Sengketa LTS dan Posisi Tiongkok
Xu Bu ;
Wakil Duta Besar Tiongkok untuk ASEAN
|
KOMPAS,
12 Januari 2016
Dalam sebuah artikel baru-baru ini, seorang akademisi Indonesia
menyebutkan bahwa Tiongkok sedang melakukan apa yang disebut sebagai ”Kolonialisasi Maritim” di Asia. Komentar
ini tidak sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, saya berkepentingan untuk
menjelaskan masalah ini kepada publik guna menghindari kesalahpahaman yang
mungkin terjadi di masa mendatang.
Sejarah modern menyaksikan bagaimana kolonialisme telah
menimbulkan kesengsaraan dan malapetaka di Tiongkok dan Asia Tenggara. Sebuah
pepatah Tiongkok mengatakan, ”Jangan
lakukan kepada orang lain sesuatu yang tidak ingin kamu lakukan terhadap
dirimu sendiri”. Bangsa-bangsa yang menderita karena penghinaan dan
siksaan akibat kolonialisme tentunya sangat memahami betapa berharganya
kedaulatan, kemerdekaan, dan perdamaian.
Kebenaran isu
LTS
Pemerintah Tiongkok secara tegas dan konsisten menentang
kolonialisme dan hegemonisme dalam hubungan internasional serta menjaga
tatanan internasional pasca Perang Dunia II (PD II) dan perdamaian dunia.
Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah Tiongkok terhadap Laut Tiongkok Selatan
(LTS) juga menunjukkan semangat yang sama, yaitu menjaga perdamaian dan
stabilitas di Laut Tiongkok Selatan dan menyelesaikan masalah melalui
negosiasi dan perundingan. Posisi Tiongkok ini telah teruji sepanjang
sejarah.
Meskipun beberapa negara di dalam atau di luar kawasan berupaya
untuk menyesatkan opini publik, kebenaran tentang isu Laut Tiongkok Selatan
tidak dapat dikaburkan. Tiongkok adalah negara yang pertama kali menemukan,
memberi nama, mengelola, dan mengembangkan Kepulauan Spratly, dan Tiongkok
jugalah yang pertama kali dan secara konsisten menjaga kedaulatan di
kepulauan tersebut.
Selama PD II, beberapa kepulauan di Laut Tiongkok Selatan
dikuasai oleh Jepang secara ilegal. Namun, berdasarkan dokumen-dokumen
internasional pada masa PD II, seperti Deklarasi Kairo dan Proklamasi
Postdam, Jepang harus mengembalikan semua wilayah yang dicurinya kepada
Tiongkok tanpa syarat. Setelah PD II, Tiongkok kembali menguasai pulau-pulau
tersebut dan melaksanakan kedaulatannya. Sampai tahun 1960-an, tidak ada satu
negara pun yang mengajukan keberatan terhadap kedaulatan Tiongkok di
Kepulauan Spratly.
Namun, sebuah laporan dari United
Nations Economic Commission for Asia and the Far East (ECAFE) atau Komisi
Ekonomi PBB untuk Asia dan Asia Timur pada 1968 telah mendorong beberapa
negara di kawasan Laut Tiongkok Selatan untuk mulai melirik kekayaan minyak
dan gas di kawasan ini, dan selanjutnya menjejakkan kaki mereka di
pulau-pulau dan karang-karang di sekitar laut tersebut secara ilegal.
Demi menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan,
Tiongkok telah berupaya menahan diri. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
sesungguhnya Tiongkok-lah yang menjadi korban yang paling menderita dari isu
Laut Tiongkok Selatan. Bagi kami, sejarah yang disebutkan di atas masih segar
dalam ingatan.
Selama lebih dari satu tahun belakangan ini, Tiongkok telah
melakukan pembangunan di wilayahnya, termasuk juga di Kepulauan Spratly dan
karang-karang di sekitarnya. Kenyataannya, beberapa negara tidak pernah
berhenti melakukan aktivitas pembangunan di kepulauan dan karang-karang yang
direbut secara ilegal dari Tiongkok. Tiongkok adalah negara terakhir yang
melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan karang- karangnya, yang
merupakan bagian wilayah dari negaranya. Pembangunan yang dilakukan Tiongkok
terkait dengan pengadaan pelayanan sipil dan penyediaan kebutuhan
barang-barang publik.
Setelah melakukan berbagai pembangunan fasilitas, kapal-kapal
yang berlayar di Laut Tiongkok Selatan akan menikmati fasilitas pelayanan
yang lebih baik, upaya pencarian dan penyelamatan akan didukung dengan
fasilitas yang lebih memadai dan penelitian ilmiah, serta kerja sama
perlindungan lingkungan laut akan lebih dapat diandalkan. Selain itu,
aktivitas pembangunan Tiongkok di kepulauan dan karang-karang tersebut tidak
akan memengaruhi negara lain atau menjadikan negara lain sebagai sasaran,
tidak akan berpengaruh terhadap kebebasan berlayar atau terbang di atas Laut
Tiongkok Selatan, dan tidak akan merusak ekosistem laut, apalagi menimbulkan
militerisasi.
Tidak benar jika dikatakan bahwa Tiongkok telah mengendalikan
jalur strategis di Laut Tiongkok Selatan. Pada 600 tahun yang lalu, pelaut
Tiongkok yang terkenal, Zheng Ho (dikenal juga sebagai Cheng Ho), berlayar
hingga ke Asia Tenggara dan Samudra Hindia untuk melakukan pertukaran
persahabatan dan perdagangan yang adil. Hari ini, 40 persen dari komoditas
perdagangan Tiongkok dan 80 persen impor energinya dibawa melalui Laut
Tiongkok Selatan. Dalam hal ini, Tiongkok tidak saja diuntungkan, tetapi juga
dengan sungguh-sungguh menjaga kebebasan dan keamanan pelayaran di Laut
Tiongkok Selatan.
Tiongkok selalu menghormati serta menjaga kebebasan
negara-negara di dunia untuk berlayar dan terbang di atas wilayah Laut
Tiongkok Selatan sesuai dengan hukum internasional. Atas upaya bersama antara
Pemerintah Tiongkok dan negara-negara ASEAN, jalur pelayaran internasional di
Laut Tiongkok Selatan dapat dengan leluasa digunakan, bahkan semakin
berkembang dengan adanya perdagangan yang memberikan keuntungan bagi
negara-negara terkait.
Namun, beberapa negara di luar kawasan sering kali mengaburkan
prinsip kebebasan berlayar sehingga mengirimkan kapal-kapal dan
pesawat-pesawat militer mendekati, bahkan memasuki wilayah perairan dan udara
yang berdekatan dengan Kepulauan Spratly dan karang-karangnya hanya untuk
menunjukkan kekuatan militernya. Tiongkok secara tegas menentang aksi yang
dapat menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan Tiongkok,
persekongkolan untuk melakukan upaya militerisasi di Laut Tiongkok Selatan,
dan aksi-aksi yang membahayakan perdamaian serta stabilitas di kawasan.
Perundingan
COC
Tiongkok berkomitmen untuk menjadi pembela perdamaian di Laut
Tiongkok Selatan dan secara aktif berupaya meningkatkan kerja sama regional.
Selama bertahun-tahun, Tiongkok telah berdedikasi untuk bekerja sama dengan
negara-negara ASEAN untuk menerapkan Declaration
on the Conduct of Parties in South China Sea (DOC) secara penuh dan efektif.
Pada tahun 2013, semua negara pihak telah memulai perundingan Code of Conduct (COC) atau ”Tata
Perilaku” di Laut Tiongkok Selatan di bawah kerangka DOC. Dua tahun belakangan
ini, kita telah menyaksikan kemajuan yang signifikan dari berbagai
perundingan yang dilakukan, termasuk dengan mengeluarkan dokumen-dokumen
kesepakatan dan menjaga hasil laut secara bersama-sama.
Pada Oktober 2015, Tiongkok dan negara-negara ASEAN menyatakan
bahwa perundingan COC telah memasuki tahap untuk mendiskusikan isu-isu yang
krusial dan kompleks. Pada saat yang sama, semua pihak setuju terhadap usulan
Pemerintah Tiongkok untuk menyusun Upaya-upaya Pencegahan dalam Mengelola
Risiko di Laut, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya situasi di luar
kendali atau kecelakaan di laut sebelum COC dilaksanakan.
Fakta-fakta membuktikan bahwa Pemerintah Tiongkok selalu
berupaya untuk menyelesaikan persengketaan melalui negosiasi dan perundingan
secara damai, dan Tiongkok dengan tulus mengesampingkan persengketaan demi
pembangunan bersama.
Namun, beberapa negara di kawasan menentang prinsip yang tertera
dalam DOC untuk menyelesaikan isu Laut Tiongkok Selatan melalui negosiasi dan
perundingan damai, dan secara sepihak memilih menggunakan arbitrase
internasional hanya untuk membuat situasi di Laut Tiongkok Selatan menjadi
lebih sulit.
Arbitrase semacam ini, meski dikemas dengan cara apa pun, tidak
dapat menyembunyikan esensinya, yaitu provokasi politik. Posisi Pemerintah
Tiongkok untuk tidak menerima ataupun berpartisipasi dalam arbitrase itu
adalah sebuah upaya untuk melindungi hak dan kepentingan nasional negara
kami, sekaligus upaya penegakan hukum.
Pada tahun 2015, bersama-sama dengan lebih dari 30 negara Asia
dan Afrika, Tiongkok menghadiri berbagai aktivitas yang dilakukan untuk
memperingati Perayaan 60 Tahun Konferensi Bandung (dikenal juga dengan
Konferensi Asia Afrika tahun 1955). Hasil konferensi yang dikenal sebagai
Semangat Bandung dan Sepuluh Prinsip dalam Hubungan Internasional itu telah
menjadi prinsip-prinsip yang mengusung jenis hubungan internasional yang
baru.
Tiongkok selalu mendukung Semangat Bandung yang mengedepankan
persatuan, persahabatan, dan kerja sama dengan negara-negara termasuk Indonesia
dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan dan di
kawasan kita.
Dalam waktu dekat, Tiongkok juga akan melaksanakan inisiatif
untuk bersama-sama membangun Jalur Sutra Laut Abad Ke-21 untuk meningkatkan
pembangunan dan kemakmuran di Laut Tiongkok Selatan. Saya yakin, upaya
bersama antara Tiongkok dan Indonesia akan mendorong penyelesaian isu Laut
Tiongkok Selatan dengan cara yang tepat. Dengan upaya bersama dari
negara-negara di kawasan, mimpi kita bersama untuk mewujudkan Laut Tiongkok
Selatan yang damai, bersahabat, dan makmur akan jadi kenyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar