Rasa
Keadilan Putusan Hakim
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa,
Makassar
|
KORAN
SINDO, 09 Januari 2016
Berbagai peristiwa hukum yang aneh-aneh di negeri ini telah
membenarkan pernyataan yang pernah disampaikan Satjipto Rahardjo bahwa
Indonesia laksana “laboratorium hukum”. Begitu banyak peristiwa hukum yang dapat
dijadikan sampel bagi para peneliti hukum negara lain, mulai dari bagaimana
mengakali aturan hukum, menjadikan hukum sebagai barang komoditas, sampai
pada putusan hakim yang tidak memihak rasa keadilan masyarakat. Celakanya
karena dilakukan oleh mereka yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan.
Perlu meningkatkan perhatian bagaimana memberikan rasa keadilan
bagi warga masyarakat. Jangan sampai menciptakan peluang atau keterpaksaan
untuk membelokkan arah hukum. Pedoman yang penting untuk diperhatikan adalah
jangan membiarkan penegakan hukum berseberangan dengan nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
“.
Pemikiran agar hakim memerankan fungsinya sebagai penyelesai
konflik setidaknya ada dua pendekatan yang perlu dimanifestasi dalam
menjatuhkan putusan:
Pertama , pendekatan keilmuan untuk mengantisipasi dominasi
paham positivisme sebab hukum yang diurai melalui kaidahnya mempunyai
semangat dan nilai-nilai kemanusiaan. Agar putusan memiliki efektivitas,
harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridisch en filosofich veranwoord) karena mampu menyelesaikan
konflik dan diterima oleh pihak yang bersengketa.
Kedua, pendekatan empiris (sosiologis) lantaran hukum
bertitik-tolak pada manusia sebagai subjek kulturalnya. Hukum senantiasa
bergelut dengan manusia yang “bereksistensi kultural dan moral”. Artinya,
putusan hakim selalu erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang
selain menuntut koherensi logikal, juga menghendaki ada pembuktian empiris.
Putusan
Kontradiksi
Negeri yang dipenuhi persoalan hukum termasuk tidak kuatnya
logika hukum dalam putusan hakim. Itu dapat dilihat pada putusan yang
mengabaikan logika hukum dan nilai-nilai kemanusiaan di Pengadilan Negeri
Palembang (30/12/2015) yang menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8
triliun. KLHK menuntut ganti rugi atas kerusakan hutan tanaman industri pohon
akasia seluas 20.000 hektare milik perusahaan tersebut pada 2014 di Ogan
Komering Ilir. Apalagi, Pasal 88 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut pemilik izin harus bertanggung jawab
mutlak (strict liability).
Pertimbangan majelis hakim yang patut dikaji secara akademik
bahwa “lahan yang terbakar itu tidak merusak lingkungan hidup karena masih
dapat ditanami lagi”. Logika hukum
yang terbalik-balik sebab hilangnya hutan yang mestinya dijaga agar tidak
rusak, apalagi membiarkannya terbakar telah mencederai rasa keadilan
masyarakat. Bukan hanya merusak lingkungan hidup, melainkan juga menimbulkan
asap berkepanjangan yang merusak kesehatan manusia. Hutan yang terbakar
memang bisa saja ditanami kembali, tetapi butuh waktu bertahun-tahun baru
bisa tumbuh lagi.
Putusan itu kontradiksi dengan putusan hakim di Probolinggo. Lelaki
Busrin ditangkap dan diproses hukum gara-gara menebang satu pohon di hutan
mangrove di kampungnya, Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih (16/7/2014). Hakim
hanya melihat permasalahan sepotong-sepotong tanpa memandang secara holistik,
sementara ada perusahaan besar yang membiarkan hutan terbakar yang menjadi
tanggung jawabnya untuk dijaga justru ditolak gugatannya. Ini menunjukkan
rasa keadilan masyarakat semakin jauh dari substansinya. Padahal, kalau mau
membuka mata hati, warga yang menebang pohon tidak terlepas dari suatu
kebijakan yang pukul rata, tetapi rakyat kecil yang jadi korban. Faktanya,
kebanyakan warga di desa itu memang mencari kayu bakar dari pohon mangrove
akibat masalah kemiskinan.
Sulit memungkiri kalau negeri ini telah berada pada ambang batas
yang sangat jauh dari rasa keadilan. Hukum tidak mampu memberikan kebenaran
dan keadilan. Diperlukan langkah konkret untuk menggerakkan legalitas dan
wibawa hukum. Itu yang dikritisi dalam sosiologi hukum disebutkan bahwa hukum
tertulis itu barulah janji-janji hukum. Dia menjadi hukum apabila sudah
dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana hukum sesuai dengan cita dan tujuan
hukum.
Beragamnya putusan hakim perlu disikapi secara bijak dengan
memberikan pemahaman secara holistik. Kiranya perlu menyimak kritikan Charles
Sampford dalam teorinya “the disorder
theory of law“ yang memandang hukum tidak identik dengan sebuah bangunan
yang penuh dengan keteraturan yang logis-rasional. Hukum adalah sesuatu yang
bersifat cair (melee, fluid) yang
perlu dihidupkan. Hukum tidak selalu dimaknakan machine justice sehingga hakim sebagai ujung tombak keadilan
harus mampu menjaga hak-hak komunitas rakyat. Di dalamnya selalu ada ruang
ekstra (leeway) yang dapat
digunakan membangkitkan nilai-nilai kehidupan sosial dan rasa keadilan
masyarakat.
Hati Nurani
Harapan rakyat agar para hakim memberikan rasa keadilan dengan
mengelaborasi logika hukum dan kebenaran bukan tanpa makna. Di dalamnya
tercermin bagaimana rakyat menempatkan hakim sebagai “penyejuk rasa
keadilan”, pemberi kebenaran yang tidak boleh diabaikan. Kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara yang diberikan oleh konstitusi, begitu
menentukan putih-hitamnya seseorang dalam mencari keadilan, baik perkara
pidana maupun perdata.
Setiap perkara yang ditangani seharusnya disikapi secara profesional
dan diikat oleh hati nurani. Hakim hanya akan menjatuhkan putusan bersalah
atau mengabulkan suatu gugatan jika alat bukti yang diajukan di depan sidang
pengadilan diyakini kebenarannya oleh hakim. Itulah nilai tertinggi yang
dimiliki seorang hakim, yang tentu saja harus ditunjang oleh integritas dan
komitmen moral yang tinggi.
Sebab begitu, banyak hakim yang tergelincir gara-gara
mengabaikan hati nuraninya. Dalam realitas kehidupan masyarakat, mentalitas
yang korup juga berakibat negatif pada sistem pelayanan umum, bahkan
seringkali merusak sistem peradilan. Jaminan ada perlindungan bagi rakyat
dalam mencari keadilan menjadi suatu barang mewah karena ada aparat hukum
yang kurang memahami tugas dan wewenangnya. Mereka tidak siap melakukan
langkah konkret akibat diperdaya oleh kehidupan sosial yang serbarumit yang
membuat hukum tidak mampu mencapai tujuan asasinya.
Putusan pidana bagi penebang satu pohon dan menolak gugatan
ganti rugi Rp7,8 triliun yang diajukan KLHK memang harus tetap dihargai.
Putusan itu telah merintis suatu langkah mendasar yang dapat dijadikan
sebagai “pesan ilmiah” bagi para hakim dan penganalisis hukum.
Kita ingin hakim tetap memerhatikan rasa keadilan masyarakat
agar putusannya bisa digolongkan sebagai “the
right decision on the right time“ yang dapat ditiru hakim-hakim lain
untuk menghidupkan semangat hukum. Paling tidak, hakim selalu menempatkan
semua orang sama di depan hukum dengan berpijak pada hati nurani.
Fungsi “social engineering “ suatu putusan hakim amat ditentukan
oleh ketajaman nurani hakim mencermati pelbagai perubahan kehidupan sosial
masyarakat yang terus berkembang. Menjadi hakim yang bijak, profesional, dan
berhati nurani memang tidak mudah. Di dalamnya butuh komitmen moral yang
mumpuni, bukan sekadar menjalankan undang-undang.
Maka itu, sangat wajar kalau KLHK mengajukan upaya banding ke
pengadilan tinggi untuk menguji putusan hakim sebab akhirnya rakyatlah yang
akan merasakan akibat dari suatu putusan hakim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar