Kamis, 05 November 2015

Hutan

Hutan

Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                     TEMPO.CO, 31 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Asap bikin repot banyak orang. Ini bukan asap dari penjual sate pinggir jalan, melainkan asap dari jutaan hektare hutan yang terbakar. Hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara Timur, bahkan merembet ke beberapa gunung di Jawa. Nusantara seakan begitu kecil, api seperti mudah melompat menyeberang laut luas.

Para menteri sibuk, kecuali Menko Puan Maharani, yang menurut Menteri Kesehatan tak ikut meninjau asap. Mungkin Ibu Puan alergi asap. Maklum, itu memang berbahaya. Presiden pun teramat sibuk. Sudah enak-enak berada di Amerika Serikat dipaksa pulang oleh asap, meski saat berangkat pun asap sudah mengepul dahsyat. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh juga menghabiskan waktu lama di stasiun televisi miliknya untuk mengabarkan para relawan NasDem, lengkap dengan atribut dan bendera, yang berangkat ke empat provinsi untuk melawan asap.

Apakah rakyat ikut sibuk memadamkan api di hutan? Sudah pasti. Tapi apakah kesibukan rakyat itu digerakkan oleh lembaga adat setempat? Belum pasti. Ada kabar dari Riau, lembaga adat yang secara faktual ada di sekitar hutan terpinggirkan. Mereka bukan saja tak dilibatkan jika pemerintah memberikan izin konsesi hutan, tak jarang tanah ulayat mereka pun dicaplok patok pengusaha hutan. Teriakan mereka tak terdengar.

Kedekatan masyarakat adat dengan hutan tentu tak cuma di Riau. Di banyak tempat di Nusantara, barangkali sudah tradisi turun-temurun hutan itu dijaga oleh komunitas adat. Mereka menyatu dengan hutan, termasuk apa pun yang ada di dalamnya, baik flora maupun fauna. Maka, ketika masyarakat adat merasa tidak diajak bicara oleh penguasa dalam membagi dan mengkapling hutan, mereka menjadi jauh dengan hutan. Begitu ada pengusaha yang membuka lahan dengan membakar hutan, masyarakat adat bukan saja cuek. Mereka malah ikut membakar hutannya, yang hanya dua atau tiga hektare. Tak ada lagi rasa memiliki hutan.

Di Bali, tak banyak ada hutan jika dibandingkan dengan Sumatera atau Kalimantan. Karena itu, tak ada "pengusaha hutan". Masyarakat adat masih merasa memiliki hutan, terutama hutan di gunung, yang umumnya memiliki tempat persembahyangan pada puncaknya. Kalau ada asap mengepul sedikit saja, kentongan dibunyikan, warga adat langsung menyerbu sumber asap.

Para pendaki gunung pun diawasi masyarakat adat. Mereka tak boleh berbuat seenaknya, misalnya merusak ranting pohon dan membuang puntung rokok. Berbeda dengan gunung-gunung di Jawa, meskipun ada kawasan tirakat di puncaknya, tak ada komunitas adat yang mengawasi pendaki. Ketika lereng Gunung Lawu terbakar, yang sibuk memadamkan api adalah tim SAR. Mendaki gunung sudah menjadi komoditas, membayar di pos pendakian, menyewa penduduk yang membantu angkut peralatan. Warga sekitar gunung hanya menonton sambil berjualan minuman, tak merasa memiliki hutan.

Tapi hutan yang terbakar di Sumatera dan Kalimantan, yang menebarkan bencana asap ke mana-mana, sesungguhnya bukan hutan dalam artian tumbuh pohon besar. Ini merupakan lahan gambut yang memang tak ditumbuhi pohon. Justru gambut itu harus dimusnahkan agar lahan bisa lapang untuk menanam kelapa sawit. Karena begitu luasnya area untuk menanam sawit, membakar lahan menjadi cara yang paling murah.

Hutan ataupun lahan gambut seharusnya ada yang menjaga. Kalau masyarakat adat sudah lepas tangan, penjagaan semestinya muncul dari pekerja perusahaan perkebunan. Lalu ada pengawasan dari pemerintah sebagai pemberi izin. Masalahnya lahan itu begitu luas, apa mereka sanggup mengawasi? Makanya, kenapa komunitas adat di sekitar lahan itu tak dilibatkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar