Selasa, 12 Januari 2016

Rasa Keadilan Putusan Hakim

Rasa Keadilan Putusan Hakim

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
                                                  KORAN SINDO, 09 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berbagai peristiwa hukum yang aneh-aneh di negeri ini telah membenarkan pernyataan yang pernah disampaikan Satjipto Rahardjo bahwa Indonesia laksana “laboratorium hukum”.  Begitu banyak peristiwa hukum yang dapat dijadikan sampel bagi para peneliti hukum negara lain, mulai dari bagaimana mengakali aturan hukum, menjadikan hukum sebagai barang komoditas, sampai pada putusan hakim yang tidak memihak rasa keadilan masyarakat. Celakanya karena dilakukan oleh mereka yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan.

Perlu meningkatkan perhatian bagaimana memberikan rasa keadilan bagi warga masyarakat. Jangan sampai menciptakan peluang atau keterpaksaan untuk membelokkan arah hukum. Pedoman yang penting untuk diperhatikan adalah jangan membiarkan penegakan hukum berseberangan dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat “.

Pemikiran agar hakim memerankan fungsinya sebagai penyelesai konflik setidaknya ada dua pendekatan yang perlu dimanifestasi dalam menjatuhkan putusan:

Pertama , pendekatan keilmuan untuk mengantisipasi dominasi paham positivisme sebab hukum yang diurai melalui kaidahnya mempunyai semangat dan nilai-nilai kemanusiaan. Agar putusan memiliki efektivitas, harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridisch en filosofich veranwoord) karena mampu menyelesaikan konflik dan diterima oleh pihak yang bersengketa.

Kedua, pendekatan empiris (sosiologis) lantaran hukum bertitik-tolak pada manusia sebagai subjek kulturalnya. Hukum senantiasa bergelut dengan manusia yang “bereksistensi kultural dan moral”. Artinya, putusan hakim selalu erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang selain menuntut koherensi logikal, juga menghendaki ada pembuktian empiris.

Putusan Kontradiksi

Negeri yang dipenuhi persoalan hukum termasuk tidak kuatnya logika hukum dalam putusan hakim. Itu dapat dilihat pada putusan yang mengabaikan logika hukum dan nilai-nilai kemanusiaan di Pengadilan Negeri Palembang (30/12/2015) yang menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8 triliun. KLHK menuntut ganti rugi atas kerusakan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20.000 hektare milik perusahaan tersebut pada 2014 di Ogan Komering Ilir. Apalagi, Pasal 88 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut pemilik izin harus bertanggung jawab mutlak (strict liability).

Pertimbangan majelis hakim yang patut dikaji secara akademik bahwa “lahan yang terbakar itu tidak merusak lingkungan hidup karena masih dapat ditanami lagi”.  Logika hukum yang terbalik-balik sebab hilangnya hutan yang mestinya dijaga agar tidak rusak, apalagi membiarkannya terbakar telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Bukan hanya merusak lingkungan hidup, melainkan juga menimbulkan asap berkepanjangan yang merusak kesehatan manusia. Hutan yang terbakar memang bisa saja ditanami kembali, tetapi butuh waktu bertahun-tahun baru bisa tumbuh lagi.

Putusan itu kontradiksi dengan putusan hakim di Probolinggo. Lelaki Busrin ditangkap dan diproses hukum gara-gara menebang satu pohon di hutan mangrove di kampungnya, Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih (16/7/2014). Hakim hanya melihat permasalahan sepotong-sepotong tanpa memandang secara holistik, sementara ada perusahaan besar yang membiarkan hutan terbakar yang menjadi tanggung jawabnya untuk dijaga justru ditolak gugatannya. Ini menunjukkan rasa keadilan masyarakat semakin jauh dari substansinya. Padahal, kalau mau membuka mata hati, warga yang menebang pohon tidak terlepas dari suatu kebijakan yang pukul rata, tetapi rakyat kecil yang jadi korban. Faktanya, kebanyakan warga di desa itu memang mencari kayu bakar dari pohon mangrove akibat masalah kemiskinan.

Sulit memungkiri kalau negeri ini telah berada pada ambang batas yang sangat jauh dari rasa keadilan. Hukum tidak mampu memberikan kebenaran dan keadilan. Diperlukan langkah konkret untuk menggerakkan legalitas dan wibawa hukum. Itu yang dikritisi dalam sosiologi hukum disebutkan bahwa hukum tertulis itu barulah janji-janji hukum. Dia menjadi hukum apabila sudah dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana hukum sesuai dengan cita dan tujuan hukum.

Beragamnya putusan hakim perlu disikapi secara bijak dengan memberikan pemahaman secara holistik. Kiranya perlu menyimak kritikan Charles Sampford dalam teorinya “the disorder theory of law“ yang memandang hukum tidak identik dengan sebuah bangunan yang penuh dengan keteraturan yang logis-rasional. Hukum adalah sesuatu yang bersifat cair (melee, fluid) yang perlu dihidupkan. Hukum tidak selalu dimaknakan machine justice sehingga hakim sebagai ujung tombak keadilan harus mampu menjaga hak-hak komunitas rakyat. Di dalamnya selalu ada ruang ekstra (leeway) yang dapat digunakan membangkitkan nilai-nilai kehidupan sosial dan rasa keadilan masyarakat.

Hati Nurani

Harapan rakyat agar para hakim memberikan rasa keadilan dengan mengelaborasi logika hukum dan kebenaran bukan tanpa makna. Di dalamnya tercermin bagaimana rakyat menempatkan hakim sebagai “penyejuk rasa keadilan”, pemberi kebenaran yang tidak boleh diabaikan. Kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diberikan oleh konstitusi, begitu menentukan putih-hitamnya seseorang dalam mencari keadilan, baik perkara pidana maupun perdata.

Setiap perkara yang ditangani seharusnya disikapi secara profesional dan diikat oleh hati nurani. Hakim hanya akan menjatuhkan putusan bersalah atau mengabulkan suatu gugatan jika alat bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan diyakini kebenarannya oleh hakim. Itulah nilai tertinggi yang dimiliki seorang hakim, yang tentu saja harus ditunjang oleh integritas dan komitmen moral yang tinggi.

Sebab begitu, banyak hakim yang tergelincir gara-gara mengabaikan hati nuraninya. Dalam realitas kehidupan masyarakat, mentalitas yang korup juga berakibat negatif pada sistem pelayanan umum, bahkan seringkali merusak sistem peradilan. Jaminan ada perlindungan bagi rakyat dalam mencari keadilan menjadi suatu barang mewah karena ada aparat hukum yang kurang memahami tugas dan wewenangnya. Mereka tidak siap melakukan langkah konkret akibat diperdaya oleh kehidupan sosial yang serbarumit yang membuat hukum tidak mampu mencapai tujuan asasinya.

Putusan pidana bagi penebang satu pohon dan menolak gugatan ganti rugi Rp7,8 triliun yang diajukan KLHK memang harus tetap dihargai. Putusan itu telah merintis suatu langkah mendasar yang dapat dijadikan sebagai “pesan ilmiah” bagi para hakim dan penganalisis hukum.

Kita ingin hakim tetap memerhatikan rasa keadilan masyarakat agar putusannya bisa digolongkan sebagai “the right decision on the right time“ yang dapat ditiru hakim-hakim lain untuk menghidupkan semangat hukum. Paling tidak, hakim selalu menempatkan semua orang sama di depan hukum dengan berpijak pada hati nurani.

Fungsi “social engineering “ suatu putusan hakim amat ditentukan oleh ketajaman nurani hakim mencermati pelbagai perubahan kehidupan sosial masyarakat yang terus berkembang. Menjadi hakim yang bijak, profesional, dan berhati nurani memang tidak mudah. Di dalamnya butuh komitmen moral yang mumpuni, bukan sekadar menjalankan undang-undang.

Maka itu, sangat wajar kalau KLHK mengajukan upaya banding ke pengadilan tinggi untuk menguji putusan hakim sebab akhirnya rakyatlah yang akan merasakan akibat dari suatu putusan hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar