Pesimisme
Menuju Asian Games 2018
Sumohadi Marsis ; Pengamat olahraga
|
KOMPAS,
07 Januari 2016
Wakil Presiden Jusuf
Kalla sudah memberikan peringatan yang jelas serta tegas kepada para pembina
dan pelaku olahraga Indonesia berkaitan dengan penyelenggaraan Asian Games
2018 di Jakarta dan Palembang.
Ketika hadir dan
menyampaikan sambutan pada acara peluncuran logo dan maskot Asian Games (AG)
2018 di Senayan, Minggu 27 Desember 2015 lalu, Wapres mengatakan, Indonesia
jangan hanya sukses sebagai tuan rumah penyelenggara, tapi juga pada prestasi
atletnya.
Ia bahkan mengaitkan
logo dan maskot yang berbasis burung langka cenderawasih dari Papua itu
dengan prestasi yang akan diraih atlet-atlet Indonesia nanti. "Tapi
tentu medalinya jangan jarang," katanya (Kompas, 28 Desember).
Sebagai bagian dari
rakyat Indonesia yang selalu mendambakan kemajuan dan peningkatan prestasi
dalam berbagai aspek kehidupan, tentu saja kita semua sangat setuju dengan
pernyataan Wapres. Namun, dengan melihat berbagai persiapan yang kini sedang
dilaksanakan oleh sektor-sektor terkait, cukup alasan untuk kita bersikap
pesimistis.
Sebagai perbandingan
terdekat, Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan, telah digelar dengan
lancar, megah, dan modern, antara lain karena dipersiapkan selama tujuh tahun
penuh.
Mereka langsung
"tancap gas" menyiapkan diri begitu mengalahkan New Delhi (India)
pada pertarungan memperebutkan tuan rumah AG 2014 pada Sidang Dewan Olimpiade
Asia (OCA) 2007 di Kuwait.
Sementara itu,
Indonesia (dengan kandidat Surabaya) kalah bersaing melawan Hanoi (Vietnam)
pada pertarungan memperebutkan tuan rumah AG 2018 (yang sebenarnya akan
diundurkan menjadi AG 2019) dalam Sidang OCA 2012 di Makau. Dua tahun
kemudian, Vietnam mengundurkan diri, dan Indonesia (Jakarta dan Palembang)
diputuskan oleh OCA sebagai penggantinya.
Dengan demikian,
dibandingkan dengan Incheon, kita telah kehilangan masa persiapan selama tiga
tahun. Empat tahun yang tersisa untuk menyiapkan AG 2018 itu pun dihadapkan
dengan banyak masalah. Mulai dari soal administrasi "Host City
Contract", kisruh rencana pembangunan wisma atlet di Kemayoran, polemik
rencana renovasi kawasan Gelora Bung Karno karena DPR tidak dilibatkan,
sampai soal bagi-bagi arena pertandingan antara Jakarta dan Palembang.
Dengan begitu banyak
masalah di tengah sisa waktu yang makin menyusut, bagaimana bisa diharapkan
AG 2018 akan bisa terselenggara dengan baik? Bagaimana kita bisa menjadi tuan
rumah yang baik bagi seluruh kontingen dari 45 negara anggota OCA? Kriteria
tuan rumah yang baik, dalam hal ini tentu harus benar-benar menyiapkan arena
aman dan nyaman untuk bertanding.
Preseden buruk
Indonesia sebenarnya
malah beruntung karena akan menggelar pesta olahraga bagi bangsa-bangsa Asia
ini dalam hitungan "fengshui" yang menguntungkan: edisi ke-18, dan
akan berlangsung mulai tanggal 18-8-2018. Banyak angka 8 yang bermakna
"rezeki mengalir" maupun jumlah 9 yang berarti paling unggul, atau
sering menang.
Sekadar mengingatkan,
Tiongkok berjuang sangat gigih agar bisa menjadi tuan rumah Olimpiade 2008
karena mereka sudah menyiapkan deretan angka keberuntungan dengan
menyelenggarakan pesta olahraga dunia itu, mulai 8-18-2008. Percaya atau
tidak, Tiongkok terbukti berhasil menjadi tuan rumah yang hebat, sekaligus
meraup paling banyak medali emas untuk menjadi juara umum.
Sayangnya, kembali
dengan melihat persiapan yang tengah berlangsung, agaknya kita tidak boleh
terlalu optimistis. Bahkan, kita layak pesimistis terhadap urusan pembinaan
atlet untuk AG 2018. Titik tolak untuk membuat prediksi saja belum jelas.
Apakah kontingen kita ditargetkan meraih peringkat 5 besar, 10 besar, atau
cukup menjadi yang terbaik di antara sesama negara Asia Tenggara?
Yang bisa dipastikan
barulah bahwa kita jangan bermimpi bisa merebut peringkat kedua, hanya di
bawah juara umum Jepang, seperti ketika Jakarta menjadi tuan rumah AG 1962.
Bisa kembali meraup sebelas (atau "dua digit") medali emas pun
sudah sangat bagus.
Sambil menunggu
program dan sasaran pasti Satlak Prima, lembaga bentukan Kemenpora sejak 2010
yang belum pernah meraih hasil menggembirakan, kecuali menjadi juara umum SEA
Games 2011, ada satu pertanyaan yang sangat penting dan mengganjal: bagaimana
nasib sepak bola?
Mungkinkah sepak bola
Indonesia masih akan tetap seperti sekarang, antara ada dan tiada, antara
hidup dan mati, akibat PSSI sebagai induk organisasinya dibekukan Menpora
Imam Nahrawi, dan karena itu dihukum isolasi tanpa batas waktu oleh badan
sepak bola dunia FIFA?
Jika pembekuan PSSI
tidak dicabut oleh Menpora sampai FIFA bersidang pada akhir Februari, nasib
sepak bola dalam AG 2018 bisa dua rupa. Sepak bola bisa tetap dipertandingkan
tanpa tuan rumah Indonesia menjadi peserta, atau olahraga terpopuler di Asia
dan dunia ini akan dihapus dari AG 2018.
Dua-duanya akan menjadi
preseden buruk dalam sejarah Asian Games yang dimulai 1951 di New Delhi.
Tidak pernah ada tim tuan rumah tidak ambil bagian dalam pertandingan sepak
bola AG, dan belum pernah pula sepak bola tidak menjadi bagian dari program
AG.
Kalau itu yang terjadi,
Menpora Imam Nahrawi dan juga Presiden Joko Widodo yang merestui pembekuan
PSSI harus bersiap-siap untuk masuk dalam sejarah buruk Asian Games, dan
mungkin akan terus dihujat oleh komunitas sepak bola Indonesia, juga Asia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar