Senin, 16 November 2015

Budi

Budi

Putu Setia ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                   TEMPO.CO, 14 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ini Budi dan ini ibu Budi. Begitulah halaman pertama buku pelajaran membaca anak-anak sekolah dasar. Kenapa Budi? Kenapa bukan Badu? Penyusun buku menyadari pentingnya pendidikan karakter anak sejak dini. Budi bukan sekadar nama orang, tapi juga sebuah kata yang punya makna positif dalam hal moral, akhlak, tutur kata. Jika kata budi ditambah pekerti yang berarti perilaku atau laksana, maka budi pekerti adalah tingkah laku yang didasari akhlak mulia. Dari sini akan lahir orang-orang budiman.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada awal tahun ajaran yang lalu mengembangkan program yang disebut Penumbuhan Budi Pekerti dengan menjadikan sekolah sebagai taman untuk menyemai karakter positif anak bangsa. Itu dianggap penting karena penumbuhan budi pekerti di sekolah dan pembelajaran budi pekerti di rumah tangga tak berbekas ketika anak keluar dari lingkungan itu.

Budi pekerti memang sudah luntur di tataran masyarakat. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin menyebutkan, "Saat ini Indonesia sudah dalam kondisi darurat akhlak." Pernyataan Ma'ruf setelah membuka rapat kerja MUI di Ancol pekan lalu itu menjadi running text di televisi dengan kalimat, "MUI: Indonesia Darurat Budi Pekerti".

Kegelisahan Ma'ruf mewakili keresahan para ulama, pemuka agama, dan para "perindu budi pekerti". Tetapi siapa yang mendengarkan suara mereka sekarang ini? Siapa yang bergerak menyiram darurat ini? Membandingkan darurat budi pekerti dengan darurat asap dan sebentar lagi darurat banjir, tentu sulit. Asap bisa dipadamkan dengan menyiramkan berton-ton air dari pesawat terbang, kalaupun kewalahan bisa diakhiri dengan doa minta hujan. Dampak banjir bisa ditanggulangi dengan cepat, meskipun tanpa doa minta kemarau cepat datang. 
Namun budi pekerti yang darurat membutuhkan gerakan bersama untuk menanggulangi dan syaratnya adalah korban dari buruknya budi pekerti ini dirasakan oleh banyak orang. Yang terakhir ini belum tampak.

Orang tak suka jika seorang gubernur sering berkata kotor dan penampilannya selalu marah, meskipun mengagumi cara kerjanya yang cepat dan tanggap. Tapi pengkritik itu juga melontarkan kata-kata yang tak kalah kasarnya dan media kita juga lebih suka menampilkan gubernur yang marah ketimbang gubernur lagi senyum atau ketawa. Caci-maki, berkata jorok, dan debat saling serobot bicara menjadi barang jualan dan menjadi tontonan. Sepertinya ada yang suka hal itu dan diciptakan keberadaannya.

Darurat budi pekerti, darurat akhlak, darurat moral, atau apa pun namanya akhirnya terjadi. Ma'ruf Amin memberi contoh, kasus paedofil yang marak dan krisis moral lainnya banyak disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi yang menggeser jauh norma kepantasan yang selama ini dipegang masyarakat. Disebut penyebabnya, antara lain, banyaknya konten pornografi di Internet.

Karena itu, MUI akan menggenjot gerakan perbaikan akhlak bangsa, misalnya meminta pemblokiran konten porno. Gerakan ini harus pula menjadi program majelis-majelis agama lainnya. Partisipasi semua pihak dibutuhkan. Pengguna media sosial, misalnya, bisa mempelopori dengan membuat status sopan dan memblokir status caci-maki. Media televisi membuat siaran yang lebih edukatif—istilah di era Menteri Penerangan yang baik ditiru. Jika tidak, mari pindah channel. Perbaikan akhlak ini menyambung dengan gerakan Anies Baswedan lewat program penumbuhan budi pekerti di sekolah.

Masalahnya, apakah kita mau mengakhiri darurat budi pekerti ini dan menjadi orang berbudi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar