Rabu, 13 Januari 2016

”Quo Vadis” Kebijakan Perpajakan Indonesia

”Quo Vadis” Kebijakan Perpajakan Indonesia

Yustinus Prastowo  ;   Direktur Eksekutif
Center for Indonesia Taxation Analysis, Jakarta
                                                       KOMPAS, 12 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sepanjang tahun 2015 kita menjalani masa-masa sulit yang menguji kesabaran dan daya tahan.  Berkah yang tersembunyi, kita mulai membiasakan diri dengan ketakpastian, krisis, dan kejutan. Namun ada satu hal mendasar di 2015 yang hampir luput dari cermatan. Terjadi pembalikan paradigmatik pasca APBN-P 2015 mencabut subsidi harga BBM.

Ketika belanja tak lagi jadi beban, perhatian dan tumpuan kini beralih ke sisi pendapatan. Pajak sebagai penyumbang terbesar penerimaan negara jadi isu penting saat ini dan mendatang. Jika kita keliru meletakkan pijakan yang tepat bagi kebijakan pajak, kita rawan tergelincir ke palung persoalan yang membahayakan.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengawali masa pemerintahan dengan optimisme yang membuncah. Kebijakan mencabut subsidi harga BBM berdampak signifikan bagi pelebaran ruang fiskal. Persoalan subsidi yang akut dan membebani APBN teratasi dan mendorong alokasi belanja lebih berkualitas.

Terdorong hasrat segera merealisasikan janji-janji kampanye, pemerintah menggeber berbagai proyek pembangunan. Setidaknya empat bidang menjadi pilihan: infrastruktur, maritim, energi, dan pertanian. Berbagai rencana dan program dirancang, sebagian dapat segera diwujudkan dan sisanya harus ditunda.

Keberlanjutan pembangunan amat bergantung pada kemampuan pembiayaan, khususnya penerimaan pajak. Sayangnya, kinerja perpajakan 2015 tak sesuai harapan. Alih-alih mencukupi kebutuhan pembiayaan, sepanjang 2015 kita menjalankan negara dengan kas cekak dan mengulang cara klasik, yakni mengandalkan utang. Di sini terletak perkara paradigmatik: pergeseran fokus dari belanja ke pendapatan belum sepenuhnya disadari oleh para pemangku kepentingan.

Pelambatan ekonomi global dan nasional memang di luar perkiraan, menggerus potensi pajak secara signifikan. Penetapan target pajak 2015 pun diakui terlalu tinggi, melebihi kemampuan alamiah otoritas perpajakan dengan segala keterbatasannya.

Kabar baiknya, kinerja perpajakan 2015 ini membantu kita mengidentifikasi beberapa hal penting. Pertama, kapasitas otoritas pajak kita dalam memungut pajak yang masih rendah butuh reformasi perpajakan menyeluruh. Kedua, tingkat kesadaran dan kepatuhan pajak yang masih rendah. Ketiga, kait kelindan pajak dengan isu ekonomi, politik, sosial butuh model kebijakan yang komprehensif. Keempat, harmonisasi regulasi yang mandek menciptakan ketakpastian hukum dan penegakannya.

Keempat hal ini seharusnya jadi fokus bagi reformasi perpajakan yang menyeluruh, yang menyentuh dimensi kebijakan, hukum, dan administrasi sekaligus. Pembalikan paradigmatik harus segera disertai suntikan visi sehingga menuntun proses pembenahan menjadi tuntas.

”Paradoks Janus”

Casanegra de Jantscher pernah mengatakan bahwa in developing countries tax administration is tax policy—bahwa reformasi perpajakan di negara berkembang cenderung sekadar reformasi administrasi. Namun Indonesia tahun 1983 adalah anomali. Momen bersejarah yang diukir saat itu adalah reformasi pajak yang menyentuh dimensi kesadaran untuk membangun sistem perpajakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Hasilnya luar biasa: perubahan dari official assessment system menjadi self assessment system, penekanan prinsip keadilan substansial, partisipasi dan kegotongroyongan, dan cita-cita pajak sebagai jalan menuju kemandirian.

Pertanyaan reflektif dapat segera diajukan: mengapa pada rezim Orde Baru, yang cenderung otoriter, reformasi perpajakan justru terwujud? Salah satu jawabannya tak lain teknokrat cemerlang yang jernih dan steril dari kepentingan politik. Lantas, mengapa 32 tahun berlalu proyek reformasi perpajakan justru mengalami kemandekan?

Historiografi yang dibentang selama 1983-2015 menunjukkan bahwa visi ideologis Reformasi Pajak 1983 menguap ditelan waktu. Praktik perpajakan sesudahnya merupakan bayang-bayang reformasi perpajakan yang tidak utuh dan cenderung mengamini apa yang ditengarai oleh De Jantscher. Ruang publik yang seharusnya amat terbuka bagi percakapan visi dan ideologi justru susut oleh gegap gempita reformasi administrasi.

Meskipun penting, perbaikan administrasi melalui modernisasi sistem administrasi, pembentukan kantor pajak modern, serta digitalisasi dan aplikasi daringtidaklah mencukupi. Bahkan berpotensi menyesatkan karena keberhasilan hanya diukur dengan angka statistik.

Justru di sini jantung perkaranya. Visi keadilan, partisipasi, kegotongroyongan, dan kemandirian yang dirintis sejak 1983 tak berkembang dan matang. Pajak gagal dipahami sebagai relasi dialektis berbasis hak dan kewajiban antara negara dan warga. Kita pun maklum: kesadaran, kepercayaan, dan partisipasi tak dapat digerakkan oleh mesin dan teknokrasi. Reformasi pajak hanya akan berhasil apabila dimulai dengan langkah yang benar.

Jika dikiaskan dengan Janus yang berkepala dua dalam mitologi Romawi, masa depan gemilang hanya dapat diraih jika kita berguru pada masa lalu. Maka, kemauan membaca sejarah pemikiran dan visi Reformasi Pajak 1983 jadi keniscayaan. Pencapaian visioner dan gemilang itu hampir terlupakan tanpa jejak. Lugasnya, kita tak akan dapat berbicara dan menyandarkan harapan tentangkeadilan, pemerataan, dan kepastian hukum pada mereka yang miskin visi tentang ini.

Presiden Jokowi harus segera menyuntikkan visi Trisakti dan jalan Nawacita, yakni sistem perpajakan yang berkeadilan demi kesejahteraan rakyat, serta merumuskan turunan-turunan dalam program dan agenda aksi. Tanpa kesediaan melakukan ini, kita hanya akan terengah-engah sepanjang tahun tanpa beranjak ke mana pun. Meski belum terlambat, kereta perubahan ini hanya singgah sebentar di stasiun kesadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar