Kamis, 05 November 2015

Perlukah Kita Bergabung dengan TPP Sekarang?

Perlukah Kita Bergabung dengan TPP Sekarang?

A Prasetyantoko  ;  Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
                                                     KOMPAS, 02 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pernyataan Presiden Joko Widodo untuk bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) menimbulkan polemik. Pertama, selama ini orientasi kebijakan pemerintah Jokowi dianggap lebih condong ke Tiongkok. Apakah ini dalam rangka menemukan keseimbangan geopolitik?

Kedua, pemerintah sebelumnya tak berorientasi ke TPP. Apakah ini pertanda ”keberanian” presiden baru? Pemerintah sebelumnya lebih aktif di forum ASEAN plus 6 atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dengan Tiongkok dan India ada di dalamnya.

Media ternama The Guardian mengkhawatirkan gagasan Presiden ini justru akan mengonsolidasikan kekuatan proteksionis di dalam negeri. Ujungnya, bisa saja justru memperkuat oposisi. Sementara, kantor berita Bloomberg meragukan kesiapan sektor domestik, khususnya BUMN, mengikuti standar TPP yang dikenal tinggi. Dengan begitu, kalaupun ada tindak lanjut, jalan menuju ke sana masih begitu panjang.

Indonesia punya pengalaman buruk dengan keikutsertaan pakta perdagangan. Sebut saja pakta perdagangan ASEAN-Tiongkok (ACFTA) yang justru melebarkan defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok. Oleh karena itu, sebelum bergabung, sebaiknya dilakukan pemetaan secara mendalam per sektor ekonomi di mana kita akan untung dan rugi.

Keberadaan TPP sendiri masih diwarnai kontroversi, baik di antara ke-12 negara anggota maupun di dalam negeri setiap anggota, termasuk Amerika Serikat sendiri. Di AS dan Kanada, pemerintah berikutnya berpotensi menolak TPP karena dianggap merugikan kepentingan domestik mereka.

Tak berlebihan jika Joseph E Stiglitz dan Adam S Hersh menganggap pakta ini tak semegah tampak luarnya. Di dalamnya masih diwarnai dinamika rumit yang sama sekali tak menjamin masa depannya.

Selandia Baru sudah mengancam akan keluar kalau tak sepakat dengan AS dan Kanada mengenai produk susu. Sebaliknya, kekuatan oposisi di Kanada mengangkat isu ini pada masa pemilu, sehingga jika kelompok oposisi menang, keikutsertaan TPP berpotensi direvisi.

Australia sama sekali tidak senang terhadap kebijakan AS dan Meksiko mengenai perdagangan gula, sementara AS tak sependapat dengan Jepang terkait perdagangan beras. Perbedaan kepentingan antarnegara anggota masih begitu lebar.

Polemik tak sekadar perbedaan kepentingan politik. Secara konseptual ada beberapa dalil yang bisa dipersoalkan, misalnya perlindungan hak cipta produk farmasi. Secara teoretis, hak cipta akan meningkatkan inovasi, tetapi secara empiris bisa jadi sebaliknya. Hak cipta justru menjadi proteksi yang memberi insentif produsen farmasi tak melakukan inovasi sebagaimana diharapkan.

Lalu, apakah sebaiknya kita melanjutkan rencana untuk masuk TPP? Argumen yang sering disampaikan, Vietnam saja berani, mengapa kita tidak? Filipina sudah menyatakan akan bergabung dan Thailand mulai menyiapkan diri. Jika ukurannya daya saing dan skala ekonomi, keikutsertaan Vietnam menarik karena justru merasa paling siap dan diuntungkan.

Jadi, mengapa kita tak berangkat dari strategi elementer menemukan titik terkuat untuk masuk TPP? Perdagangan bebas tak lagi soal menang kalah secara mutlak karena itu hanya ilusi. Cukup kalau kita bisa unggul di berbagai sektor tertentu yang mampu memberi efek pengganda yang relatif luas di dalam negeri. Dengan kata lain, kita menjadi bagian dari mata rantai pasokan regional atau global.

Sebut saja industri tekstil dan alas kaki, meski punya pesaing berat Vietnam, atau produk makanan dan produk pertanian yang masih berpotensi unggul, kecuali Thailand masuk. Selain itu, kita juga kuat di produksi olahan hasil perkebunan, seperti industri ban yang memanfaatkan komoditas karet domestik.

Meski ada potensi kekuatan sektoral, harus diakui kita memiliki kelemahan struktural. Sektor padat karya mengalami dinamika rumit terkait penentuan upah buruh, biaya logistik, dan biaya pinjaman tinggi. Sementara sektor pengolahan ditandai dengan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja yang rendah.

Satu pertanyaan mendasar yang perlu dikaji, mampukah kita meningkatkan daya saing dan produktivitas ekonomi dengan masuk TPP? Bisa diduga, jawabannya bukan ya dan tidak. Di situlah keputusan politik berperan, menentukan arah.

Jadi, yang diperlukan adalah kepastian arah serta keteguhan mewujudkannya. Keberanian mengambil keputusan adalah satu hal, konsistensi menjalankan tatanan secara sistematis adalah hal lain. Keduanya harus dimiliki, bukan salah satu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar