Air Susu Dibalas dengan Air Tuba
Syamsul Rizal ; Guru Besar Universitas Syiah Kuala,
Darussalam;
Research Fellow pada Institute of
Oceanography, University of Hamburg, Jerman
|
KOMPAS,
06 November 2015
Cerita berikut ini terjadi di salah satu desa di Indonesia. Desa
ini dalam keadaan tak aman. Ada saja yang hilang karena ulah pencuri.
Kebanyakan yang dicuri adalah binatang piaraan penduduk: ayam, itik, atau
kambing.
Konon sang pencuri—kita sebut saja namanya Badu—sudah diketahui
identitasnya. Karena tak tertangkap tangan, sangat sulit membuktikannya.
Di samping itu, pencuri ini sangat mengerikan penampilannya. Ke
manapun pergi, dia selalu membawa parang yang diasah sangat tajam dan
menunjukkannya terang-terangan, demonstratif. Siapa pula yang berani
menangkap tangan pemuda yang berpenampilan seperti ini?
Kalau pemuda itu tak ada di kampung untuk beberapa minggu,
penduduk tidak mendapat gangguan sama sekali. Ternak-ternak piaraan penduduk
aman- aman saja. Ini pula yang menjadi indikator bahwa pemuda inilah biang
instabilitas di kampung itu.
Suatu saat, karena tak tahan lagi, seorang penduduk yang sering
kehilangan binatang piaraannya memasang kabel yang dialiri listrik di kandang
ternaknya. Tujuannya jelas: ingin menangkap dan membuktikan siapa pencuri
itu.
Betul saja, keesokan harinya semua penduduk kampung gempar
karena Badu yang selama ini dicurigai sebagai pencuri itu mati secara
mengenaskan: tersungkur dan terpanggang arus listrik. Penduduk bersujud
syukur.
Polisi bertanya kepada pemilik kandang: ”Untuk apa Anda memasang
kawat listrik di kandang?” Dia menjawab bahwa selama ini banyak ayam dan
itiknya dimangsa musang. Tujuannya tidak lain hanya untuk menangkap musang.
Aristoteles,
sebab alamiah dan sebab manfaat
Hujan terjadi karena peristiwa alamiah: penguapan air dari bumi,
kondensasi, sehingga terbentuk awan, membesarnya awan karena saling bertemu,
massa air yang berat tertarik oleh gaya gravitasi ke bawah dalam bentuk
hujan. Itu adalah hukum alam.
Aristoteles (384-322 SM), filsuf hebat yang lahir di Macedonia,
berpendapat bahwa semua benda yang ada di dunia ini berperilaku rasional
berdasarkan hukum alam atau sebab akibat. Namun, bukan sisi rasional seperti
itu saja yang membuat perilaku benda seperti itu. Menurut Aristoteles, ada
tambahan sebab lain: perilaku benda seperti itu terjadi agar benda itu
bermanfaat bagi alam semesta, khususnya manusia.
Oleh sebab itu, hujan yang turun bukan saja terjadi karena hukum
alam, tetapi agar tumbuh-tumbuhan berupa sayur- mayur dan buah-buahan dan
lain-lain juga bisa tumbuh agar bermanfaat bagi alam semesta, khususnya
manusia.
Demikian juga dengan laut: apa sebab air laut semakin menuju ke
kedalaman semakin dingin? Secara natur, air laut akan mengikuti hukum alam:
air yang lebih dingin mempunyai kerapatan yang lebih tinggi sehingga semakin
dingin, air akan semakin berat. Semakin berat, air ini akan lebih tenggelam
ke bawah karena gravitasi bumi. Fakta alamiah ini secara rasional membantu
kita memahami apa sebab air dingin terdapat di bagian bawah, dan air hangat
berada di atas dari laut. Lalu anomali air, yaitu kerapatan air bernilai
sangat tinggi ketika air mempunyai suhu 4 derajat celsius membantu kita
memahami dan menerangkan bahwa es dapat mengapung di atas laut.
Meminjam pendapat Aristoteles, bukan penyebab alamiah saja yang
membuat air dingin harus berada di bagian bawah dari laut. Namun, air laut
bersifat seperti itu agar dia bermanfaat buat alam semesta ini, khususnya
manusia.
Demikian juga halnya terhadap fakta bahwa es dapat mengapung di
atas laut. Fakta bahwa kerapatan es lebih rendah daripada air yang bersuhu 4
derajat celsius adalah keterangan dari sisi rasional saja. Fakta lainnya:
agar air laut bermanfaat bagi alam semesta, khususnya manusia, es harus
mengapung.
Bagaimana sekiranya es melawan kodratnya, dia tidak mengapung,
tetapi terpaksa tenggelam karena suatu sebab? Fenomena yang melawan hukum
alam ini disebut sebagai instabilitas atau keadaan tidak stabil. Kalau
masalah instabilitas ini yang terjadi, alam segera mengoreksinya: es akan
dipaksa segera naik ke atas, suka atau tidak suka. Agar situasi stabil segera
terjadi. Agar—seperti yang dikemukakan Aristoteles—kemanfaatan air laut bagi
alam semesta, khususnya manusia, tetap terjaga.
Lalu, bagaimana kita memaknai perilaku Badu? Badu jelas telah
melawan hukum alam. Hukum alam yang berlaku untuk manusia adalah hukum negara
dan hukum-hukum tak tertulis lainnya, seperti kita tak boleh menyakiti hati,
menghina, dan merendahkan orang lain.
Perilaku Badu ini—seperti halnya es yang tidak mau
mengapung—akan menciptakan instabilitas. Akibatnya perilaku Badu akan tidak
bermanfaat bagi alam semesta, bahkan merusak alam semesta.
Manusia dan
nonmanusia
Kalau pemikiran Aristoteles ini kita teruskan, kita akan sampai
pada kesimpulan bahwa semua makhluk yang ada di muka bumi ini (baik yang mati
maupun hidup), kecuali manusia, semuanya berperilaku secara alamiah dan dapat
diterangkan perilakunya secara rasional karena tunduk terhadap hukum alam.
Akibatnya, kehadiran mereka di dunia ini memberi manfaat bagi alam semesta,
khususnya manusia.
Kalau kita memandang di sekeliling kita, dengan memperhatikan
langit, bulan, matahari, sungai, angin, hujan, halilintar, kayu, dedaunan,
binatang-binatang kecil dan besar, tanah, pasir, dan seterusnya, perilaku
benda-benda ini semuanya dapat diterangkan secara rasional karena tunduk pada
hukum alam.
Adapun manusia yang tak mau tunduk pada hukum (alam),
perilakunya sudah tidak mungkin lagi diterangkan secara rasional. Di depan
orang ramai berperilaku secara sopan dan taat hukum, tetapi di saat orang
lain khilaf perilakunya hanya membuat rusak alam semesta. Perilaku seperti
ini berbeda dengan makhluk nonmanusia yang selalu tunduk pada hukum alam.
Sialnya, kalkulasi fisika, matematika, ekonomi, atau demokrasi
tak berlaku di sini: 51 persen orang baik tidak akan menang melawan 49 persen
orang jahat. Manusia yang tak terprediksi ini tak perlu banyak sekali: cukup
satu atau dua orang sudah bisa menghadirkan situasi instabilitas terhadap
orang sekampung, satu provinsi, satu negara, bahkan seluruh dunia.
Kebakaran hutan berhektar-hektar, teror bom di sana-sini,
hanyalah ulah sekelompok kecil manusia. Mereka bukan mayoritas, tetapi
kehadiran mereka bikin alam dan umat manusia merinding ketakutan, traumatik.
Akibatnya, alam semesta hanya tinggal tunggu nasib mengerikan
karena tak ada jaminan bahwa lebih banyak manusia yang baik akan membuat alam
semesta lebih terjaga. Dan, nasib alam semesta kita memang sungguh tragis:
memberikan yang terbaik bagi manusia, tetapi terkadang manusia membalas budi
baik alam ini dengan cara yang justru menyakitkan hati alam semesta. Air susu
dibalas dengan air tuba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar