Anak
Kampung
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 08 Januari 2016
Khususnya di Pulau Jawa, suasana kampung dulu dan sekarang sudah
banyak berubah. Saya terlahir di Kampung Pabelan, dekat Candi Borobudur,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, akhir 1953. Dalam rentang waktu 60 tahunan,
banyak yang sudah berubah, sekalipun banyak pula yang masih sama. Jumlah
penduduk desa bertambah banyak, namun dari segi ekonomi dan pendidikan tidak
banyak berubah. Sawah-sawah di perdesaan Jawa semakin sempit, belum setelah dibagi-bagi pada anak-anak
sebagai ahli warisnya, sementara sektor industri hampir-hampir tidak
berkembang, khususnya di daerah Magelang.
Sampai tamat SLTA praktis saya habiskan umur saya di Desa
Pabelan, baik untuk belajar di tingkat sekolah dasar —dulu namanya SR
(Sekolah Rakyat)— maupun sekolah lanjutan di Pesantren Pabelan. Tumbuh
sebagai anak di kampung, yang mengasuh seakan seluruh warga kampung karena
orang tua saling mengetahui dan menjaga keselamatan anak-anak, sehingga ke
mana pun anak pergi bermain, orang tua tidak merasa khawatir. Anak kampung
itu tak ubahnya ayam kampung.
Pagipagi dilepas dari kandangnya, sore akan kembali dengan
sendirinya dengan perut kenyang. Kelebihan ayam kampung itu bisa cari makan
sendiri di kebun, tidak mudah terserang penyakit, daging dan telurnya lebih
mahal harganya disbanding ayam negeri yang hidupnya dimanjakan. Untuk
menyalurkan kebutuhan bermain bagi anak kampung sangatlah murah dan mudah. Semua
alat yang dibutuhkan bisa dibuat sendiri dengan bahan yang tersedia.
Misalnya membuat layanglayang, mobil-mobilan dari kulit jeruk,
petasan bambu dengan karbit, main gobak sodor, gundu, adu menyelam di sungai,
adu jangkrik, dan masih banyak permainan lain yang sekarang tidak lagi
populer. Semasa kecil, masjid merupakan pusat berkumpulnya anak-anak baik
untuk bermain di halamannya yang luas maupun di ruang serambi. Bahkan
sekali-sekali kami tidur di masjid. Kami belajar membaca Alquran tidak
menunggu disuruh siapa pun, tetapi secara suka rela kami belajar di masjid
dengan guru yang juga dengan suka rela mengajari kami.
Seiring berjalannya waktu, suasana damai perdesaan yang kami
alami dulu sekarang sudah berubah. Listrik masuk desa sungguh sangat signifikan
pengaruhnya. Kehadiran televisi telah mengurangi atau mengalihkan aktivitas
anak-anak untuk bermain di luar rumah. Saya tak lagi melihat permainan
anak-anak yang dahulu sangat populer dari ujung ke ujung desa.
Jumlah sekolah dasar meningkat dengan bangunannya yang permanen.
Beberapa remajanya mulai mengenal kehidupan kota, sebagian bekerja sebagai
buruh di kota, pekerja bangunan dan jasa angkutan umum. Saya sulit
menduga-duga, apa yang menjadi mimpi anak-anak remaja kampung yang dari segi
pendidikan mayoritas hanya tamat SD, sebagian kecilnya lagi hanya SMP. Pasti
mereka tidak tahu apa itu MEA, Masyarakat Ekonomi ASEAN, tidak juga bonus
demografi, yang justru akan menjadi beban jika usia angkatan kerja
kitamiskinpendidikan, skill, dan gizi.
Orang tua sering kali bercerita betapa susahnya hidup di zaman
Belanda dan Jepang. Tanpa disadari, cerita pahit kenangan masa lalu itu bisa
memengaruhi mental miskin warga desa serta tahan banting. Bahwa kondisi
sekarang jauh lebih baik ketimbang zaman dulu. Kalaupun di dunia kita kalah,
kemenangan di akhirat sudah menunggu asal kita sabar dan tawakal kepada
Allah. Kehidupan desa yang saya rasakan semasa kecil, hidup itu sekadar untuk
bertahan dan menapaki hari tua sembari berdamai dengan nasib.
Ketika pengaruh kota masuk desa, terutama melalui televisi dan
banyak warga kampong yang mulai bekerja di kota, apa pun pekerjaannya, tembok
isolasi mulai terbuka. Kemiskinan semakin dirasakan sebagai penyiksaan, tidak
bisa lagi dijinakkan dengan membandingkan semasa penjajahan Belanda dan
pendudukan Jepang.
Cerita-cerita masa lalu tidak lagi populer, menghilang bersama
beragam permainan semasa kecil saya dulu. Yang kemudian muncul adalah
tontonan gebyar artis sinetron dan penyanyi dangdut yang mendadak populer dan
kaya, yang mungkin sekali menstimulasi anak-anak kampung untuk bermimpi
bagaimana mengubah nasib.
Saya sendiri merasa beruntung berhasil menerobos tembok isolasi
kampung, lalu bergulat berguru kehidupan di Jakarta sejak 1974. Tetapi setiap
pulang kampung, yang muncul adalah rasa empati dan kasihan melihat kondisi
perdesaan yang masih tertindas oleh kemajuan kota. Dalam konteks nasional, pemerintah kita memang tidak punya
master plan bagaimana membangun perdesaan di Pulau Jawa yang padat penduduk
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar