70 Tahun Kementerian Agama
Salahuddin Wahid ;
Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
REPUBLIKA,
02 Januari 2016
Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) pada 11 Juli 1945, Mohammad Yamin menyampaikan perlunya
pembentukan kementerian yang berhubungan dengan agama. Yamin mengatakan,
"Pendek kata menurut kehendak rakyat bahwa urusan agama Islam yang
berhubungan dengan wakaf, masjid, dan penyiaran harus diurus oleh kementerian
yang istimewa, yang kita namai Kementerian Agama." Namun, pendapat Yamin
itu belum bisa meyakinkan semua anggota BPUPKI.
Saat sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19
Agustus 1945 tentang pembentukan kabinet, usul pembentukan Kemenag ditolak
Johannes Latuharhary dan kelompok non-Muslim. Maka, di Kabinet 1 (September
1945) dan Kabinet 2 (November 1945) belum ada menteri agama.
KNIP menyetujui usul mereka. Pada 3 Januari 1946, Pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan maklumat berdirinya Kementerian Agama RI dan
mengangkat Haji Mohammad Rasyidi sebagai menteri agama pertama. Keberadaan
Kemenag mempertegas bahwa agama adalah elemen yang penting dan terkait secara
fungsional dengan kehidupan ber negara di Indonesia. Keberadaan Kementerian
Agama membuktikan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Kementerian Agama
adalah perpaduan Islam dan Indonesia.
Dalam persidangan DPR awal 1950-an, muncul lagi gugatan terhadap
keberadaan Ke menag. Syukur bahwa gugatan itu bisa ditepis oleh KH A Wahid Hasyim.
Suara serupa muncul lagi pada awal Reformasi. Saat diskusi yang diadakan oleh
"Tim Lima PBNU", ketika ada pihak yang mengusulkan namanya menjadi
menteri agama, seorang tokoh petinggi PBNU menjawab tindakan pertama yang
akan dilakukannya kalau menjadi menteri agama ialah membubarkan Departemen
Agama.
Setelah diangkat sebagai menteri agama pertama, H Rasyidi datang
sendiri kepada IJ Kasimo, pimpinan Katolik, dan mengatakan harus ada wakil
dari Katolik di Kemenag. Kemudian, Pak Kasimo menunjuk seorang wakil untuk
duduk di Kemenag. Pihak Kristen, Hindu, dan Buddha juga menunjuk wakil mereka
di Kementerian Agama.
Maka berdirilah unit-unit dalam Kemenag yang kini kita kenal
sebagai Direktorat Jenderal Bimas (Bimbingan Masyarakat) Kristen, Ditjen
Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu, Ditjen Bimas Buddha, dan Ditjen Bimas
Islam. Keberadaan Ditjen itu terkait enam agama yang diakui resmi oleh
negara, kecuali Ditjen Konghuchu yang tidak ada.
Ada beberapa masalah pelik terkait keberadaan sekian banyak
agama di negara kita. Pertama, pencantuman agama mereka di KTP. Kedua, boleh
tidaknya pernikahan menggunakan tata cara sesuai agama masing-masing. Ketiga,
pernikahan antaragama. Keempat, izin mendirikan rumah ibadah. Kelima,
keberadaan sekte di agama tertentu, seperti Syiah dan Ahmadiyah di Islam.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) mengatakan, dia
adalah menteri semua agama. Dibanding dengan Suryadharma Ali (SDA), LHS bisa
dibilang menteri semua agama.
Kerukunan umat
beragama
Pada 2003, Departemen Agama dan DPR setuju membahas RUU Kerukunan
Beragama. Seingat saya, muncul banyak penolakan atas campur tangan negara
dalam masalah ke rukunan umat beragama. Jika masalah kerukunan umat beragama
mesti diatur negara dengan perangkat hukum, itu berarti pluralisme agama
mengalami proses mundur.
Sudah hampir setahun Kemenag menyusun naskah RUU Perlindungan
Umat Beragama (PUB). Menteri Agama mengaku sering dihubungi Polri terkait
landasan hukum penyelesaian soal keagamaan. Dibanding menteri-menteri agama
yang lalu, LHS lebih memahami hubungan agama dan HAM, bagaimana posisi agama
dalam UUD.
Pendidikan tertua di nusantara ialah pesantren yang sudah ada
sejak hampir 1000 tahun lalu. Pesantren tertua yang masih ada ialah Pesantren
Sidogiri yang berdiri pada 1718. Sekolah Belanda yang menjadi cikal bakal
sekolah yang kini ada di Indonesia berdiri pada 1840-an. Pada beberapa tahun
pertama kemerdekaan mulai terjadi arus deras dari putra-putri kalangan
pesantren untuk belajar di SD, SMP, dan SMA.
Pada 1950-an awal, era KH A Wahid Hasyim menjadi menteri agama,
diterbitkan peraturan bahwa di sekolah yang ada (SD,SMP, SMA) diberikan mata
pelajaran agama dan akan didirikan madrasah (MI, MTs, dan MA). Pada tahun itu
juga didirikan PTAIN yang lalu berkembang menjadi STAIN dan IAIN.
Pada saat itu, ada yang mengkritik kebijakan Menteri Wahid
Hasyim itu membuat dualisme pendidikan di Indonesia. Kritik itu dijawab bahwa
pendidikan Islam sudah ada jauh sebelum sekolah berdiri di Indonesia. Kalau
dianggap ada dualisme, maka perlu ditanya, siapa yang membuat dualisme itu?
Bagi saya, dualisme itu konsekuensi logis dari fitrah pendidikan
di Indonesia. Saat ini, ada sekitar 74 ribu madrasah di Indonesia, sekitar 90
persen milik swasta. Sebagai perbandingan, ada sekitar 175 ribu sekolah di
Indonesia. Bayangkan kalau tidak ada madrasah, berapa puluh juta anak bangsa
yang tak mendapatkan kesempatan belajar karena pemerintah tidak mampu
menjalankan amanah UUD memberi pelayanan pendidikan dasar menengah kepada
anak bangsa.
Sebagai penghargaan terhadap peran pesantren, pemerintah
menetapkan adanya Hari Santri yang dipilih pada 22 Oktober sesuai saat
dikeluarkannya fatwa Resolusi Jihad. Penghargaan itu bagus, tetapi hanya akan
terasa seremonial belaka bila tidak ada kebijakan nyata pemerintah untuk
membantu peningkatan mutu pesantren yang berjumlah sekitar 28 ribu. Kebijakan
semacam itu adalah "affirmative action" untuk warga yang
terlupakan, yang kebanyakan berada di pelosok.
Cukup banyak pesantren yang sudah mendirikan Sekolah Tinggi
Agama Islam atau Institut Agama Islam dan hanya beberapa yang sudah
mendirikan universitas. Ideal sekali bila pesantren yang mendirikan
universitas ini, terutama yang di daerah pedalaman (rural areas), mendapat
bantuan anggaran memadai dari pemerintah supaya bisa menyelenggarakan
pendidikan tinggi yang bermutu.
Jumlah anak usia kuliah di pedalaman yang bisa masuk kuliah di
kota besar hanya 6-7 persen, angka yang kecil bila dibandingkan dengan yang
tinggal di kota besar (sekitar 27 persen). Keberadaan universitas di daerah
pedalaman akan mengurangi ketimpangan desa-kota dan mengurangi urbanisasi.
Juga akan mendinamisasi para pemuda sehingga bisa lebih bersaing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar