Kamis, 14 Januari 2016

Senja Kala Putaran Doha

Senja Kala Putaran Doha

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
                                                    REPUBLIKA, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) X Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Nairobi, Kenya, 15-18 Desember 2015, dipuja-puji. Bukan hanya di luar negeri, di dalam negeri Menteri Perdagangan Thomas Lembong bangga dengan hasil KTM WTO pertama di belahan Afrika itu.

Diyakini, Paket Nairobi yang disepakati di sana bermanfaat bagi Indonesia. Bersama Dirjen WTO Roberto Azevedo, Lembong, dan 162 anggota WTO mengklaim kesepakatan Paket Nairobi merupakan pencapaian negosiasi paling signifikan di bidang pertanian 20 tahun terakhir. Kesepakatan ini diyakini akan menyelamatkan Putaran Doha.

Dibentuk di Ibu Kota Qatar pascatragedi 11 September 2001, segera setelah serangan teroris menghancurkan World Trade Center, Putaran Doha hendak meyakinkan dunia bahwa kemakmuran dan persatuan dunia jauh lebih penting ketimbang terorisme. Ia merupakan proyek ambisius menjadikan globalisasi lebih inklusif, membantu negara berkembang mendapatkan keuntungan dari proses globalisasi. Putaran Doha berupaya melahirkan sistem perdagangan dunia yang adil, berimbang, dan memberikan akses lebih kepada negara berkembang dengan tujuan akhir a fair and market oriented trading system.

Putaran Doha hendak mengoreksi ketidakadilan perdagangan (unfair trade) dan ketidakseimbangan (imbalance trade) yang telah diputuskan dalam Putaran Uruguay. Perjanjian Pertanian 1994 (Agreement on Agriculture/AoA) amat berpihak pada negara maju. Karena itu, Putaran Doha hadir untuk mengoreksi.

Aspek pembangunan lebih menonjol ketimbang perdagangan bebas. Dalam Deklarasi Para Menteri di Doha, November 2001, Para 13 (WTO, 2001) ditulis, tujuan Putaran Doha bukan perdagangan bebas (free trade). Karena itu, ada komitmen untuk bernegosiasi komprehensif dengan maksud substantial improvements in market acces; reduction with a view to phasing out, all form of export subsidies; and substantial reductions in trade distorting support.

Untuk mengejar ketertinggalan dan memberikan fleksibilitas, negara berkembang mendapatkan perlakuan khusus berupa special and differential treatment dan nontrade concern. Ini diyakini akan menciptakan keadilan lewat lapangan permainan seimbang (equal level playing field).

Tujuan akhir dari Putaran Doha adalah menolong penduduk dunia yang miskin melalui liberalisasi perdagangan yang adil, terutama dengan menghapus penghalang dan subsidi di bidang pertanian. Arah dari semua itu adalah penghapusan tarif dan subsidi menuju cita-cita kompetisi perdagangan yang bebas.

Sayangnya, retorika besar itu hanya ada di atas kertas. Negara-negara maju sejak awal tidak mau membuat kompromi politik untuk mendukung kesepakatan Doha. Dalam pelbagai putaran perundingan, mulai dari KTM WTO di Cancun (September 2003), Hong Kong (Desember 2005), Geneva (Juli 2008), hingga Bali (Desember 2013), tak ada kemajuan kesepakatan Putaran Doha.

Yang menjijikkan, pelbagai kesepakatan yang diputuskan dalam aneka putaran perundingan sebelumnya diobrak-abrik dan dimentahkan kembali oleh negara-negara maju. Karena tak kunjung ada kesepakatan antara negara maju dan negara berkembang, diyakini Putaran Doha akan runtuh dan menuju kematian.

Di tengah aura pesimisme seperti itu, KTM X WTO menyepakati Paket Nairobi. Paket Nairobi berisi enam hal;: soal persaingan ekspor (export competition), mekanisme perlindungan khusus (special safeguard mechanism/SSM), cadangan pangan publik (public stock holding), kebijakan terkait kapas dari negara-negara Afrika, dan fasilitas bagi negara kurang berkembang dalam bentuk pengutamaan kriteria asal-muasal barang (rules of origin) serta fasilitas preferensi untuk sektor jasa. Dari keenam isi paket, kesepakatan tentang persaingan ekspor paling alot dibahas dan diklaim paling bersejarah.

Tak hanya kali ini, dalam aneka putaran perundingan paket pertanian paling alot diperdebatkan. Jantung masalahnya terletak pada jurang perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang di sektor pertanian.

Negara maju menghendaki liberalisasi lewat pembukaan akses pasar di negara-negara berkembang. Sebaliknya, negara maju pelit memangkas subsidi dan dukungan domestik kepada petani dan sektor pertaniannya. Negara maju banyak menuntut, tapi pelit memberi. Kesepakatan persaingan ekspor di Nairobi mengharuskan negara-negara maju segera merumuskan penghapusan subsidi ekspor, kecuali buat produk pertanian tertentu. Benarkah ini deal bersejarah?

Harus diakui, selama ini dengan fasilitas subsidi ekspor, pengusaha dari negara maju mendapat subsidi berupa fasilitas kredit ekspor hingga 560 hari. Lewat fasilitas ini, importir kedelai asal Indonesia, misalnya, memperoleh kemudahan membayar dua tahun kemudian.

Masalahnya, klausul "kecuali buat produk pertanian tertentu" tidak ubahnya memberi cek kosong kepada negara maju karena tidak diikat batasan jelas. Selain itu, tenggat menghapus subsidi ekspor bagi negara maju pada 2018 dan negara berkembang hingga 2023, menyisakan pertanyaan: Cukupkah waktu dua tahun bagi negara berkembang mengejar ketinggalan? Indonesia juga tak diuntungkan karena bukan negara berkembang.

Di luar itu, kesepakatan tentang SSM dan cadangan pangan publik juga tidak ada kemajuan. Tidak ada kesepakatan detail yang diteken negara-negara anggota WTO. Dalam KTM IX WTO di Bali, lewat Paket Bali disepakati cadangan pangan publik.

Saat itu, dengan peace clause empat tahun kesepakatan ini ditukar dengan fasilitas perdagangan yang didesakkan negara maju. Dijanjikan pula solusi permanen. Di Nairobi, sama sekali tak dibahas solusi permanen. Janji tinggal janji.

Pertanyaannya, masihkah negara-negara berkembang percaya pada iktikad negara maju? Tak cukupkah bukti-bukti yang ada? Karena itu, berbeda dengan Roberto Azevedo dan Menteri Lembong, yang terjadi bukan menyelamatkan, Paket Nairobi justru mengantar Putaran Doha ke posisi senja kala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar