Sabtu, 07 November 2015

Urbanisasi, dari Masalah Jadi Peluang

Urbanisasi, dari Masalah Jadi Peluang

Basuki Hadimuljono  ;  Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
                                                     KOMPAS, 05 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota merupakan fenomena tersendiri dalam beberapa dekade belakangan. Kecenderungan ini juga terjadi di berbagai belahan dunia. Diperkirakan saat ini 50 persen warga Indonesia tinggal di perkotaan. Ke depan, arus urbanisasi yang cepat diprediksi akan menyebabkan warga dunia yang tinggal di perkotaan akan mencapai 70 persen di tahun 2050.

Arus urbanisasi yang begitu cepat dalam jumlah begitu besar, jika tidak diantisipasi secara arif dari awal, akan menyebabkan sejumlah persoalan. Terutama pada degradasi kualitas hidup masyarakat perkotaan, khususnya dari aspek permukiman, ketersediaan air bersih, pasokan energi, dan lingkungan. Demikian fakta yang terungkap dalam Asia Pacific Regional Meeting (APRM) for Habitat III di Jakarta, 21-22 Oktober 2015.

Kenyataan seperti itulah yang menjadi tantangan para peserta APRM yang hadir dari 27 negara di kawasan Asia Pasifik sehingga kita bersama harus berpikir ulang tentang arus urbanisasi. Apakah arus urbanisasi harus dicegah? Ataukah dibiarkan saja, seraya mencari celah agar dampak negatifnya bisa dicegah? Atau bagaimana menangani urbanisasi secara berkualitas sehingga memberikan dampak positif bagi perekonomian dunia?

Daftar pertanyaan itu pula yang jadi bahan perbincangan hangat dalam pertemuan yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat UN Habitat selama dua hari di Jakarta, yang melahirkan The Jakarta Declaration for Habitat III. Deklarasi Jakarta itu diberi judul ”Sustainable Urbanization to Accelerate Development” (Urbanisasi Berkelanjutan untuk Mempercepat Pembangunan).

Dalam naskah Deklarasi Jakarta dicantumkan 25 rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh semua pemangku kepentingan perkotaan untuk menuju ide ”New Urban Agenda”. Sebagian besar deklarasi ini berfokus pada pentingnya kemitraan dan kerja sama, tidak hanya antarkota, tetapi juga antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, sektor swasta, organisasi-organisasi dan komunitas yang menjadi bagian di dalam perkotaan.

Urbanisasi berkualitas

Dari pertemuan APRM for Habitat III, menarik disimak adalah semangat peserta untuk memaknai urbanisasi secara positif, bahwa urbanisasi bukanlah semata-mata persoalan perpindahan penduduk pedesaan ke perkotaan.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Tjiptoherijanto (Urbanisasi, Mobilitas dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia, 2008). Menurut dia, dalam ilmu kependudukan, urbanisasi tidak boleh dimaknai sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota semata. Perpindahan penduduk desa ke kota hanyalah satu penyebab terjadinya urbanisasi. Masih ada sejumlah penyebab lain, seperti pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perluasan wilayah, perubahan status wilayah dari daerah pedesaan jadi daerah perkotaan, dan gaya hidup serta ketersediaan lapangan kerja.

Proses urbanisasi juga terjadi akibat kebijakan dan peraturan di daerah perkotaan, terutama bidang ekonomi yang dikembangkan pemerintah kota. Fasilitas di desa yang kurang memadai, upah rendah, serta tanah di desa yang semakin tidak subur menyebabkan warga desa mencari penghidupan baru. Sasarannya tentu saja daerah perkotaan. Akibatnya, konsentrasi penduduk perkotaan pun makin besar.

Di Indonesia, urbanisasi juga disebabkan faktor momentum, seperti hari raya, bencana alam, atau momentum lain yang menyebabkan masyarakat berpikir bahwa membutuhkan kehidupan baru di perkotaan (Saefulloh, Asep Achmad: Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu, 2013).

Faktanya, sebagaimana dicatat Badan Pusat Statistik, konsentrasi penduduk kota dari waktu ke waktu terus meningkat. Tahun 1971, misalnya, dari 119 juta jiwa penduduk, 17,6 juta (14,8 persen)adalah penduduk urban. Sepuluh tahun kemudian, 1980, penduduk urban menjadi 17,4 persen (25,7 juta jiwa) dari total 147,5 juta jiwa. Tahun ini, penduduk urban (pemukim perkotaan) mencapai 136,2 juta jiwa (53,3 persen) dari total 255,5 juta jiwa.

Dari angka-angka di atas, terlihat jelas bahwa arus urbanisasi tidaklah terbendung. Dampaknya, muncul isu bahwa urbanisasi merupakan salah satu masalah sosial yang semakin hari semakin serius. Di Indonesia, urbanisasi telah menimbulkan ketimpangan persebaran penduduk di Pulau Jawa dengan luar Jawa, yang ujungnya menimbulkan kesenjangan sosial dan lingkungan yang perlu mendapat perhatian kita semua. Laju urbanisasi yang tidak terbendung juga bisa sangat mengkhawatirkan manakala kualitas tingkat pendidikan, keahlian, maupun kesadaran akan lingkungan mereka yang melakukan urbanisasi masih rendah.

Tantangan ini dipecahkan dengan mengembangkan pulau-pulau di luar Jawa, melalui pusat- pusat pengembangan wilayah terpilih serta mengembangkan seluruh wilayah Indonesia dimulai dari pinggiran menuju pusat. Implementasi dari kebijakan ini adalah melakukan pembangunan di desa. Tujuannya agar masyarakat desa tidak pindah ke kota, tapi tetap betah tinggal di desa.

Kabinet Kerja di bawah kendali Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun secara nyata mengimplementasikannya lewat Program Dana Desa. Tujuannya: menggairahkan desa untuk membangun dirinya sendiri agar bisa mengimbangi pertumbuhan daerah perkotaan.

Tantangan jadi peluang

Pandangan bahwa urbanisasi telah menimbulkan masalah sosial dan ekonomi tentu tidak sepenuhnya keliru. Namun, meski segala langkah telah dilakukan untuk mencegahnya (di Jakarta, misalnya, dengan program razia KTP), faktanya arus urbanisasi tetap terjadi. Bahkan, sekalipun perpindahan penduduk desa ke kota bisa dibatasi, pergerakan arus urbanisasi tetap tidak terbendung. Dalam beberapa dekade terakhir terjadi urbanisasi dalam pengertian sebagai pergerakan kehidupan desa yang mengarah ke kehidupan perkotaan secara besar-besaran.

Pada posisi seperti itu, apa yang terungkap dalam APRM Habitat III merupakan kenyataan yang tidak terhindarkan. Karena itu, urbanisasi tidak harus dipandang secara negatif saja. Cara pandang kita terhadap urbanisasi harus berubah. Kalau dulu urbanisasi dinilai sebagai hal yang perlu dicegah karena dianggap menimbulkan masalah, sekarang kita harus lebih terbuka. Bahkan, saatnya kita menjadikan urbanisasi sebagai peluang/kendaraan baru mobilisasi yang memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa.

Dengan cara pandang baru, urbanisasi adalah kendaraan bagi mobilisasi sosial dan ekonomi. Karena itu, semua pemangku kepentingan harus mencari jalan keluar dan mengambil peran positif agar urbanisasi bermakna dan menjadi berkualitas.

Ada tiga hal yang bisa dilakukan: menegakkan regulasi tentang rencana tata ruang; memiliki rencana pembiayaan supaya kota bisa membiayai dirinya sendiri; dan proses perencanaan urbanisasi yang lebih baik. Pada gilirannya nanti, arus urbanisasi yang berkualitas akan jadi kendaraan bagi mobilisasi sosial yang memberikan dampak positif.

Mengarahkan urbanisasi berkualitas itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai salah satu pemangku kepentingan pun tidak tinggal diam. PUPR mengambil langkah konkret dari banyak sisi regulasi, tata ruang/permukiman, prasarana permukiman, dan lain-lain. Sebagai contoh adalah di bidang layanan air bersih. Dalam kurun 2015-2019, Kementerian PUPR mencanangkan target universal acces atau dikenal sebagai sasaran 100-0-100. Artinya, tahun 2019, 100 persen penduduk di negeri ini sudah terlayani akses air minum aman, mengurangi kawasan kumuh hingga 0 persen, dan 100 persen penduduk sudah mendapat layanan akses sanitasi yang layak.

Program yang tak mudah terwujud, tapi langkah tersebut harus dimulai. Saat ini, untuk cakupan akses sanitasi di Indonesia baru mencapai 62 persen. Ada kekurangan 38 persen yang harus dipenuhi. Padahal, kemampuan rata-rata peningkatan cakupan sanitasi baru 8 persen per tahun. Tentu, perlu langkah terobosan, selain dari sisi pendanaan, juga penyadaran masyarakat akan arti penting universal acces tersebut.

Langkah lain yang juga terus dipertahankan adalah perbaikan dan intensifikasi pemberdayaan masyarakat pedesaan dengan prioritas utama kewirausahaan dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Sejalan dengan itu, pembangunan desa yang mengarah ke perkotaan telah disiapkan dengan standar maksimum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar