”Quo Vadis” Kebijakan Perpajakan Indonesia
Yustinus Prastowo ;
Direktur Eksekutif
Center for Indonesia Taxation
Analysis, Jakarta
|
KOMPAS,
12 Januari 2016
Sepanjang tahun 2015 kita menjalani masa-masa sulit yang menguji
kesabaran dan daya tahan. Berkah yang
tersembunyi, kita mulai membiasakan diri dengan ketakpastian, krisis, dan
kejutan. Namun ada satu hal mendasar di 2015 yang hampir luput dari cermatan.
Terjadi pembalikan paradigmatik pasca APBN-P 2015 mencabut subsidi harga BBM.
Ketika belanja tak lagi jadi beban, perhatian dan tumpuan kini
beralih ke sisi pendapatan. Pajak sebagai penyumbang terbesar penerimaan
negara jadi isu penting saat ini dan mendatang. Jika kita keliru meletakkan
pijakan yang tepat bagi kebijakan pajak, kita rawan tergelincir ke palung
persoalan yang membahayakan.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengawali
masa pemerintahan dengan optimisme yang membuncah. Kebijakan mencabut subsidi
harga BBM berdampak signifikan bagi pelebaran ruang fiskal. Persoalan subsidi
yang akut dan membebani APBN teratasi dan mendorong alokasi belanja lebih
berkualitas.
Terdorong hasrat segera merealisasikan janji-janji kampanye,
pemerintah menggeber berbagai proyek pembangunan. Setidaknya empat bidang
menjadi pilihan: infrastruktur, maritim, energi, dan pertanian. Berbagai
rencana dan program dirancang, sebagian dapat segera diwujudkan dan sisanya
harus ditunda.
Keberlanjutan pembangunan amat bergantung pada kemampuan
pembiayaan, khususnya penerimaan pajak. Sayangnya, kinerja perpajakan 2015
tak sesuai harapan. Alih-alih mencukupi kebutuhan pembiayaan, sepanjang 2015
kita menjalankan negara dengan kas cekak dan mengulang cara klasik, yakni
mengandalkan utang. Di sini terletak perkara paradigmatik: pergeseran fokus dari
belanja ke pendapatan belum sepenuhnya disadari oleh para pemangku
kepentingan.
Pelambatan ekonomi global dan nasional memang di luar perkiraan,
menggerus potensi pajak secara signifikan. Penetapan target pajak 2015 pun
diakui terlalu tinggi, melebihi kemampuan alamiah otoritas perpajakan dengan
segala keterbatasannya.
Kabar baiknya, kinerja perpajakan 2015 ini membantu kita
mengidentifikasi beberapa hal penting. Pertama, kapasitas otoritas pajak kita
dalam memungut pajak yang masih rendah butuh reformasi perpajakan menyeluruh.
Kedua, tingkat kesadaran dan kepatuhan pajak yang masih rendah. Ketiga, kait
kelindan pajak dengan isu ekonomi, politik, sosial butuh model kebijakan yang
komprehensif. Keempat, harmonisasi regulasi yang mandek menciptakan ketakpastian
hukum dan penegakannya.
Keempat hal ini seharusnya jadi fokus bagi reformasi perpajakan
yang menyeluruh, yang menyentuh dimensi kebijakan, hukum, dan administrasi
sekaligus. Pembalikan paradigmatik harus segera disertai suntikan visi
sehingga menuntun proses pembenahan menjadi tuntas.
”Paradoks
Janus”
Casanegra de Jantscher pernah mengatakan bahwa in developing countries tax administration
is tax policy—bahwa reformasi perpajakan di negara berkembang cenderung
sekadar reformasi administrasi. Namun Indonesia tahun 1983 adalah anomali.
Momen bersejarah yang diukir saat itu adalah reformasi pajak yang menyentuh
dimensi kesadaran untuk membangun sistem perpajakan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip demokrasi. Hasilnya luar biasa: perubahan dari official
assessment system menjadi self assessment system, penekanan prinsip keadilan
substansial, partisipasi dan kegotongroyongan, dan cita-cita pajak sebagai
jalan menuju kemandirian.
Pertanyaan reflektif dapat segera diajukan: mengapa pada rezim
Orde Baru, yang cenderung otoriter, reformasi perpajakan justru terwujud?
Salah satu jawabannya tak lain teknokrat cemerlang yang jernih dan steril
dari kepentingan politik. Lantas, mengapa 32 tahun berlalu proyek reformasi
perpajakan justru mengalami kemandekan?
Historiografi yang dibentang selama 1983-2015 menunjukkan bahwa
visi ideologis Reformasi Pajak 1983 menguap ditelan waktu. Praktik perpajakan
sesudahnya merupakan bayang-bayang reformasi perpajakan yang tidak utuh dan
cenderung mengamini apa yang ditengarai oleh De Jantscher. Ruang publik yang
seharusnya amat terbuka bagi percakapan visi dan ideologi justru susut oleh
gegap gempita reformasi administrasi.
Meskipun penting, perbaikan administrasi melalui modernisasi
sistem administrasi, pembentukan kantor pajak modern, serta digitalisasi dan
aplikasi daringtidaklah mencukupi. Bahkan berpotensi menyesatkan karena
keberhasilan hanya diukur dengan angka statistik.
Justru di sini jantung perkaranya. Visi keadilan, partisipasi,
kegotongroyongan, dan kemandirian yang dirintis sejak 1983 tak berkembang dan
matang. Pajak gagal dipahami sebagai relasi dialektis berbasis hak dan
kewajiban antara negara dan warga. Kita pun maklum: kesadaran, kepercayaan,
dan partisipasi tak dapat digerakkan oleh mesin dan teknokrasi. Reformasi
pajak hanya akan berhasil apabila dimulai dengan langkah yang benar.
Jika dikiaskan dengan Janus yang berkepala dua dalam mitologi
Romawi, masa depan gemilang hanya dapat diraih jika kita berguru pada masa
lalu. Maka, kemauan membaca sejarah pemikiran dan visi Reformasi Pajak 1983
jadi keniscayaan. Pencapaian visioner dan gemilang itu hampir terlupakan
tanpa jejak. Lugasnya, kita tak akan dapat berbicara dan menyandarkan harapan
tentangkeadilan, pemerataan, dan kepastian hukum pada mereka yang miskin visi
tentang ini.
Presiden Jokowi harus segera menyuntikkan visi Trisakti dan
jalan Nawacita, yakni sistem perpajakan yang berkeadilan demi kesejahteraan
rakyat, serta merumuskan turunan-turunan dalam program dan agenda aksi. Tanpa
kesediaan melakukan ini, kita hanya akan terengah-engah sepanjang tahun tanpa
beranjak ke mana pun. Meski belum terlambat, kereta perubahan ini hanya
singgah sebentar di stasiun kesadaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar