Kamis, 07 Januari 2016

Jihad Maskulin

Jihad Maskulin

Noor Huda Ismail  ;  Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
                                                       KOMPAS, 07 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hampir semua pelaku utama dan terduga pelaku tindak pidana terorisme, mulai dari Bom Bali 2002 hingga penangkapan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2015, adalah laki-laki. Akan tetapi, upaya menalarkan akar kekerasan ini sering kali melupakan salah satu aspek bahasan yang hilang, yaitu jender.

Oleh karena itu, saatnya kita bertanya: mengapa lelaki? Dan, diskursus kelelakian (maskulinitas) seperti apakah yang utama dalam kelompok ini sehingga mereka mampu mendaur ulang aktor kekerasan secara terus-menerus?

Salah satu aspek mendasar dalam bahasan jender adalah jenis kelamin berpengaruh dan boleh jadi mendominasi tafsir teks-teks keagamaan. Misalnya, ajaran tentang jihad sangatlah bermakna dan berdampak berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Laku jihad selalu terbentuk oleh nuansa makna yang spesifik dan dipraktikkan dalam konteks kesadaran masyarakat tertentu dan kultur yang diterima luas. Dalam kajian hermeneutik, misalnya, konsep jihad sering bertaut erat dengan kategori "lelaki unggul". Dengan kata lain, untuk mencapai posisi "lelaki unggul" itu, lelaki Muslim dituntut mampu berperang, lihai memainkan senjata, dan siap melakukan perebutan kekuasaan.

Pemahaman seperti ini yang dikembangkan dalam komunitas Jamaah Islamiyah (JI) dan sempalannya. Bahwa, seorang lelaki yang telah, sedang, dan mempersiapkan diri untuk berjihad di medan pertempuran itu-meminjam istilah Connel (2005)-punya posisi kelelakian yang lebih tinggi (hegemonic masculinity) dibandingkan yang hanya mengikuti kajian keagamaan saja (subordinate masculinity).

Mereka yang mengklaim menjadi "lelaki unggul" itu bahkan kemudian mengolok-olok kelompok yang enggan berjihad itu dengan istilah qoidun. Istilah dalam bahasa Arab yang berarti para lelaki yang bisanya hanya duduk-duduk saja.

Menggunakan simbol yang menonjolkan unsur kelelakian terlihat jelas dalam propaganda yang dikeluarkan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) melalui media sosial, utamanya di Youtube. Misalnya pilihan kalimat ketika mereka menjelaskan tentang kondisi peperangan dengan istilah: hadza ardhul rijal, ungkapan bahasa Arab yang berarti: ini adalah dunianya para lelaki. Kalimat ini membawa pesan tegas kepada penonton: "anda bukanlah lelaki tulen jika tidak berada di dunia ini".

Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa pesan menjadi lelaki tulen itu sangat mengena kepada lelaki umur 16 tahun-26 tahun, yang kemudian mendorong mereka bergabung dengan kelompok kekerasan, seperti NIIS. Michael Kimmel dalam bukunya Guyland: The Perilous World Where Boys Become Men (2008) menjelaskan tentang proses transisi seorang remaja menjadi lelaki dewasa dengan mewawancarai 400-an lelaki umur 16 tahun sampai 26 tahun di Amerika Serikat. Ia menemukan bahwa pada masa itulah kaum lelaki itu "galau" akan jati diri kelelakian mereka.

Dengan kerangka model Kimmel ini, mendapat olok-olok oleh teman menjadi "tidak lelaki" kalau tidak ikut bergabung dengan NIIS, meski hanya melalui media sosial, sangat menyakitkan. Karena tidak mendapatkan pengarahan atau macetnya komunikasi anak dengan orangtua atau derasnya paparan media sosial, mereka melakukan pembuktian diri sebagai lelaki dengan bergabung juga dengan NIIS.

Identitas tandingan

Ironisnya, nalar maskulin memang bercorak agresif. Tendensi agresif yang didorong oleh makna jihad inilah yang membuka pintu bagi aksi kekerasan yang dipayungi oleh klaim kebenaran. Jihad, dalam pemahaman ini, menawarkan wadah religius bagi ekspresi keberanian, kejantanan, dan harga diri.

Menjadi wajar jika kemudian Amerika Serikat, Yahudi, dan kapitalisme dimaknai bukan sekadar perwujudan ideologi thogut (liyan) kontemporer untuk dilawan, melainkan juga akumulasi kekuasaan dari identitas tandingan dan-secara lebih spesifik-diskursus maskulin tandingan. Oleh karena itu, jihad bukan hanya ajaran normatif membela agama, melainkan juga aksi historis perebutan kekuasaan yang secara religius dibenarkan.

Lalu di mana peran perempuan dan anak-anak?

Betul bahwa dalam perkembangan terakhir dari fenomena mobilisasi massa ke Suriah untuk bergabung ke NIIS ada tren yang menunjukkan keterlibatan kaum perempuan dan anak-anak. Ini sebuah fenomena baru yang tak terlihat pada pertengahan tahun 1980-an hingga 2000-an ketika terjadi mobilisasi aktivis Islam ke Afganistan dan Moro, Filipina Selatan, oleh Darul Islam (DI) dan JI. Tahun ini, Pemerintah Turki telah mendeportasi tidak kurang dari 187 WNI;  24 persen dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Terselip di antara mereka ini adalah seorang ibu asal Lamongan berinisial Ras (38) yang, dengan membawa tujuh anaknya, nekad hendak menyusul sang suami, AH (43), bekas aktivis Front Pembela Islam (FPI) Lamongan yang telah terlebih dahulu bergabung dengan NIIS.

Akan tetapi, dalam konteks ini, perempuan ditempatkan di barisan jauh di belakang, menjadi identitas subordinatyang menopang konstruksi maskulin yang mapan. Sedikit sekali dari mereka ini akan berpeluang menjadi pelaku utama, jauh dari arena sesungguhnya di mana jihad diwujudkan melalui ambisi kemenangan, kontak senjata, dan  syahid.

Maskulinitas ini bukan hanya proyek kaum lelaki, melainkan juga para perempuan. Misalnya di Palestina, seorang ibu justru akan bangga jika salah satu dari anak mereka itu syahid melawan kebiadaban tentara Israel. Di Indonesia, dari sekitar 52 WNI yang tewas ketika bergabung dengan NIIS, di antara mereka terdapat anak-anak dari alumni Afganistan, seperti anak Imam Samudera, pelaku Bom Bali 2002.

Mereka terseret dalam pusaran konflik di Suriah ini tidak lepas dari transmisi nilai dari pihak keluarga yang terdiri atas sosok bapak dan ibu. Lalu, apa yang kira-kira akan diajarkan kepada anak-anak oleh para istri yang gagal menyusul suami mereka bergabung dengan NIIS jika negara, tokoh agama, dan tokoh masyarakat abai terhadap nasib mereka sekarang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar