. Di kampus yang luas, asri, sejuk, sepi, nglangut di pinggiran kota di kawasan Mojosongo itu saya mengajak untuk bersama-sama merenungkan soal ruang dan waktu saja.

Saya cerita, di Jakarta dalam perjalanan ke Solo saya melihat truk-truk sampah dengan sampah menggunung di bak, parkir berderet di pinggir jalan. Saat itu Jakarta dan suburban-nya, yaitu Bekasi dan Bogor, tengah ribut soal sampah. Kedua kabupaten ini mempermasalahkan sampah Jakarta ke kabupaten mereka, dan melakukan aksi blokade.

Pertikaian birokratis tersebut ditanggapi masyarakat dengan kicauan di dunia digital. Ada komentar, kalau sampah tak bisa dibawa ke Bekasi dan Bogor, bagaimana kalau orang Bekasi dan Bogor juga tak boleh buang sampah di Jakarta? Kalau masuk Jakarta, silakan kumpulkan sendiri sampahnya, termasuk kencing dan kotorannya, untuk dibawa pulang. Ini menambah sentimen yang sering beredar, berhubungan dengan kemacetan. Orang-orang Bandung dan Bogor banyak yang kesal dengan melimpahnya kendaraan berpelat nomor B di kota mereka pada setiap akhir pekan dan hari-hari libur.

Itulah problematik ruang, ketika pembangunan kota kurang mempertimbangkan pengertian, bahwa pada hakikatnya ruang adalah milik bersama. Semua orang bisa mengedepankan contohnya sendiri-sendiri, misalnya dengan menunjuk kompleks-kompleks perumahan serta kluster-kluster yang mengedepankan eksklusivitas, terpisah dan terisolasi dari sekeliling. Rasa aman diserahkan pada sistem: dari surveilansi lewat kamera pengintip sampai satpam. Bukan dari kehangatan hidup bersama.

Dengan kata lain, ruang kota yang tengah gencar dibangun adalah ruang yang bersifat memisahkan, bukan mempertemukan. Ruang yang tidak menumbuhkan sosiabilitas, sesrawungan, melainkan ruang yang mengandaikan bahwa hubungan individu bisa dimediasi oleh teknologi, citra, pamor, kesan, dan segala hal yang semu.

Dimensi keruangan—salah satu hal paling mendasar pada manusia—telah terkorup oleh pemahaman baru tentang ruang yang sifatnya memisahkan bukan saja orang dengan orang, melainkan juga orang dengan diri sendiri.

Mutasi gagasan keruangan berlangsung bersamaan pengertian dan pemahaman orang mengenai waktu. Sebagaimana komodifikasi terhadap ruang, terjadi komodifikasi terhadap waktu. Hanya saja prosesnya terbalik. Waktu yang seharusnya bagian dari individuasi manusia diratakan, menjadi pengalaman hidup yang seragam: perayaan akhir tahun, liburan, diskon awal tahun, dan seterusnya. Istilahnya: leisure time. Pada pergantian tahun orang menipu diri sendiri dengan bersukacita, jungkir balik, guling-guling, kehilangan manunggaling diri dengan waktu.

Seperti saya katakan di Solo, sungsang jumpalik. Ruang, dari ruang bersama, kenangan seperti di kampung satu kampung satu halaman, menjalani proses privatisasi, individuasi. Sebaliknya waktu yang memiliki makna individuasi justru mengalami penyeragaman. Hilang proses kesendirian, ning, manggeng, sangkan paran, sebelum sendirian manusia kembali kepada Sing Pareng Gesang.

Ditambah revolusi digital yang mengakselerasi percepatan termasuk percepatan informasi, banyak orang sekarang mengalami vertigo informasi. Manusia kehilangan keseimbangan. Simptomnya, selain readers, listeners, viewers, communicators, dan lain-lain, dalam ranah media kini muncul istilah sangat populer: haters. Bahasa guyonannya: panasbung. Mereka beramai-ramai ikut merajam pendosa dengan batu, tanpa tahu apa yang benar-benar terjadi. Oh ya, tentu saja tak ketinggalan lovers. Welcome you all....

Itulah keseimbangan dunia. Yin Yang. Ada yang hilang, tiba yang baru. Cakrawala berlapis-lapis. Yang diperlukan kesadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar