Paris Diserang Lagi
Jean Couteau ;
Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
15 November 2015
”Jean...Ada serangan teroris di Paris. Mungkin sampai 150 orang
mati”.
Berita itu jatuh begitu saya, tadi, di dalam bentuk pesan singkat ketika saya
sedang asyik menikmati keragaman ala Indonesia di Borobudur Writers and Culture Festival. Astaga!
Yang pertama datang ke
benak saya, sebagai reaksi atas pembantaian keji itu, ialah Paris puluhan
tahun yang lalu, ketika kami, para mahasiswa Perancis, 80.000 jumlahnya,
berdemo di kota yang sama demi ”persaudaraan” manusia. Sepanjang jalan kami
berteriak: ”Kami semua adalah Yahudi
Jerman”, sebagai tanda solidaritas terhadap tokoh mahasiswa ’Cohd-bendit’
yang dua kali dianggap oleh masyarakat tertentu ”hina”, sebagai orang Jerman
yang sekaligus Yahudi, dan mau diusir dari Perancis oleh pemerintah karena
alasan politik.
Sekarang, sebelum
kecurigaan tertuju kepada orang-orang Arab dan orang-orang Islam, saya ingin
berteriak, dan berharap semua orang Perancis bakal berteriak: ”Kita semua adalah orang Arab nan Islam,
sebagai tanda solidaritas terhadap mereka yang pasti bakal dicurigai meski
tak bersalah”.
Enam bulan yang lalu,
ketika kaum teroris membunuh secara keji hampir seluruh tim editorial majalah
Charlie Hebdo, yang diserangnya ialah prinsip pertama Revolusi Perancis tahun
1789, yaitu Liberté: kebebasan
berpikir yang mutlak, hak untuk berbeda pendapat dan bersikap merdeka. Kini, yang
diserang adalah prinsip ketiga, yang lebih mendasar lagi: Fraternité, yaitu persaudaraan umat
manusia, pernyataan bahwa kita, umat manusia, pada dasarnya ”bersaudara”, apa
pun ras, bangsa, atau agama dan kepercayaan setiap orang.
Saya bukan tanpa menyadari
bahwa, seperti halnya Pancasila, baik ”Liberté,
Egalité, maupun Fraternité” (Persaudaraan), tidak pernah akan berhasil
diwujudkan secara sempurna. Namun, hal ini tidak berarti bahwa tidak harus
diperjuangkan. Kini, apa pun alasan sejarah yang dijadikan dalihnya, kita
tidak boleh membiarkan beredar tafsir yang tidak hanya hendak memisahkan dan
melakukan diskriminasi antara kita berdasarkan agama yang kita anut, tetapi
yang lebih jauh lagi, bersedia membunuh atas nama agama itu sendiri. Tafsir
tersebut merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan rasa keadilan untuk
berketuhanan.
”Mengapa serangan
seperti ini bisa menimpa Paris untuk kedua kalinya di dalam 10 bulan?” tanya
seorang teman wartawan. Oleh karena prinsip ”liberté” di atas: orang bisa berpikir
apa saja asal tidak memperlihatkan maksud melakukan kekerasan. Kaum salafi
yang menjanjikan neraka tidak masalah. Masalah timbul bila terdapat anggota
dari kaum itu merasa dirinya menjadi tangan Tuhan untuk mengirim orang ke
neraka itu. Maka salah satu risiko mendatang untuk Perancis ialah
dimaklumatkan berbagai undang-undang yang dapat mengancam kebebasan
berekspresi, yakni liberté itu. Misalnya, bila ragam salafisme damai itu
dilarang, demokrasi terancam dan prinsip revolusi Perancis (Liberté, Egalité, Fraternité)
dikhianati. Hal ini bisa saja terjadi bila pada pemilihan umum mendatang
partai ekstrem kanan (ultra-nasionalis) menumbangkan pemerintahan garis
tengah yang kini berkuasa.
Harus disadari bahwa
radikalisme Islam tidak muncul di Perancis secara kebetulan. Ia merupakan
hasil dari aneka luka sosial dan historis: Pendirian negara Israel (1948);
Perang kemerdekaan Aljazair (1954-1962); kenyataan bahwa banyak migran
Magribi kini merupakan ”proletariat” baru yang menemukan ”bahasa perlawanan”
bukan dalam komunisme, yang mati, tetapi di dalam tafsir harfiah agama Islam.
Bila ditambah alasan luar negeri: Perang di Syria/Irak, guncangan di Sahel
dan Afrika Tengah, alasan untuk memusuhi Perancis berjibun. Hal-hal ini tidak
berarti bahwa tidak ada orang Magribi Islam yang berintegrasi dengan baik.
Menteri Pendidikan adalah wanita Maroko; banyak tentara Perancis beragama
Islam atau Yahudi.
Peristiwa yang kini
menimpa, seperti peristiwa yang beberapa tahun yang lalu menimpa Indonesia,
menunjukkan betapa kita perlu memperkuat sarana komunikasi dan mediasi bukan
hanya antarbangsa dan kelas sosial—seperti umum dilakukan selama ini, tetapi
juga antarsistem kepercayaan.
Berkenaan dengan ini
harus kita sadari bahwa hal ini semakin sulit dilakukan oleh karena guncangan-guncangan
makro yang mengoyakkan tatanan sosio-ekonomi dan sosio-kultural global.
Namun, kita tidak boleh membiarkan aneka persaingan yang mencirikan sistem
global menjelma menjadi ”kebencian”. Harus kita ciptakan instrumen
penanggulangan. Bila hal ini dirasakan sulit, kita harus mengingat kata-kata
Martin Luther King. ”Darkness cannot
drive out darkness, only light can do it. Love cannot drive out hate, only
love can do it” (”Kegelapan tidak
bisa mengusir kegelapan; hanya cahaya yang bisa. Kebencian tidak bisa
mengusir kebencian, hanya kasih yang bisa”). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar