Senja Kala Putaran Doha
Khudori ;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
REPUBLIKA,
05 Januari 2016
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) X Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
di Nairobi, Kenya, 15-18 Desember 2015, dipuja-puji. Bukan hanya di luar
negeri, di dalam negeri Menteri Perdagangan Thomas Lembong bangga dengan
hasil KTM WTO pertama di belahan Afrika itu.
Diyakini, Paket Nairobi yang disepakati di sana bermanfaat bagi
Indonesia. Bersama Dirjen WTO Roberto Azevedo, Lembong, dan 162 anggota WTO
mengklaim kesepakatan Paket Nairobi merupakan pencapaian negosiasi paling
signifikan di bidang pertanian 20 tahun terakhir. Kesepakatan ini diyakini
akan menyelamatkan Putaran Doha.
Dibentuk di Ibu Kota Qatar pascatragedi 11 September 2001,
segera setelah serangan teroris menghancurkan World Trade Center, Putaran
Doha hendak meyakinkan dunia bahwa kemakmuran dan persatuan dunia jauh lebih
penting ketimbang terorisme. Ia merupakan proyek ambisius menjadikan
globalisasi lebih inklusif, membantu negara berkembang mendapatkan keuntungan
dari proses globalisasi. Putaran Doha berupaya melahirkan sistem perdagangan
dunia yang adil, berimbang, dan memberikan akses lebih kepada negara berkembang
dengan tujuan akhir a fair and market
oriented trading system.
Putaran Doha hendak mengoreksi ketidakadilan perdagangan (unfair trade) dan ketidakseimbangan (imbalance trade) yang telah diputuskan
dalam Putaran Uruguay. Perjanjian Pertanian 1994 (Agreement on Agriculture/AoA) amat berpihak pada negara maju.
Karena itu, Putaran Doha hadir untuk mengoreksi.
Aspek pembangunan lebih menonjol ketimbang perdagangan bebas.
Dalam Deklarasi Para Menteri di Doha, November 2001, Para 13 (WTO, 2001)
ditulis, tujuan Putaran Doha bukan perdagangan bebas (free trade). Karena
itu, ada komitmen untuk bernegosiasi komprehensif dengan maksud substantial
improvements in market acces; reduction with a view to phasing out, all form
of export subsidies; and substantial reductions in trade distorting support.
Untuk mengejar ketertinggalan dan memberikan fleksibilitas,
negara berkembang mendapatkan perlakuan khusus berupa special and
differential treatment dan nontrade concern. Ini diyakini akan menciptakan
keadilan lewat lapangan permainan seimbang (equal level playing field).
Tujuan akhir dari Putaran Doha adalah menolong penduduk dunia
yang miskin melalui liberalisasi perdagangan yang adil, terutama dengan
menghapus penghalang dan subsidi di bidang pertanian. Arah dari semua itu
adalah penghapusan tarif dan subsidi menuju cita-cita kompetisi perdagangan
yang bebas.
Sayangnya, retorika besar itu hanya ada di atas kertas.
Negara-negara maju sejak awal tidak mau membuat kompromi politik untuk
mendukung kesepakatan Doha. Dalam pelbagai putaran perundingan, mulai dari
KTM WTO di Cancun (September 2003), Hong Kong (Desember 2005), Geneva (Juli
2008), hingga Bali (Desember 2013), tak ada kemajuan kesepakatan Putaran
Doha.
Yang menjijikkan, pelbagai kesepakatan yang diputuskan dalam
aneka putaran perundingan sebelumnya diobrak-abrik dan dimentahkan kembali
oleh negara-negara maju. Karena tak kunjung ada kesepakatan antara negara
maju dan negara berkembang, diyakini Putaran Doha akan runtuh dan menuju
kematian.
Di tengah aura pesimisme seperti itu, KTM X WTO menyepakati
Paket Nairobi. Paket Nairobi berisi enam hal;: soal persaingan ekspor (export competition), mekanisme
perlindungan khusus (special safeguard
mechanism/SSM), cadangan pangan publik (public stock holding), kebijakan terkait kapas dari negara-negara
Afrika, dan fasilitas bagi negara kurang berkembang dalam bentuk pengutamaan
kriteria asal-muasal barang (rules of
origin) serta fasilitas preferensi untuk sektor jasa. Dari keenam isi
paket, kesepakatan tentang persaingan ekspor paling alot dibahas dan diklaim
paling bersejarah.
Tak hanya kali ini, dalam aneka putaran perundingan paket
pertanian paling alot diperdebatkan. Jantung masalahnya terletak pada jurang
perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang di sektor
pertanian.
Negara maju menghendaki liberalisasi lewat pembukaan akses pasar
di negara-negara berkembang. Sebaliknya, negara maju pelit memangkas subsidi
dan dukungan domestik kepada petani dan sektor pertaniannya. Negara maju
banyak menuntut, tapi pelit memberi. Kesepakatan persaingan ekspor di Nairobi
mengharuskan negara-negara maju segera merumuskan penghapusan subsidi ekspor,
kecuali buat produk pertanian tertentu. Benarkah ini deal bersejarah?
Harus diakui, selama ini dengan fasilitas subsidi ekspor,
pengusaha dari negara maju mendapat subsidi berupa fasilitas kredit ekspor
hingga 560 hari. Lewat fasilitas ini, importir kedelai asal Indonesia,
misalnya, memperoleh kemudahan membayar dua tahun kemudian.
Masalahnya, klausul "kecuali buat produk pertanian
tertentu" tidak ubahnya memberi cek kosong kepada negara maju karena
tidak diikat batasan jelas. Selain itu, tenggat menghapus subsidi ekspor bagi
negara maju pada 2018 dan negara berkembang hingga 2023, menyisakan
pertanyaan: Cukupkah waktu dua tahun bagi negara berkembang mengejar
ketinggalan? Indonesia juga tak diuntungkan karena bukan negara berkembang.
Di luar itu, kesepakatan tentang SSM dan cadangan pangan publik
juga tidak ada kemajuan. Tidak ada kesepakatan detail yang diteken negara-negara
anggota WTO. Dalam KTM IX WTO di Bali, lewat Paket Bali disepakati cadangan
pangan publik.
Saat itu, dengan peace clause empat tahun kesepakatan ini
ditukar dengan fasilitas perdagangan yang didesakkan negara maju. Dijanjikan
pula solusi permanen. Di Nairobi, sama sekali tak dibahas solusi permanen.
Janji tinggal janji.
Pertanyaannya, masihkah negara-negara berkembang percaya pada
iktikad negara maju? Tak cukupkah bukti-bukti yang ada? Karena itu, berbeda
dengan Roberto Azevedo dan Menteri Lembong, yang terjadi bukan menyelamatkan,
Paket Nairobi justru mengantar Putaran Doha ke posisi senja kala. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar