Menggugat Profesor
Agus Suwignyo ; Pedagog cum Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
06 November 2015
Sayang sekali perbincangan tentang keprofesoran yang
diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi baru-baru
ini (Kompas, 30-31 Oktober 2015) tidak menyentuh inti persoalan mengapa
kinerja perguruan tinggi di Indonesia secara umum tetap loyo di tengah
persaingan perguruan tinggi dunia. Padahal, alokasi anggaran Ditjen Dikti
telah meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.
Salah satu indikator ”keloyoan” itu adalah hanya ada satu
perguruan tinggi (PT) tahun ini, yaitu Universitas Indonesia, yang masuk
dalam daftar 800 universitas terbaik dunia versi Times Higher Education Survey (THES) 2015/2016. Itu pun di
peringkat kategori terbawah: 600-800. Kita tahu pemeringkatan seperti THES
bukan patokan mutu yang baku, tetapi ia memperjelas gambaran keterpurukan PT
di Indonesia.
Ada ironi besar. Hampir setiap minggu diselenggarakan seminar
dan kuliah umum berlabel ”internasional” di kampus-kampus, di Jawa dan luar
Jawa, dengan pembicara dari luar Indonesia. Kesempatan dosen-dosen mengikuti
konferensi ataupun ”penyegaran akademik” di luar negeri juga semakin terbuka.
Selain itu, yang paling mencolok dalam beberapa tahun terakhir
adalah banyaknya lokakarya pengelolaan jurnal ataupun pelatihan publikasi
dosen pada jurnal-jurnal internasional bereputasi. Dan, itu lengkap dengan
berbagai fasilitas dana untuk biaya pendamping (sic!), biaya proofreader bahasa Inggris, sampai
insentif publikasi kepada dosen bahkan ketika artikelnya baru akan dikirimkan
dan belum tentu akan diterbitkan oleh jurnal mana pun. Akan tetapi, mengapa
semua upaya ini tidak juga mendongkrak international visibility PT Indonesia
di kancah dunia? Ke mana saja para profesor kita?
Bukan perkara
jumlah
Sejauh ini banyak pihak telah menyadari bahwa upaya-upaya
memperbaiki kinerja akademik PT sering dilandasi cara pandang tambal sulam
dan kemauan politik setengah hati. Namun, yang jarang dibincangkan secara
langsung, kendati mungkin telah disadari, adalah praktik di jantung kehidupan
akademik sehari-hari, yaitu para dosen dan profesor secara umum kian
berorientasi capaian-capaian medioker dan pragmatis. Fenomena kosongnya
kampus (Kompas, 30/10/2013) tampaknya terus berlanjut dan kian akut.
Jumlah profesor yang cuma sekitar 2,3 persen, yaitu 5.133 orang,
dari total 220.426 dosen tetap dan tidak tetap di seluruh PT di Indonesia
saat ini (Kompas 31/10/2015) mungkin salah satu masalah. Namun, itu bukan
faktor utama, apalagi satu-satunya yang menyebabkan PT kita loyo dalam kiprah
internasional.
Di sejumlah negara maju, jumlah profesor selalu relatif sedikit
dibandingkan komposisi keseluruhan tenaga pengajar di PT. Di Inggris,
misalnya, menurut Higher Education
Statistics Agency, hanya sekitar 10 persen dari total 194.245 dosen tetap
dan tidak tetap PT tahun 2014 berstatus full
professor. Di Jerman, menurut Higher
Education Development Association, jumlah profesor terus turun sehingga
dalam periode 1996-2005 rata-rata rasio profesor dan mahasiswa mencapai 1:60,
rekor terendah dalam sejarah akademik Jerman setelah runtuhnya Tembok Berlin.
Meskipun begitu, Pemerintah Federal Jerman membiarkan beberapa posisi professorship di bidang humaniora,
linguistik, dan sastra tetap lowong selama 10 tahun terakhir karena
efisiensi. Di Amerika Serikat, jumlah profesor universitas cenderung stagnan
meskipun jumlah mahasiswa meningkat, sebagaimana ditulis National Center for Education Statistics.
Australia mungkin satu-satunya negara maju yang mengalami
kenaikan jumlah profesor secara fantastis. Menurut The Australian
(18/11/2009), jumlah profesor dan associate professor di Australia meningkat
hampir 70 persen dalam 12 tahun (1996-2008). Peningkatan ini disebabkan oleh
kebijakan pemerintah membuka lowongan posisi professor/associate professor
dengan status kontrak berjangka.
Selain itu, pemerintah memutuskan menyematkan gelar ”profesor
sementara” untuk akademisi-akademisi yang sedang mengemban tugas
administratif di kampus meskipun secara keilmuan mereka belum profesor.
Meskipun awalnya diapresiasi, proliferasi jabatan ”profesor” di Australia itu
kini menciptakan persoalan serius menyangkut nasib mereka yang kontrak
kerjanya telah habis. Persaingan antarprofesor menjadi sangat sengit,
cenderung kasar (lihat, misalnya, tulisan ”Academic
Assholes and the Circle of Niceness” di thesiswhisperer.com). Beberapa
rekan di Sydney, Canberra, dan Melbourne mengaku selalu tertekan dan merasa
tidak aman secara finansial karena setiap dua tahun harus mencari lowongan
baru dengan persyaratan yang semakin ketat.
Data itu menunjukkan bahwa di negara-negara maju relatif
sedikitnya jumlah profesor tidak selalu menjadi fokus perhatian. Di
negara-negara itu perhatian utama dalam meningkatkan kinerja PT adalah soal
mutu capaian para profesor dan efek spiral dari keprofesorannya. Profesor
dituntut (bukan oleh peraturan ketat, tetapi oleh tekanan pergaulan di
lingkungan komunitas keilmuannya) untuk menghasilkan publikasi bermutu hasil
penelitian primer secara rutin.
Tidak mengherankan, di konferensi-konferensi kita menjumpai para
Indonesianis kawakan, seperti Anthony Reid, MC Ricklefs, Peter Carey, Leonard
dan Barbara Andaya, Vincent Houben, dan William Liddle, masih memaparkan
penelitian dengan temuan-temuan empiris baru karya mereka sendiri. Bukan
sekadar daur ulang ataupun memanfaatkan data hasil kerja mahasiswanya.
Selain itu, besaran dana penelitian yang dibawa dari
sumber-sumber di luar kampus sering menjadi indikator tidak resmi pengakuan
keprofesoran seseorang. Melalui dana pihak ketiga, seorang profesor memiliki
keleluasaan mengembangkan penelitian bidang keahlian dalam skema payung
dengan merekrut mahasiswa dan melibatkan dosen-dosen yunior.
Untuk memacu kinerja akademisi, negara-negara maju memperhatikan
secara serius proporsi beban kerja mereka. Di Inggris, tahun 2014, sebagian
besar dosen (yaitu 94.480 orang atau 48 persen dari total jumlah dosen)
mengemban tugas mengajar dan meneliti, diikuti kategori dosen pengajar saja
52.575 orang (27 persen), dan dosen peneliti 45.580 orang (23,4 persen).
Hanya sedikit dosen yang mengemban tugas administratif-manajerial, yaitu
1.605 orang (0,83 persen).
Di Amerika Serikat, tahun 2010, hanya 13,7 persen dari 1.787.955
tenaga pendidik PT (termasuk community college) mengemban tugas administrasi.
Selebihnya berfokus pada kerja pengajaran, penelitian, dan pengabdian
masyarakat.
Di Jerman, profesor sangat terbantu oleh sistem ”habilitasi”
(habilitation). Sistem ini mengharuskan calon-calon profesor ”nyantrik” atau
magang dulu selama beberapa tahun kepada seorang profesor sebidang ilmu,
sebagai bagian dari proses mereka mencapai posisi ”profesor”. Dengan begitu,
profesor dan calon profesor dapat berbagi tugas mengajar dan meneliti.
Seandainya...
Seandainya seluruh 5.133 profesor yang kita miliki saat ini
sungguh-sungguh berkinerja dengan capaian mutu akademik yang baik, efeknya
lebih dari cukup (meskipun masih relatif kecil dibandingkan jumlah total
dosen) untuk menaikkan pamor keilmuan Indonesia dalam komunitas akademik
internasional. Indikator capaian mutu tersebut sebenarnya ”sederhana”, yaitu
publikasi hasil penelitian primer profesor pada jurnal internasional,
publikasi mahasiswa bimbingan, dan jumlah dana penelitian dari luar yang berhasil
dibawa profesor ke kampusnya.
Jika setiap dua tahun setiap profesor menghasilkan satu
publikasi internasional yang sungguh bermutu dan minimal dua mahasiswa
S-3-nya melakukan hal yang sama, maka setiap dua tahun ada sekitar 15.000
publikasi internasional bermutu diterbitkan dengan nama akademisi dan
institusi Indonesia. Efek spiral keprofesoran ini akan semakin besar jika
setiap profesor mampu mendatangkan dana penelitian sehingga ia dapat merekrut
lebih banyak mahasiswa doktoral dan melibatkan kolega-kolega mudanya dalam
penelitian post-doktoral. Sayang sekali kondisi di Indonesia saat ini tidak
seperti itu.
Hingga saat ini, di Indonesia, jabatan ”profesor” yang sangat
bergengsi tidak selalu diimbangi kinerja akademik dengan efek spiral yang
signifikan bagi peningkatan mutu akademik. Banyak profesor telah lama
meninggalkan kerja penelitian yang sesungguhnya, mungkin sejak tahun-tahun
pertama setelah menjadi doktor. Di konferensi-konferensi bidang ilmu, jika
ada profesor Indonesia turut sebagai penyaji, bicaranya ”compang-camping”
bukan saja karena kemampuan bahasa Inggris terbatas, melainkan juga karena
makalah yang disajikannya serba abstrak dengan pendekatan kedaluwarsa dan
miskin data primer yang baru.
Keluhan umum selama ini adalah para profesor dan dosen terjebak
dalam tugas-tugas administratif yang sangat membebani. Namun, jika diamati,
banyak profesor dan dosen sebenarnya menikmati tugas-tugas administratif itu
bagaikan kecanduan. Fenomenanya, cukup banyak profesor berusaha memperoleh
posisi struktural baru setelah menyelesaikan masa tugas suatu jabatan
struktural, alih-alih kembali ke habitat penelitian.
Karena makna simbolik ”profesor” yang sentral dalam dunia
akademik, rasanya kinerja keilmuan para profesor perlu ditata ulang terlebih
dahulu sebelum gagasan peningkatan mutu perguruan tinggi diterapkan dalam
peraturan yang mengenai semua dosen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar