Membangun Budaya Politik Berkarakter dan Cerdas
Ahmad Sahide ; Kandidat Doktor Kajian Timur Tengah Sekolah
Pascasarjana UGM; Pegiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta
|
KOMPAS,
05 November 2015
”Mengerikan
melihat apa yang terjadi kalau ambisi dan kekuasaan tumbuh berkembang dalam
benak orang idiot.” - Doung Thu Huong
Tak ada yang mampu menahan laju perputaran waktu, dan tahun 2015
pun akan segera berlalu. Kita, bangsa dan negara Indonesia, akan menutup
tahun 2015 ini dengan agenda besar: pemilihan kepala daerah secara serentak
tahap I pada 9 Desember nanti.
Berbagai catatan kebangsaan yang tak cukup menggembirakan turut
mengiringi perjalanan bangsa pasca Reformasi 1998. Berbagai kasus korupsi dan
perselingkuhan politik antara pengusaha, penguasa, dan kehakiman terkuak.
Salah satu contoh, tertangkap basahnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar
sedang menerima suap pada 2013. Lalu, pada 2015, kita semua menyaksikan
konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) vs Polri jilid II yang berakhir
dengan penonaktifan Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto.
Politik
pengabdian
Inilah yang akan membayangi kita menatap pemilihan
(demokratisasi) kepala daerah secara serentak pada 2015; tahun di mana daur
ulang demokrasi berlangsung pada tingkat daerah yang akan diselenggarakan
secara serentak. Seluruh rakyat Indonesia kembali mendapatkan momentum untuk
memilih pemimpinnya di daerah. Akankah daur ulang demokrasi 2015 mengurangi
catatan buruk demokrasi Indonesia? Demokrasi yang melahirkan lebih dari 60
persen kepala daerah tersandung kasus korupsi. Demokrasi yang tidak jarang
melahirkan pemimpin tanpa gagasan.
Slogan politik yang cukup populer dari Soekarno adalah jangan
sekali-sekali melupakan sejarah (Jasmerah). Maka, marilah kita melirik
sejarah dedikasi politik para bapak pendiri bangsa kita sekilas untuk membaca
atau ”meramalkan” politik Indonesia ke depan. Membaca biografi Soekarno dan
Mohammad Hatta di dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sampai pada
akhirnya rakyat memberinya ganjaran sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI
menyadarkan kita bahwa banyak di antara kita sebenarnya tidak melakukan
apa-apa untuk bangsa dan negara Indonesia, tetapi meminta untuk diberi
jabatan (kekuasaan).
Dalam berbagai kesempatan pun saya sering mengatakan, perbedaan
aktivis dan politisi pada zaman dulu dan sekarang adalah bahwa aktivis dan
politisi zaman dulu dipenjara dan diasingkan dulu baru kemudian memimpin
(mendapatkan ganjaran kekuasaan). Sementara aktivis dan politisi sekarang
(walaupun tidak semuanya) adalah berkuasa dulu baru kemudian dipenjara.
Nelson Mandela dari Afrika Selatan yang meninggal pada 2013
mengajarkan kita akan politik demikian. Mandela dipenjara selama 27 tahun
karena memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak warga kulit hitam baru kemudian
dinobatkan sebagai Presiden Afrika Selatan. Itu pun Mandela hanya bersedia
menjadi presiden selama satu periode (1994-1999).
Soekarno, Hatta, dan Mandela mengajarkan kepada kita bahwa untuk
dinobatkan sebagai pemimpin politik haruslah diawali dengan melakukan
pengabdian terlebih dahulu. Artinya, kekuasaan yang diamanahkan padanya
adalah perpanjangan tangan dari pengabdian dan perjuangannya selama ini.
Maka, mereka tidak perlu menghabiskan banyak dana dan memberikan janji-janji
politik kepada masyarakat untuk dipilih sebagai pemimpin karena mereka sudah
melakukannya dan rakyat melihat itu. Dalam kampanye politiknya bukan dengan
bahasa ”saya akan mengabdi, memperjuangkan hak-hak Anda wahai rakyat
Indonesia!”, tetapi dalam orasinya mengatakan, ”Mari kita lanjutkan untuk memperjuangkan apa yang sudah kita lakukan
selama ini!”
Memperhatikan kultur politik dan politisi zaman ini sepertinya
akrab dengan bahasa politik yang pertama, ”Saya
akan, akan, dan akan….” Ini yang sering kita dengar dari para politisi
yang mengemis suara kepada rakyat. Bahasa politik ini sepertinya akan makin
masif kita dengarkan kembali di penghujung tahun ini, tahun di mana banyak
politisi karbitan muncul dan turun ke bawah memermak dirinya sebagai figur yang
akan jadi pahlawan dan pejuang yang dermawan dan baik hati. Sekalipun mereka
tidak punya karakter dan rekam jejak sebagai pahlawan dan pejuang. Itulah
wajah dan kultur politik kita hari ini. Wajah dan kultur yang jauh dari
semangat pengabdian dan perjuangan, melainkan kerakusan untuk merampas milik
negara.
Maka, dalam menatap pemilihan kepala daerah secara serentak
tahap pertama pada tahun 2015 ini, marilah kita—terutama para politisi yang
siap bertarung memperebutkan jabatan publik di daerah—belajar dari Soekarno,
Hatta, dan Mandela. Dalam orasi politiknya mereka tidak mengatakan saya akan,
akan, dan akan. Namun, mereka mengatakan saya sudah melakukan perjuangan itu,
maka marilah kita lanjutkan perjuangan itu untuk yang lebih besar dengan
dukungan Anda, rakyat (Indonesia), tentunya.
Itulah kultur politik yang berkarakter. Politik untuk
perjuangan, bukan perdagangan. Wahai para politisi Indonesia, jika Anda ingin
mengenang selalu Soekarno, Hatta, dan Mandela, malulah meminta dukungan
politik kepada rakyat kalau Anda belum melakukan apa-apa untuk rakyat,
bangsa, dan negaramu.
Organisasi
kemahasiswaan
Gerakan mahasiswa lainnya, dan organisasi masyarakat lainnya,
punya tugas untuk melahirkan dan memunculkan pemimpin dengan karakter yang
telah disebutkan di atas. Pemimpin yang memiliki rekam jejak pengabdian dan
perjuangan untuk rakyat, serta mempunyai gagasan untuk melakukan perubahan
atau perbaikan kehidupan masyarakat luas.
Pada sisi yang lain, organisasi mahasiswa sangat penting dan
perlu mengagendakan untuk melakukan pendidikan politik kepada seluruh rakyat
Indonesia agar menjadi pemilih yang cerdas. Bukan pemilih yang mudah terbuai
janji-janji dari tokoh-tokoh yang mempunyai keinginan merebut jabatan publik.
Ada pepatah mengatakan bahwa pemimpin adalah cerminan dari
masyarakatnya. Oleh karena itu, untuk dapat melahirkan pemimpin yang ideal,
pertama-tama masyarakat ideal adalah tumpuannya.
Saya masih meyakini bahwa pemilih yang cerdas akan melahirkan
pemimpin yang cerdas, pemimpin yang bervisi keumatan. Maka, marilah kita
semua mendidik masyarakat untuk cerdas dalam berpartisipasi pada ajang daur
ulang demokrasi kita, terutama menjelang 9 Desember 2015 ini. Tugas kita
semua hari ini adalah kampanye untuk politik sehat Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar