Selasa, 12 Januari 2016

Dilema Hukum Pilkada

Dilema Hukum Pilkada

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                                  KORAN SINDO, 09 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) 2015 secara umum telah terlaksana dengan baik. Pilkada berlangsung tanpa kekerasan atau kegaduhan yang berarti bahkan cenderung sepi sehingga ada yang mengatakannya tidak seperti ”pesta demokrasi”.

Namun, situasi seperti itu adalah lebih baik daripada terkesan ada pesta tetapi hanya menjadi hura-hura yang kontraproduktif. Penyelenggara pilkada tahun 2015 patut diapreasisasi karena sudah mempersiapkan dan melaksanakan pilkada, sampai pada penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU, dengan baik.

Tahapan pilkada memang belum sepenuhnya selesai karena masih ada sengketa hasil pilkada yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Benar yang saya kemukakan dulu bahwa berdasar pengalaman masa lalu gugatan dari pihak yang kalah akan tetap membanjir. Dulu saya pernah memperkirakan munculnya minimal 135 kasus masuk ke MK dari 269 pemilukada 2015.

Ternyata MK menerima 147 kasus yang diajukan dari 264 pemilukada yang sudah dilakukan pemungutan suaranya setelah ada lima daerah yang pemungutan suaranya ditunda. Tetapi membanjirnya kasus yang masuk ke MK itu tampaknya akan dapat diselesaikan secara hukum dalam waktu yang tepat sesuai dengan waktu yang tersedia, 45 hari.

Belajar dari pengalaman masa lalu, masalah sengketa pilkada 2015 sudah diantisipasi oleh pembentuk UU. Menurut Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 sengketa hasil pilkada oleh MK hanya dilakukan terhadap kasus yang selisih hasil penghitungan suaranya tidak lebih dari (maksimal) 2%. Dengan pembatasan ini maka dari 147 kasus yang masuk ke MK, kabarnya, hanya akan ada sekitar 25 kasus yang pokok perkaranya bisa diperiksa. Itu pun cara pembuktiannya relatif mudah, tinggal cross check dokumen (misalnya formulir C.1) antar pihak kemudian, kalau perlu, dihitung kembali di sidang MK. Selesailah. Pemenangnya bisa ditetapkan secara cepat dan bisa segera dilantik.

Meskipun begitu bukan berarti semua masalah bisa dianggap selesai, apalagi dianggap benar. Masih ada beberapa dilema hukum yang mengganggu atau bisa menciderai demokrasi substansial sehingga perlu dipikirkan untuk pilkada - pilkada yang akan datang.

Dengan adanya pembatasan maksimal selisih 2% dari hasil penghitungan suara yang bisa diperiksa sebagai sengketa di MK maka bisa terjadi, banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan di lapangan yang selisihnya sengaja dilebihkan dari 2% sehingga tidak bisa lagi diadili di MK. Ratna Sarumpaet dan kawan-kawan menemukan di daerah tertentu ada kecurangan yang luar biasa sehingga calon tertentu menang secara mutlak, selisihnya jauh di atas 2%.

Menurut Ratna pembatasan 2% itu justru membuka peluang terjadinya kecurangan yang lebih serius sehingga pihak yang mau curang sudah merancang agar bisa menang di atas 2%. Demi demokrasi substantial, menurut Ratna, pembatalan hasil pilkada karena kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif masih perlu diberlakukan. Kalau hanya menggunakan ukuran kuantitatif seperti 2%, menurut Ratna, demokrasi bisa semakin rusak dan berlangsung formalitas-prosedural semata.

Ketentuan bahwa aparat pengawas pilkada harus serius mengawasi dan pelanggaran pidana dan administrasi pemilukada harus diselesaikan sebelum penetapan hasil suara dilakukan oleh KPU ternyata tidak bisa berjalan efektif sehingga perusakan terhadap demokrasi subtatial tetap berlangsung. Tetapi masalahnya memang tidak sesederhana itu.

Berdasar pengalaman, jika pengadilan membuka peluang untuk menilai pelanggaran yang bersifat kualitatif dengan patokan terstruktur, sistematis, dan masif maka banyak pihak yang kalah akan berperkara dan mencaricari alasan yang sering tak masuk akal untuk menggugat keputusan KPU yang sudah memenangkan salah satu pasangan calon dengan benar.

Mungkin untuk pemilukada 2015 solusi yang diberlakukan oleh UU No. 8 Tahun 2015 yang menentukan batas selisih maksimal 2% bisa diberlakukan karena aturan main tentang ini sudah ditetapkan sebelum pilkada dimulai. Tetapi demi pembangunan demokrasi yang substantial dan bukan formal-prosedural belaka maka untuk pemilukada-pemilukada yang akan datang perlu dicari solusi baru.

Ada beberapa hal lain yang juga perlu diperbaiki dalam pilkada – pilkada berikutnya, misalnya, tentang tampilnya pasangan calon tunggal. MK sudah memberi solusi yang baik untuk tahun 2015 dengan membolehkan pilkada yang hanya menampilkan pasangan calon tunggal.

Pembolehan pasangan calon tunggal itu baik tetapi menyembunyikan masalah besar. Dengan pembolehan tampilnya pasangan calon tunggal bisa saja pada pilkada mendatang ada ”orang kuat” yang memborong semua parpol dengan harga tertentu agar mendukung dirinya atau pasangan calon tertentu untuk tampil sebagai pasangan calon tunggal. Akan sangat berbahaya jika pemborong parpol-parpol itu adalah koruptor.  Dengan membeli dukungan semua parpol atau sebagian terbesar parpol yang bisa menutup peluang pasangan calon lain maka bisa muncul calon tunggal yang langsung menang.
Memang kemungkinan ini masih bisa dibantah dengan kemungkinan munculnya pasangan calon perseorangan. Tetapi faktanya sangat sedikit pasangan calon perseorangan yang bisa muncul.

Masih banyak dilema dan problema dalam hukum pilkada yang perlu terus menerus dipikirkan untuk diperbaiki agar pada masa mendatang menjadi lebih baik. Kita tak perlu merasa risih untuk selalu melakukan perbaikan karena hukum pilkada kita memang masih berjalan dalam proses eksperimentasi yang belum selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar