Rabu, 13 Januari 2016

Sengketa LTS dan Posisi Tiongkok

Sengketa LTS dan Posisi Tiongkok

Xu Bu  ;   Wakil Duta Besar Tiongkok untuk ASEAN
                                                       KOMPAS, 12 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam sebuah artikel baru-baru ini, seorang akademisi Indonesia menyebutkan bahwa Tiongkok sedang melakukan apa yang disebut sebagai ”Kolonialisasi Maritim” di Asia. Komentar ini tidak sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, saya berkepentingan untuk menjelaskan masalah ini kepada publik guna menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Sejarah modern menyaksikan bagaimana kolonialisme telah menimbulkan kesengsaraan dan malapetaka di Tiongkok dan Asia Tenggara. Sebuah pepatah Tiongkok mengatakan, ”Jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang tidak ingin kamu lakukan terhadap dirimu sendiri”. Bangsa-bangsa yang menderita karena penghinaan dan siksaan akibat kolonialisme tentunya sangat memahami betapa berharganya kedaulatan, kemerdekaan, dan perdamaian.

Kebenaran isu LTS

Pemerintah Tiongkok secara tegas dan konsisten menentang kolonialisme dan hegemonisme dalam hubungan internasional serta menjaga tatanan internasional pasca Perang Dunia II (PD II) dan perdamaian dunia. Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah Tiongkok terhadap Laut Tiongkok Selatan (LTS) juga menunjukkan semangat yang sama, yaitu menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan dan menyelesaikan masalah melalui negosiasi dan perundingan. Posisi Tiongkok ini telah teruji sepanjang sejarah.

Meskipun beberapa negara di dalam atau di luar kawasan berupaya untuk menyesatkan opini publik, kebenaran tentang isu Laut Tiongkok Selatan tidak dapat dikaburkan. Tiongkok adalah negara yang pertama kali menemukan, memberi nama, mengelola, dan mengembangkan Kepulauan Spratly, dan Tiongkok jugalah yang pertama kali dan secara konsisten menjaga kedaulatan di kepulauan tersebut.

Selama PD II, beberapa kepulauan di Laut Tiongkok Selatan dikuasai oleh Jepang secara ilegal. Namun, berdasarkan dokumen-dokumen internasional pada masa PD II, seperti Deklarasi Kairo dan Proklamasi Postdam, Jepang harus mengembalikan semua wilayah yang dicurinya kepada Tiongkok tanpa syarat. Setelah PD II, Tiongkok kembali menguasai pulau-pulau tersebut dan melaksanakan kedaulatannya. Sampai tahun 1960-an, tidak ada satu negara pun yang mengajukan keberatan terhadap kedaulatan Tiongkok di Kepulauan Spratly.

Namun, sebuah laporan dari United Nations Economic Commission for Asia and the Far East (ECAFE) atau Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Asia Timur pada 1968 telah mendorong beberapa negara di kawasan Laut Tiongkok Selatan untuk mulai melirik kekayaan minyak dan gas di kawasan ini, dan selanjutnya menjejakkan kaki mereka di pulau-pulau dan karang-karang di sekitar laut tersebut secara ilegal.

Demi menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok telah berupaya menahan diri. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya Tiongkok-lah yang menjadi korban yang paling menderita dari isu Laut Tiongkok Selatan. Bagi kami, sejarah yang disebutkan di atas masih segar dalam ingatan.

Selama lebih dari satu tahun belakangan ini, Tiongkok telah melakukan pembangunan di wilayahnya, termasuk juga di Kepulauan Spratly dan karang-karang di sekitarnya. Kenyataannya, beberapa negara tidak pernah berhenti melakukan aktivitas pembangunan di kepulauan dan karang-karang yang direbut secara ilegal dari Tiongkok. Tiongkok adalah negara terakhir yang melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan karang- karangnya, yang merupakan bagian wilayah dari negaranya. Pembangunan yang dilakukan Tiongkok terkait dengan pengadaan pelayanan sipil dan penyediaan kebutuhan barang-barang publik.

Setelah melakukan berbagai pembangunan fasilitas, kapal-kapal yang berlayar di Laut Tiongkok Selatan akan menikmati fasilitas pelayanan yang lebih baik, upaya pencarian dan penyelamatan akan didukung dengan fasilitas yang lebih memadai dan penelitian ilmiah, serta kerja sama perlindungan lingkungan laut akan lebih dapat diandalkan. Selain itu, aktivitas pembangunan Tiongkok di kepulauan dan karang-karang tersebut tidak akan memengaruhi negara lain atau menjadikan negara lain sebagai sasaran, tidak akan berpengaruh terhadap kebebasan berlayar atau terbang di atas Laut Tiongkok Selatan, dan tidak akan merusak ekosistem laut, apalagi menimbulkan militerisasi.

Tidak benar jika dikatakan bahwa Tiongkok telah mengendalikan jalur strategis di Laut Tiongkok Selatan. Pada 600 tahun yang lalu, pelaut Tiongkok yang terkenal, Zheng Ho (dikenal juga sebagai Cheng Ho), berlayar hingga ke Asia Tenggara dan Samudra Hindia untuk melakukan pertukaran persahabatan dan perdagangan yang adil. Hari ini, 40 persen dari komoditas perdagangan Tiongkok dan 80 persen impor energinya dibawa melalui Laut Tiongkok Selatan. Dalam hal ini, Tiongkok tidak saja diuntungkan, tetapi juga dengan sungguh-sungguh menjaga kebebasan dan keamanan pelayaran di Laut Tiongkok Selatan.

Tiongkok selalu menghormati serta menjaga kebebasan negara-negara di dunia untuk berlayar dan terbang di atas wilayah Laut Tiongkok Selatan sesuai dengan hukum internasional. Atas upaya bersama antara Pemerintah Tiongkok dan negara-negara ASEAN, jalur pelayaran internasional di Laut Tiongkok Selatan dapat dengan leluasa digunakan, bahkan semakin berkembang dengan adanya perdagangan yang memberikan keuntungan bagi negara-negara terkait.

Namun, beberapa negara di luar kawasan sering kali mengaburkan prinsip kebebasan berlayar sehingga mengirimkan kapal-kapal dan pesawat-pesawat militer mendekati, bahkan memasuki wilayah perairan dan udara yang berdekatan dengan Kepulauan Spratly dan karang-karangnya hanya untuk menunjukkan kekuatan militernya. Tiongkok secara tegas menentang aksi yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan Tiongkok, persekongkolan untuk melakukan upaya militerisasi di Laut Tiongkok Selatan, dan aksi-aksi yang membahayakan perdamaian serta stabilitas di kawasan.

Perundingan COC

Tiongkok berkomitmen untuk menjadi pembela perdamaian di Laut Tiongkok Selatan dan secara aktif berupaya meningkatkan kerja sama regional. Selama bertahun-tahun, Tiongkok telah berdedikasi untuk bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk menerapkan Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea (DOC) secara penuh dan efektif. Pada tahun 2013, semua negara pihak telah memulai perundingan Code of Conduct (COC) atau ”Tata Perilaku” di Laut Tiongkok Selatan di bawah kerangka DOC. Dua tahun belakangan ini, kita telah menyaksikan kemajuan yang signifikan dari berbagai perundingan yang dilakukan, termasuk dengan mengeluarkan dokumen-dokumen kesepakatan dan menjaga hasil laut secara bersama-sama.

Pada Oktober 2015, Tiongkok dan negara-negara ASEAN menyatakan bahwa perundingan COC telah memasuki tahap untuk mendiskusikan isu-isu yang krusial dan kompleks. Pada saat yang sama, semua pihak setuju terhadap usulan Pemerintah Tiongkok untuk menyusun Upaya-upaya Pencegahan dalam Mengelola Risiko di Laut, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya situasi di luar kendali atau kecelakaan di laut sebelum COC dilaksanakan.

Fakta-fakta membuktikan bahwa Pemerintah Tiongkok selalu berupaya untuk menyelesaikan persengketaan melalui negosiasi dan perundingan secara damai, dan Tiongkok dengan tulus mengesampingkan persengketaan demi pembangunan bersama.

Namun, beberapa negara di kawasan menentang prinsip yang tertera dalam DOC untuk menyelesaikan isu Laut Tiongkok Selatan melalui negosiasi dan perundingan damai, dan secara sepihak memilih menggunakan arbitrase internasional hanya untuk membuat situasi di Laut Tiongkok Selatan menjadi lebih sulit.

Arbitrase semacam ini, meski dikemas dengan cara apa pun, tidak dapat menyembunyikan esensinya, yaitu provokasi politik. Posisi Pemerintah Tiongkok untuk tidak menerima ataupun berpartisipasi dalam arbitrase itu adalah sebuah upaya untuk melindungi hak dan kepentingan nasional negara kami, sekaligus upaya penegakan hukum.

Pada tahun 2015, bersama-sama dengan lebih dari 30 negara Asia dan Afrika, Tiongkok menghadiri berbagai aktivitas yang dilakukan untuk memperingati Perayaan 60 Tahun Konferensi Bandung (dikenal juga dengan Konferensi Asia Afrika tahun 1955). Hasil konferensi yang dikenal sebagai Semangat Bandung dan Sepuluh Prinsip dalam Hubungan Internasional itu telah menjadi prinsip-prinsip yang mengusung jenis hubungan internasional yang baru.

Tiongkok selalu mendukung Semangat Bandung yang mengedepankan persatuan, persahabatan, dan kerja sama dengan negara-negara termasuk Indonesia dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan dan di kawasan kita.

Dalam waktu dekat, Tiongkok juga akan melaksanakan inisiatif untuk bersama-sama membangun Jalur Sutra Laut Abad Ke-21 untuk meningkatkan pembangunan dan kemakmuran di Laut Tiongkok Selatan. Saya yakin, upaya bersama antara Tiongkok dan Indonesia akan mendorong penyelesaian isu Laut Tiongkok Selatan dengan cara yang tepat. Dengan upaya bersama dari negara-negara di kawasan, mimpi kita bersama untuk mewujudkan Laut Tiongkok Selatan yang damai, bersahabat, dan makmur akan jadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar