Rabu, 13 Januari 2016

Indonesia dan Mediasi Konflik Arab Saudi-Iran

Indonesia dan Mediasi Konflik Arab Saudi-Iran

Azyumardi Azra  ;   Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;  Mantan Anggota Dewan Penasihat UNDEF, New York, dan International IDEA, Stockholm
                                                       KOMPAS, 12 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk memainkan peran mediasi—mencoba menengahi Arab Saudi dan Iran dalam konflik yang terus memanas. Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Selasa (12/1) ini, untuk menyampaikan surat khusus kepada Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Presiden Iran Hassan Rouhani.

Presiden Jokowi menyatakan, pengiriman utusan khusus (special envoy) menunjukkan keseriusan Indonesia membantu meredakan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran. Apakah upaya mediasi itu berhasil atau gagal, jelas banyak faktor yang membuat konflik Arab Saudi-Iran tak mudah diselesaikan. Yang pasti, pengambilan inisiatif untuk memediasi konflik yang kian memuncak di antara kedua negara merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan Indonesia.

Selama setahun lebih pemerintahan Jokowi-Kalla, banyak kalangan diplomatik dan pengamat politik luar negeri mengkhawatirkan kecenderungan surutnya aktivisme dan peran Indonesia di kancah politik internasional. Indonesia di bawah pemerintah sekarang mereka nilai cenderung bersikap lebih berorientasi ke dalam (inward looking), tidak lagi banyak melihat ke luar (outward looking) dengan memprioritaskan keterlibatan dan peran Indonesia ikut membangun tatanan internasional lebih damai dan lebih adil.

Menlu Retno membantah assessment itu. Ia menyatakan, kebijakan luar negeri Indonesia kini bisa disebut pro-people foreign policy—memprioritaskan perlindungan bagi WNI yang bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Retno membantah kebijakan ini dimotivasi narrow nationalism atau selfserving interest—nasionalisme sempit guna melayani diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan internasional lebih luas. Indonesia tetap asertif dalam politik luar negerinya.

Pada saat sama, perhatian dan energi Presiden Jokowi terfokus pada konsolidasi pemerintah agar dapat mempercepat pembangunan. Namun, kontestasi dan kegaduhan politik yang terus berlanjut menyisakan hanya sedikit ruang bagi Presiden untuk juga meningkatkan peran Indonesia di kancah internasional.

Penilaian atas kecenderungan pribadi Presiden Jokowi itu, misalnya, dikemukakan Lowy Institute for International Policy, lembaga think tank Australia. Sejak masa awal pemerintahan Presiden Jokowi, Lowy Institute dalam analisis tulisan Aaron L Connelly (Oktober 2014) menyatakan, Jokowi tidak memiliki visi kuat dan solid tentang tempat dan posisi Indonesia di kancah internasional. Jokowi juga tidak memiliki semangat khusus yang bernyala-nyala (passion) dalam soal ini.

Dalam konteks itu, keputusan Presiden Jokowi mengirim utusan khusus dalam upaya meredakan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran—”musuh bebuyutan” sejak awal dasawarsa 1980-an—patut mendapat apresiasi dan dukungan. Kebijakan ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia—dalam istilah hubungan internasional—to punch its weight, ”memukul”, atau memainkan peran sesuai dengan bobotnya (yang besar).

Indonesia memang belum menjadi negara adidaya sekelas Amerika Serikat atau kini juga Tiongkok. Namun, Indonesia bersama Jepang, Korea Selatan, dan India telah diakui banyak negara lain dan para analis sebagai middle power, kekuatan menengah, yang memiliki peran penting sebagai ”pengimbang” di tengah persaingan kian meningkat di antara AS beserta sekutunya dan Tiongkok (dan Rusia) bersama negara pendukungnya (Melissen & Sohn, eds, Understanding Public Diplomacy in East Asia: Middle Powers in a Troubled Region, 2015).

Tidak kurang pentingnya, negara kekuatan menengah memiliki posisi strategis sebagai kekuatan penengah atau mediator konflik yang terjadi di antara negara-negara tertentu di tingkat regional, apakah di kawasan Asia Pasifik, Asia Selatan, ataupun di Timur Tengah—seperti kini tengah membara antara Arab Saudi dan Iran.

Sejauh menyangkut konflik Arab Saudi versus Iran, Indonesia sebagai middle power memiliki ”keunggulan” dan leverage (daya tekan) lebih dibandingkan kekuatan adidaya semacam AS atau Uni Eropa atau Tiongkok atau negara kekuatan menengah lain.

Sebaliknya, Indonesia lebih bisa diterima bagi kedua pihak bertikai karena sejumlah alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara netral yang berhubungan baik dengan Arab Saudi dan Iran sekaligus. Namun, Indonesia tidak memiliki kepentingan geostrategis dan politis di kawasan Timur Tengah yang terus bergolak. Kedua, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan sekaligus negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Dengan tingkat akseptasi lebih besar, agar berhasil dalam mewujudkan peran mediasi internasional, Pemerintah Republik Indonesia perlu melibatkan banyak pihak dalam diplomasinya. Kemlu tetap menjadi lokus utama, tetapi perlu keterlibatan publik Indonesia lebih luas menggalang diplomasi publik menjadi total diplomacy.

Dalam konteks khas, upaya mediasi Indonesia meredakan konflik Arab Saudi-Iran memerlukan keterlibatan non-state actors, khususnya pemimpin dan tokoh Islam Indonesia. Mereka tidak hanya fasih berbicara bahasa Arab atau Persia tentang wajibnya perdamaian sesama Muslim—Sunni dan Syiah—tetapi juga memiliki jaringan luas dengan ulama dan tokoh Arab Saudi dan Iran. Hanya dengan begitu kita bisa lebih optimistis dengan upaya mediasi Indonesia guna terciptanya dunia lebih aman dan tenteram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar