Kamis, 07 Januari 2016

Politik Digital dan Kelas Menengah

Politik Digital dan Kelas Menengah

Wasisto Raharjo Jati  ;  Peneliti di Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                       KOMPAS, 07 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Keberadaan petisi online kini mendapatkan tempat penting dalam artikulasi pendapat dan protes yang disampaikan oleh kelas menengah Indonesia.
Berbagai isu politik yang menghangat-seperti halnya kasus Freeport ataupun Mahkamah Kehormatan Dewan alias MKD-kini menjadi pembahasan penting dalam dunia maya, bagaimana masalah tersebut segera disudahi.  Platform digital seperti Change.org menjadi media penting bagi kelas menengah Indonesia untuk mengartikulasikan kepentingannya.

Dalam kasus MKD, misalnya, kini tercatat sudah mencapai 42.906 dukungan dari 50.000 yang dibutuhkan. Sementara untuk kasus Freeport sendiri, jumlah 616 dukungan dari 1.000 dukungan yang diperlukan.

Besarnya dukungan dan atensi publik dalam petisi online tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia sudah berkembang menjadi kelas politik.  Mereka mampu untuk jadi kelompok kepentingan yang besar seperti dalam kasus "relawan" pada Pemilu 2014. Namun, apakah kesadaran politik tersebut akan terus kontinu?

Kesadaran politik kelas menengah Indonesia sebenarnya masih fluktuatif, bergantung seberapa besar isu itu disokong oleh media sehingga menjadi masalah bersama. Selain bergantung pada media, kesadaran politik itu juga bergantung seberapa intens isu dibicarakan dan kemudian menyinggung kepentingan mereka sehingga berkembang menjadi gerakan moral.

Keberadaan petisi online memang banyak membantu untuk memprovokasi dan mendorong publik bertindak kritis. Namun, yang lebih penting bagaimana menerjemahkan dukungan petisi online itu jadi gerakan politik yang padu.

Sepanjang 2013-2014 tercatat sembilan petisi online dari kelas menengah Indonesia, mulai dari kasus Daming Sunusi calon hakim agung, diskriminasi pelayanan disabilitas,  kawasan hutan lindung,  kawasan konservasi air, hingga perlindungan cagar budaya.  Semua petisi tersebut menarik dukungan publik hingga 5.000 tanda tangan sehingga mampu menekan pemerintah dan swasta untuk tunduk pada kehendak publik.

Dalam penarikan dukungan publik tersebut, ada dua butir penting yang perlu dilihat untuk membangkitkan kesadaran politik kelas menengah Indonesia melalui media digital. Pertama, seberapa jauh isu itu dipandang secara multikompleks. Hal itu penting mengingat satu isu sendiri bisa dipandang dalam berbagai sudut pandang oleh publik. Karakteristik mendasar pengetahuan politik publik Indonesia adalah seberapa kesamaan pandangan yang mereka miliki dan kemudian jadi ikatan bersama.

Kedua, seberapa mendesak isu itu untuk segera ditindaklanjuti oleh publik dengan melakukan aksi advokasi. Korupsi sudah menjadi kata kunci umum yang digunakan untuk memprovokasi publik untuk bangkit dan membentuk gerakan. Namun, tren sekarang ini, publik cenderung mengangkat isu moralitas sebagai kata kunci penting untuk perubahan.

Mereka menilai bahwa terjadinya korupsi, penyalahgunaan kewenangan, juga praktik culas lainnya, lebih dikarenakan bobroknya moralitas dari kalangan elite. Potensi kelas menengah Indonesia sebagai netizen aktif yang kini sudah mencapai 72,7 persen adalah kekuatan politik ekstra parlementer yang cukup untuk melakukan perubahan sosial politik.

Adapun munculnya kasus relawan pada Pemilu 2014, juga Gerakan 1 Juta Pendukung Bibit-Hamzah pada 2011, adalah contoh bentuk gerakan moral kelas menengah Indonesia berkat kampanye digital politik. Dua contoh tersebut mengindikasikan bahwa moral merupakan soal utama dalam permasalahan negara dan bangsa selama ini. Keberadaan petisi online kini menjadi jembatan penting dalam membangkitkan nalar kewarasan publik untuk tetap menjadi pengawas jalannya pemerintahan agar sesuai dengan kaidah konstitusi.

Meskipun kini prospek digital politik tengah mengalami euforia di mana petisi mampu jadi alat penekan utama bagi pemerintah maupun swasta, hal terpenting adalah bagaimana menjaga posisi keajekan kesadaran politik tersebut.  Transisi apolitik menjadi politik masih sangat tinggi di kalangan kelas menengah Indonesia.

Aktivisme klik (clicktivism) belum tentu jadi kekuatan politik yang berpengaruh kalau tidak didukung oleh para penyokongnya yang cukup kuat di akar rumput.  Kekuatan isu dan figuritas menjadi isu penting yang patut dikedepankan oleh aktivisme politik digital di Indonesia untuk menjaga kesadaran politik.

Selain dua isu tersebut, hal penting lain yang perlu dilihat adalah saluran-saluran gerakan yang ingin dibentuk. Menerjemahkan isu gerakan politik di dunia maya untuk jadi kenyataan di dunia nyata bukan perkara mudah. Selain dikarenakan kejengahan publik terhadap sesama, hal lain yang perlu diwaspadai adalah rezim sensor internet negara melalui Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keberadaan UU itu menjadi lawan penting bagi pelaku aktivitas politik online karena substansi dalam aturan tersebut bisa dipolitisasi oleh aparat untuk memberangus gerakan politik masyarakat.

Berbagai hal itulah yang jadi tantangan terbesar dalam prospek politik digital dalam kelas menengah Indonesia. Dalam satu sisi, keberadaan platform politik digital mampu untuk membangkitkan kesadaran politik publik. Namun, di sisi lain, belum tentu publik untuk terjun dalam gerakan yang padu.

Oleh karena itu, aktivisme politik digital perlu untuk dikuatkan dan disemai mengingat platform digital akan menjadi pilar utama demokrasi masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar