Padri itu
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO,
26 Oktober 2015
Padri itu, Romo Jacques,
diculik di awal pekan ketiga Mei 2015. Ia sedang duduk di kamarnya yang
sempit di biara Mar Elian di tepi Kota Qaryatain di Suriah ketika orang-orang
bersenjata ad-Dawlah al-Islamiyah datang. Kekuasaan yang dalam bahasa Inggris
disebut Islamic State itu segera menjadikannya sandera. Tak banyak orang yang
tahu.
Tapi pengarang Jerman
terkemuka, Navid Kermani, yang mendapat penghargaan Friedenspreis di Pekan
Raya Buku di Frankfurt 18 Oktober yang lalu, tak melupakannya. Ia menyebut
nasib Romo Jacques secara khusus dalam pidato yang memukau dalam upacara di
Paul Kirche di hari Minggu itu.
Kermani, keturunan Iran, dan bisa
disebut sebagai pengarang muslim Jerman, bukan hanya seorang ilmuwan, tapi
juga sastrawan sekaligus pemikir yang sesekali mengerjakan perjalanan
jurnalistik. Di musim gugur 2012 ia mengunjungi Suriah yang diremuk perang
untuk sebuah reportase. Di saat itulah ia ketemu Romo Mourad di sebuah biara
batu abad ke-7, di tengah kesunyian gunung-gunung gurun.
Biara itu biasa dikunjungi umat
Kristen dari mana-mana, tapi juga, dalam jumlah yang lebih besar, muslim
Arab. Mereka, kata Kermani, "Datang mengetuk pintu untuk menemui
saudara-saudara yang Nasrani, untuk berbicara, bernyanyi, dan berdiam diri
bersama, dan juga bersembahyang mengikuti ritual Islam di sebuah sudut gereja
di mana tak ada gambar atau patung."
Romo Jacques anggota Ordo Mar
Musa yang didirikan di awal 1980 di biara yang sudah rusak itu. Komunitas
Katolik di Qaryatain itu unik: didirikan khusus dengan sikap yang membawakan
"cinta kasih kepada muslim".
Memang terdengar
"gila", kata Kermani, bahkan "menggelikan": orang-orang
Kristen yang, sebagaimana mereka katakan sendiri, "jatuh cinta kepada
Islam". Tapi ini sebuah kenyataan di Suriah belakangan ini. "Dengan
kerja tangan mereka, kebaikan di hati mereka, dan doa di hati mereka, para
biarawan dan biarawati Mar Musa menciptakan sebuah tempat yang bagi saya
bagaikan sebuah utopia…," kata Kermani pula. Lingkungan ini mungkin tak
mereka perkirakan sendiri sebelumnya, tapi ternyata "telah jauh
menjangkau rekonsiliasi eskatologis".
Romo Mourad memimpin biara itu
sendirian. Pendiri komunitas itu, seorang Jesuit dari Italia bernama Paolo
Dall'Oglio, sudah tak diketahui di mana lenyapnya. Sejak 28 Juli 2013 ia
diculik pasukan Islamic State. Tapi
karena bersuara kritis kepada Gereja Suriah--ordo ini menentang sikap para
pembesar Katolik yang mendukung rezim--biara ini praktis tak dipedulikan.
Jacques Mourad orang Suriah
asli yang pendiam dan tekun. Bicaranya pelan, biasanya sambil menutup mata,
dan tampak lelah. Tapi kelelahan itu juga sebuah penegasan bahwa "ia tak
akan bisa beristirahat sampai ia masuk ke kehidupan setelah ini":
kelelahan "seorang dokter dan pemadam kebakaran yang membagi kekuatannya
ketika kesulitan jadi terlalu berat".
Padri itu menampung ratusan
pengungsi yang melarikan diri dari perang saudara Suriah, sebagian besar
muslim. Ia tahu bahaya yang bisa terjadi. Tapi ia tak menganjurkan umatnya
meninggalkan tempat itu. "Kami, orang Nasrani, adalah bagian dari negeri
ini, meskipun kaum fundamentalis tak menghargai kenyataan ini, baik di sini
maupun di Eropa. Kebudayaan Arab adalah kebudayaan kami."
Ikatan kepada tanah tumpah
darah itukah yang menyatukan hati umat Katolik di Qaryatain dengan mereka
yang berbeda iman? Mungkin. Tapi mungkin juga ada sesuatu yang lebih kuat.
Ketika orang-orang bersenjata yang mengklaim diri penegak hukum Quran itu mengancamnya,
Romo Mourad bersiteguh menyatakan bahwa mereka "telah memencongkan wajah
Islam yang sebenarnya".
Kermani terkesima mendengarkan
kata-kata itu--yang justru diucapkan seorang nonmuslim yang terancam, tapi
penuh dengan kepercayaan kepada "wajah Islam" yang tak kejam.
Persoalannya, justru kini belum
terjawab bagaimana gerangan wajah Islam yang sebenarnya. Wajah yang dengan
buas menyembelih manusia lain dan berteriak, "Allahu Akbar," karena
takut kepada yang berbeda dan berubah, cemas kepada gerak sejarah ke masa
depan yang tak pasti? Atau wajah yang pernah menyinarkan ilmu, pemikiran, dan
keindahan berabad-abad, yang melahirkan karya Ibnu Arabi, puisi Rumi,
historiografi Ibnu Khaldun, filosofi Ibnu Rushd, yang berdiri dengan iman
yang kuat seperti iman Romo Mourad, dan sebab itu berani membuka diri kepada
yang di luar sana?
Dalam pidatonya, Kermani
menyuarakan rasa murungnya bahwa yang berjangkit di kalangan Islam kini
adalah tak dikenalnya lagi tradisi kreatif yang berani itu. Yang hendak
diterapkan kaum Wahabi dan Islamic
State adalah doktrin yang seakan-akan tak tersentuh sejarah, bahkan
antisejarah: Islam dianggap selesai sebelum manusia mencipta. Akhirnya yang
terjadi, kata Kermani, adalah "amnesia peradaban". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar