Dilema
Hukum Pilkada
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 09 Januari 2016
Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) 2015 secara umum telah
terlaksana dengan baik. Pilkada berlangsung tanpa kekerasan atau kegaduhan
yang berarti bahkan cenderung sepi sehingga ada yang mengatakannya tidak
seperti ”pesta demokrasi”.
Namun, situasi seperti itu adalah lebih baik daripada terkesan
ada pesta tetapi hanya menjadi hura-hura yang kontraproduktif. Penyelenggara
pilkada tahun 2015 patut diapreasisasi karena sudah mempersiapkan dan
melaksanakan pilkada, sampai pada penetapan hasil penghitungan suara oleh
KPU, dengan baik.
Tahapan pilkada memang belum sepenuhnya selesai karena masih ada
sengketa hasil pilkada yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK).
Benar yang saya kemukakan dulu bahwa berdasar pengalaman masa lalu gugatan
dari pihak yang kalah akan tetap membanjir. Dulu saya pernah memperkirakan
munculnya minimal 135 kasus masuk ke MK dari 269 pemilukada 2015.
Ternyata MK menerima 147 kasus yang diajukan dari 264 pemilukada
yang sudah dilakukan pemungutan suaranya setelah ada lima daerah yang
pemungutan suaranya ditunda. Tetapi membanjirnya kasus yang masuk ke MK itu
tampaknya akan dapat diselesaikan secara hukum dalam waktu yang tepat sesuai
dengan waktu yang tersedia, 45 hari.
Belajar dari pengalaman masa lalu, masalah sengketa pilkada 2015
sudah diantisipasi oleh pembentuk UU. Menurut Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015
sengketa hasil pilkada oleh MK hanya dilakukan terhadap kasus yang selisih
hasil penghitungan suaranya tidak lebih dari (maksimal) 2%. Dengan pembatasan
ini maka dari 147 kasus yang masuk ke MK, kabarnya, hanya akan ada sekitar 25
kasus yang pokok perkaranya bisa diperiksa. Itu pun cara pembuktiannya
relatif mudah, tinggal cross check
dokumen (misalnya formulir C.1) antar pihak kemudian, kalau perlu, dihitung
kembali di sidang MK. Selesailah. Pemenangnya bisa ditetapkan secara cepat
dan bisa segera dilantik.
Meskipun begitu bukan berarti semua masalah bisa dianggap
selesai, apalagi dianggap benar. Masih ada beberapa dilema hukum yang
mengganggu atau bisa menciderai demokrasi substansial sehingga perlu
dipikirkan untuk pilkada - pilkada yang akan datang.
Dengan adanya pembatasan maksimal selisih 2% dari hasil
penghitungan suara yang bisa diperiksa sebagai sengketa di MK maka bisa
terjadi, banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan di lapangan yang
selisihnya sengaja dilebihkan dari 2% sehingga tidak bisa lagi diadili di MK.
Ratna Sarumpaet dan kawan-kawan menemukan di daerah tertentu ada kecurangan
yang luar biasa sehingga calon tertentu menang secara mutlak, selisihnya jauh
di atas 2%.
Menurut Ratna pembatasan 2% itu justru membuka peluang
terjadinya kecurangan yang lebih serius sehingga pihak yang mau curang sudah
merancang agar bisa menang di atas 2%. Demi demokrasi substantial, menurut
Ratna, pembatalan hasil pilkada karena kecurangan atau pelanggaran yang
dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif masih perlu diberlakukan.
Kalau hanya menggunakan ukuran kuantitatif seperti 2%, menurut Ratna,
demokrasi bisa semakin rusak dan berlangsung formalitas-prosedural semata.
Ketentuan bahwa aparat pengawas pilkada harus serius mengawasi
dan pelanggaran pidana dan administrasi pemilukada harus diselesaikan sebelum
penetapan hasil suara dilakukan oleh KPU ternyata tidak bisa berjalan efektif
sehingga perusakan terhadap demokrasi subtatial tetap berlangsung. Tetapi
masalahnya memang tidak sesederhana itu.
Berdasar pengalaman, jika pengadilan membuka peluang untuk
menilai pelanggaran yang bersifat kualitatif dengan patokan terstruktur,
sistematis, dan masif maka banyak pihak yang kalah akan berperkara dan
mencaricari alasan yang sering tak masuk akal untuk menggugat keputusan KPU
yang sudah memenangkan salah satu pasangan calon dengan benar.
Mungkin untuk pemilukada 2015 solusi yang diberlakukan oleh UU
No. 8 Tahun 2015 yang menentukan batas selisih maksimal 2% bisa diberlakukan
karena aturan main tentang ini sudah ditetapkan sebelum pilkada dimulai.
Tetapi demi pembangunan demokrasi yang substantial dan bukan formal-prosedural
belaka maka untuk pemilukada-pemilukada yang akan datang perlu dicari solusi
baru.
Ada beberapa hal lain yang juga perlu diperbaiki dalam pilkada –
pilkada berikutnya, misalnya, tentang tampilnya pasangan calon tunggal. MK
sudah memberi solusi yang baik untuk tahun 2015 dengan membolehkan pilkada
yang hanya menampilkan pasangan calon tunggal.
Pembolehan pasangan calon tunggal itu baik tetapi menyembunyikan
masalah besar. Dengan pembolehan tampilnya pasangan calon tunggal bisa saja
pada pilkada mendatang ada ”orang kuat” yang memborong semua parpol dengan
harga tertentu agar mendukung dirinya atau pasangan calon tertentu untuk
tampil sebagai pasangan calon tunggal. Akan sangat berbahaya jika pemborong parpol-parpol
itu adalah koruptor. Dengan membeli
dukungan semua parpol atau sebagian terbesar parpol yang bisa menutup peluang
pasangan calon lain maka bisa muncul calon tunggal yang langsung menang.
Memang kemungkinan ini masih bisa dibantah dengan kemungkinan
munculnya pasangan calon perseorangan. Tetapi faktanya sangat sedikit
pasangan calon perseorangan yang bisa muncul.
Masih banyak dilema dan problema dalam hukum pilkada yang perlu
terus menerus dipikirkan untuk diperbaiki agar pada masa mendatang menjadi
lebih baik. Kita tak perlu merasa risih untuk selalu melakukan perbaikan
karena hukum pilkada kita memang masih berjalan dalam proses eksperimentasi
yang belum selesai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar