Indonesia dan Mediasi Konflik Arab Saudi-Iran
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Mantan Anggota Dewan Penasihat UNDEF,
New York, dan International IDEA, Stockholm
|
KOMPAS,
12 Januari 2016
Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk memainkan peran
mediasi—mencoba menengahi Arab Saudi dan Iran dalam konflik yang terus
memanas. Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri Luar Negeri Retno LP
Marsudi, Selasa (12/1) ini, untuk menyampaikan surat khusus kepada Raja Arab
Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Presiden Iran Hassan Rouhani.
Presiden Jokowi menyatakan, pengiriman utusan khusus (special envoy) menunjukkan keseriusan
Indonesia membantu meredakan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran. Apakah
upaya mediasi itu berhasil atau gagal, jelas banyak faktor yang membuat
konflik Arab Saudi-Iran tak mudah diselesaikan. Yang pasti, pengambilan
inisiatif untuk memediasi konflik yang kian memuncak di antara kedua negara
merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan Indonesia.
Selama setahun lebih pemerintahan Jokowi-Kalla, banyak kalangan
diplomatik dan pengamat politik luar negeri mengkhawatirkan kecenderungan
surutnya aktivisme dan peran Indonesia di kancah politik internasional.
Indonesia di bawah pemerintah sekarang mereka nilai cenderung bersikap lebih
berorientasi ke dalam (inward looking),
tidak lagi banyak melihat ke luar (outward
looking) dengan memprioritaskan keterlibatan dan peran Indonesia ikut
membangun tatanan internasional lebih damai dan lebih adil.
Menlu Retno membantah assessment itu. Ia menyatakan, kebijakan
luar negeri Indonesia kini bisa disebut pro-people
foreign policy—memprioritaskan perlindungan bagi WNI yang bekerja sebagai
buruh migran di luar negeri. Retno membantah kebijakan ini dimotivasi narrow nationalism atau selfserving interest—nasionalisme
sempit guna melayani diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan
internasional lebih luas. Indonesia tetap asertif dalam politik luar
negerinya.
Pada saat sama, perhatian dan energi Presiden Jokowi terfokus
pada konsolidasi pemerintah agar dapat mempercepat pembangunan. Namun,
kontestasi dan kegaduhan politik yang terus berlanjut menyisakan hanya
sedikit ruang bagi Presiden untuk juga meningkatkan peran Indonesia di kancah
internasional.
Penilaian atas kecenderungan pribadi Presiden Jokowi itu,
misalnya, dikemukakan Lowy Institute
for International Policy, lembaga think
tank Australia. Sejak masa awal pemerintahan Presiden Jokowi, Lowy Institute dalam analisis tulisan
Aaron L Connelly (Oktober 2014) menyatakan, Jokowi tidak memiliki visi kuat
dan solid tentang tempat dan posisi Indonesia di kancah internasional. Jokowi
juga tidak memiliki semangat khusus yang bernyala-nyala (passion) dalam soal ini.
Dalam konteks itu, keputusan Presiden Jokowi mengirim utusan
khusus dalam upaya meredakan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran—”musuh
bebuyutan” sejak awal dasawarsa 1980-an—patut mendapat apresiasi dan
dukungan. Kebijakan ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia—dalam istilah
hubungan internasional—to punch its
weight, ”memukul”, atau memainkan peran sesuai dengan bobotnya (yang
besar).
Indonesia memang belum menjadi negara adidaya sekelas Amerika
Serikat atau kini juga Tiongkok. Namun, Indonesia bersama Jepang, Korea
Selatan, dan India telah diakui banyak negara lain dan para analis sebagai
middle power, kekuatan menengah, yang memiliki peran penting sebagai
”pengimbang” di tengah persaingan kian meningkat di antara AS beserta
sekutunya dan Tiongkok (dan Rusia) bersama negara pendukungnya (Melissen & Sohn, eds, Understanding
Public Diplomacy in East Asia: Middle Powers in a Troubled Region, 2015).
Tidak kurang pentingnya, negara kekuatan menengah memiliki
posisi strategis sebagai kekuatan penengah atau mediator konflik yang terjadi
di antara negara-negara tertentu di tingkat regional, apakah di kawasan Asia
Pasifik, Asia Selatan, ataupun di Timur Tengah—seperti kini tengah membara
antara Arab Saudi dan Iran.
Sejauh menyangkut konflik Arab Saudi versus Iran, Indonesia
sebagai middle power memiliki ”keunggulan” dan leverage (daya tekan) lebih dibandingkan kekuatan adidaya semacam
AS atau Uni Eropa atau Tiongkok atau negara kekuatan menengah lain.
Sebaliknya, Indonesia lebih bisa diterima bagi kedua pihak
bertikai karena sejumlah alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara netral
yang berhubungan baik dengan Arab Saudi dan Iran sekaligus. Namun, Indonesia
tidak memiliki kepentingan geostrategis dan politis di kawasan Timur Tengah
yang terus bergolak. Kedua, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim
terbesar di dunia dan sekaligus negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Dengan tingkat akseptasi lebih besar, agar berhasil dalam
mewujudkan peran mediasi internasional, Pemerintah Republik Indonesia perlu
melibatkan banyak pihak dalam diplomasinya. Kemlu tetap menjadi lokus utama,
tetapi perlu keterlibatan publik Indonesia lebih luas menggalang diplomasi
publik menjadi total diplomacy.
Dalam konteks khas, upaya mediasi Indonesia meredakan konflik
Arab Saudi-Iran memerlukan keterlibatan non-state
actors, khususnya pemimpin dan tokoh Islam Indonesia. Mereka tidak hanya
fasih berbicara bahasa Arab atau Persia tentang wajibnya perdamaian sesama
Muslim—Sunni dan Syiah—tetapi juga memiliki jaringan luas dengan ulama dan
tokoh Arab Saudi dan Iran. Hanya dengan begitu kita bisa lebih optimistis
dengan upaya mediasi Indonesia guna terciptanya dunia lebih aman dan
tenteram. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar