Selasa, 12 Januari 2016

Konflik Klasik Wahabisme versus Syiisme

Konflik Klasik Wahabisme versus Syiisme

Faisal Ismail  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
                                                  KORAN SINDO, 09 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dilihat dari perspektif kepenganutan paham keagamaan, dapat dikatakan bahwa Arab Saudi merepresentasikan Wahabisme (Wahabiah), sedangkan Iran merepresentasikan Syiisme (Syiah). Wahabisme (sebagai bagian atau unsur ahlussunnah waljamaah) adalah paham keagamaan puritan yang dicetuskan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab (1703-1792). Muhammad ibnu Abdul Wahab lahir di Najed (Arabia Tengah) dan pada tahun 1747 secara gencar melancarkan gerakan melakukan purifikasi ajaran Islam yang, menurut dia, telah banyak bercampur aduk dengan praktik-praktik syirik dan TBK (takhayul, bidah, dan khurafat ) yang berasal dari luar Islam. Dalam pemikiran hukum Islam dan pemikiran teologi, Muhammad ibnu Abdul Wahab mengadopsi fikih Hanbali dan teologi Ibnu Taimiah.

Dalam melancarkan gerakannya, kaum Wahabi menggunakan cara-cara radikal dan tanpa kompromi. Di lain pihak, Syiisme adalah paham yang dianut oleh sekelompok muslim yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib yang seharusnya memegang kepemimpinan komunitas muslim setelah Nabi Muhammmad wafat (13 H/632 M).

Menurut kaum Syiah, Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu Nabi Muhammad) yang berhak mewarisi kekhalifahan dan menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad, bukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan. Kaum Syiah sangat mengidolakan Ali bin Abi Thalib (suami Fatimah/putri Nabi Muhammad) dan anak keturunannya atau yang lazim disebut ahlul bait sebagai pemegang imamah .

Dalam pandangan Syiisme, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan adalah “penyerobot” (usurper) hak kekhalifahan yang seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, kalangan Suni sepenuhnya mengakui keempatnya sebagai khalifah yang sah dan legitimate, yang benar-benar dipilih oleh umat Islam secara demokratis berdasarkan syura (permusyawaratan).

Sejarah mencatat fakta ini secara jelas dan terang benderang. Perbedaan paham keagamaan dan visi politik inilah, antara lain, yang mengakibatkan kaum Suni dan kaum Syiah terlibat konflik dan perseteruan “abadi” baik di tingkat akar rumput maupun di level kenegaraan.

Dewasa ini perseteruan dan ketegangan antara Syiisme dan Sunisme (lebih spesifik lagi: Wahabisme) pada level kenegaraan direpresentasikan oleh Iran dan Arab Saudi. Gesekan-gesekan politik global yang diskenariokan oleh kekuatan-kekuatan asing, terutama di kawasan Timur Tengah ikut memperuncing dan memanaskan hubungan Iran- Arab Saudi. Konflik dan perseteruan baik laten maupun terbuka antara Iran dan Arab Saudi terjadi secara berkepanjangan.

Gerakan Muhammad ibnu Abdul Wahab dimulai dari kampung halamannya sendiri, Najed, yang terletak di wilayah Arab Saudi sekarang. Dia dan para pengikutnya dengan penuh semangat dan motivasi yang tinggi mengampanyekan pemurnian ajaran-ajaran agama Islam dari segala pengaruh luar yang bersifat sinkretis dan praktik-praktik yang tidak islami.

Dalam perkembangan selanjutnya, ajaran Wahabi ini secara formal diterima dan diadopsi oleh pemerintahan Kerajaan Arab Saudi sebagai paham keagamaan resmi kerajaan. Dalam melancarkan kampanye purifikasi doktrin Islam dari praktik-praktik yang dinilai syirik, kultus terhadap orang-orang suci, bidah, khurafat, dan takhayul, pasukan Kerajaan Arab Saudi menggunakan cara-cara keras dan radikal.

Dalam buku yang bertajuk ShiShiism and Social Protest (1986) yang diedit oleh Juan RI Cole dan Nikki R Keddie disebutkan, radikalisme gerakan Wahabi terlihat, antara lain pada cara-cara mereka merusak kompleks pemakaman di Karbala pada tahun 1801, menduduki Kota Mekkah pada 1803 dan Madinah pada tahun berikutnya, menghancurkan batu nisan, dan membersihkan kota-kota tersebut dari segala praktik pemujaan kuburan keramat dan pemujaan terhadap orang-orang suci. Ketika Kota Karbala diserang, tentara Kerajaan Arab Saudi membantai 5.000 orang Syiah, membongkar kubah kuburan cucu Nabi, Husein, dan menjarah seluruh kota.

Paham Wahabi secara signifikan terus tumbuh dan berkembang pesat ketika Raja Abdul Aziz ibnu Saud menguasai Mekkah dengan mengalahkan Syarif Husein pada 1925. Muhammad ibnu Abdul Wahab sendiri dikenal sebagai seorang “pembaru” bukan karena dia mengintroduksi ide, gagasan, pemikiran, pemahaman, dan penafsiran baru tentang ajaran-ajaran Islam, tetapi dia dikenal sebagai penggagas dan penyeru untuk kembali ke ajaran-ajaran yang dia pahami sebagai ajaran-ajaran Islam yang murni (Islam salaf) sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat generasi awal.

Terjadi semacam simbiosis-mutualistis antara Kerajaan Arab Saudi dan gerakan Wahabi pada masa itu. Sebagai hasil konkretnya, Wahabisme telah dijadikan paham kenegaraan/kerajaan oleh Arab Saudi. Arab Saudi dan Wahabisme tidak bisa dipisahkan. Wahabisme yang bercorak puritan (yang pada batas tertentu juga bernuansa radikal) inilah yang sering terlibat konflik dan tensi dengan Syiisme-Iran yang anti-Wahabisme.

Konflik dan ketegangan antara Arab Saudi-Wahabiah dan Iran-Syiah mengeras dan memanas jika perseteruan dan pertarungan politik terjadi dengan sendirinya atau dikompori oleh kekuatan-kekuatan asing.

Sekarang ini tensi dan perseteruan politik Arab Saudi-Iran memuncak ketika negara Wahabi itu mengeksekusi mati ulama Syiah bernama Nimr al- Nimr bersama 46 aktivis Syiah dan Suni lain dengan tuduhan sebagai pelaku teror. Tindakan Arab Saudi ini memicu protes keras dan unjuk rasa yang luas di Iran. Massa demonstran Syiah di Iran menyerang dan membakar Gedung Kedutaan Besar (Kedubes) Arab Saudi di Iran.

Hubungan Arab Saudi-Iran yang selama ini memang kurang harmonis kini semakin tegang dan memburuk. Pasukan keamanan Iran segera menangkap sekitar 40 orang demonstran yang menyerang Kedubes Arab Saudi di Iran. Arab Saudi pun bereaksi, memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Para diplomat Iran diminta untuk meninggalkan Arab Saudi dalam waktu 48 jam. Di pihak lain, Presiden Iran Hassan Rouhani tidak menerima tindakan Arab Saudi yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.

Sebenarnya ketegangan Arab Saudi-Iran sekarang ini tak lebih dari pengulangan konflik klasik antara Wahabisme dan Syiisme. Ada baiknya pemerintah Republik Indonesia sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) memainkan peranan strategisnya untuk meredakan ketegangan dan mendamaikan Arab Saudi dan Iran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar