Konflik
Klasik Wahabisme versus Syiisme
Faisal Ismail ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 09 Januari 2016
Dilihat dari perspektif kepenganutan paham keagamaan, dapat
dikatakan bahwa Arab Saudi merepresentasikan Wahabisme (Wahabiah), sedangkan
Iran merepresentasikan Syiisme (Syiah). Wahabisme (sebagai bagian atau unsur ahlussunnah waljamaah) adalah paham
keagamaan puritan yang dicetuskan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab (1703-1792).
Muhammad ibnu Abdul Wahab lahir di Najed (Arabia Tengah) dan pada tahun 1747
secara gencar melancarkan gerakan melakukan purifikasi ajaran Islam yang,
menurut dia, telah banyak bercampur aduk dengan praktik-praktik syirik dan
TBK (takhayul, bidah, dan khurafat ) yang berasal dari luar Islam. Dalam
pemikiran hukum Islam dan pemikiran teologi, Muhammad ibnu Abdul Wahab
mengadopsi fikih Hanbali dan teologi Ibnu Taimiah.
Dalam melancarkan gerakannya, kaum Wahabi menggunakan cara-cara
radikal dan tanpa kompromi. Di lain pihak, Syiisme adalah paham yang dianut
oleh sekelompok muslim yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib yang seharusnya
memegang kepemimpinan komunitas muslim setelah Nabi Muhammmad wafat (13 H/632
M).
Menurut kaum Syiah, Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu Nabi
Muhammad) yang berhak mewarisi kekhalifahan dan menggantikan kepemimpinan
Nabi Muhammad, bukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin
Affan. Kaum Syiah sangat mengidolakan Ali bin Abi Thalib (suami Fatimah/putri
Nabi Muhammad) dan anak keturunannya atau yang lazim disebut ahlul bait sebagai pemegang imamah .
Dalam pandangan Syiisme, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, dan Usman bin Affan adalah “penyerobot” (usurper) hak kekhalifahan yang seharusnya jatuh ke tangan Ali bin
Abi Thalib. Sebaliknya, kalangan Suni sepenuhnya mengakui keempatnya sebagai
khalifah yang sah dan legitimate,
yang benar-benar dipilih oleh umat Islam secara demokratis berdasarkan syura (permusyawaratan).
Sejarah mencatat fakta ini secara jelas dan terang benderang.
Perbedaan paham keagamaan dan visi politik inilah, antara lain, yang
mengakibatkan kaum Suni dan kaum Syiah terlibat konflik dan perseteruan
“abadi” baik di tingkat akar rumput maupun di level kenegaraan.
Dewasa ini perseteruan dan ketegangan antara Syiisme dan Sunisme
(lebih spesifik lagi: Wahabisme) pada level kenegaraan direpresentasikan oleh
Iran dan Arab Saudi. Gesekan-gesekan politik global yang diskenariokan oleh
kekuatan-kekuatan asing, terutama di kawasan Timur Tengah ikut memperuncing
dan memanaskan hubungan Iran- Arab Saudi. Konflik dan perseteruan baik laten
maupun terbuka antara Iran dan Arab Saudi terjadi secara berkepanjangan.
Gerakan Muhammad ibnu Abdul Wahab dimulai dari kampung
halamannya sendiri, Najed, yang terletak di wilayah Arab Saudi sekarang. Dia
dan para pengikutnya dengan penuh semangat dan motivasi yang tinggi
mengampanyekan pemurnian ajaran-ajaran agama Islam dari segala pengaruh luar
yang bersifat sinkretis dan praktik-praktik yang tidak islami.
Dalam perkembangan selanjutnya, ajaran Wahabi ini secara formal
diterima dan diadopsi oleh pemerintahan Kerajaan Arab Saudi sebagai paham
keagamaan resmi kerajaan. Dalam melancarkan kampanye purifikasi doktrin Islam
dari praktik-praktik yang dinilai syirik, kultus terhadap orang-orang suci,
bidah, khurafat, dan takhayul, pasukan Kerajaan Arab Saudi menggunakan
cara-cara keras dan radikal.
Dalam buku yang bertajuk ShiShiism
and Social Protest (1986) yang diedit oleh Juan RI Cole dan Nikki R
Keddie disebutkan, radikalisme gerakan Wahabi terlihat, antara lain pada cara-cara
mereka merusak kompleks pemakaman di Karbala pada tahun 1801, menduduki Kota
Mekkah pada 1803 dan Madinah pada tahun berikutnya, menghancurkan batu nisan,
dan membersihkan kota-kota tersebut dari segala praktik pemujaan kuburan
keramat dan pemujaan terhadap orang-orang suci. Ketika Kota Karbala diserang,
tentara Kerajaan Arab Saudi membantai 5.000 orang Syiah, membongkar kubah
kuburan cucu Nabi, Husein, dan menjarah seluruh kota.
Paham Wahabi secara signifikan terus tumbuh dan berkembang pesat
ketika Raja Abdul Aziz ibnu Saud menguasai Mekkah dengan mengalahkan Syarif
Husein pada 1925. Muhammad ibnu Abdul Wahab sendiri dikenal sebagai seorang
“pembaru” bukan karena dia mengintroduksi ide, gagasan, pemikiran, pemahaman,
dan penafsiran baru tentang ajaran-ajaran Islam, tetapi dia dikenal sebagai
penggagas dan penyeru untuk kembali ke ajaran-ajaran yang dia pahami sebagai
ajaran-ajaran Islam yang murni (Islam
salaf) sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat
generasi awal.
Terjadi semacam simbiosis-mutualistis antara Kerajaan Arab Saudi
dan gerakan Wahabi pada masa itu. Sebagai hasil konkretnya, Wahabisme telah
dijadikan paham kenegaraan/kerajaan oleh Arab Saudi. Arab Saudi dan Wahabisme
tidak bisa dipisahkan. Wahabisme yang bercorak puritan (yang pada batas
tertentu juga bernuansa radikal) inilah yang sering terlibat konflik dan
tensi dengan Syiisme-Iran yang anti-Wahabisme.
Konflik dan ketegangan antara Arab Saudi-Wahabiah dan Iran-Syiah
mengeras dan memanas jika perseteruan dan pertarungan politik terjadi dengan
sendirinya atau dikompori oleh kekuatan-kekuatan asing.
Sekarang ini tensi dan perseteruan politik Arab Saudi-Iran
memuncak ketika negara Wahabi itu mengeksekusi mati ulama Syiah bernama Nimr
al- Nimr bersama 46 aktivis Syiah dan Suni lain dengan tuduhan sebagai pelaku
teror. Tindakan Arab Saudi ini memicu protes keras dan unjuk rasa yang luas
di Iran. Massa demonstran Syiah di Iran menyerang dan membakar Gedung
Kedutaan Besar (Kedubes) Arab Saudi di Iran.
Hubungan Arab Saudi-Iran yang selama ini memang kurang harmonis
kini semakin tegang dan memburuk. Pasukan keamanan Iran segera menangkap
sekitar 40 orang demonstran yang menyerang Kedubes Arab Saudi di Iran. Arab
Saudi pun bereaksi, memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Para diplomat
Iran diminta untuk meninggalkan Arab Saudi dalam waktu 48 jam. Di pihak lain,
Presiden Iran Hassan Rouhani tidak menerima tindakan Arab Saudi yang
memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Sebenarnya ketegangan Arab Saudi-Iran sekarang ini tak lebih
dari pengulangan konflik klasik antara Wahabisme dan Syiisme. Ada baiknya
pemerintah Republik Indonesia sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam
(OKI) memainkan peranan strategisnya untuk meredakan ketegangan dan
mendamaikan Arab Saudi dan Iran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar