Memuliakan Bahasa Indonesia
Gufran Ali Ibrahim ; Guru Besar Antropolinguistik Universitas
Khairun, Ternate; Kepala Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kemdikbud
|
KOMPAS,
02 November 2015
"Language is the
measure of our lives. -Bahasa adalah ukuran kehidupan kita."
(Toni Morrison, 1994)
Ikrar satu bangsa, satu tanah air, dan
(menjunjung) satu bahasa dalam Sumpah Pemuda, 87 tahun lalu, telah menaikkan
status bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Ikrar ini memperjumpakan semua
ikatan kelokalan Nusantara.
Inilah pemuliaan bahasa, menaikkan status satu
bahasa intraetnik jadi bahasa antaretnik yang melampaui segala batas dan
sekat, kemudian mengantar bahasa Indonesia menjadi bahasa perjumpaan dalam
kerangka keindonesiaan.
Dengan bahasa inilah kita sekarang berjumpa
dalam ruang kesadaran kebangsaan yang bineka: tukar pikiran, saling dengar,
saling belajar, saling negosiasi, dan membentuk kemajuan keindonesiaan kita
hingga kini. Bahasa Indonesia yang telah dimuliakan ini kini kita gunakan
dalam "membangun percakapan"-meminjam ungkapan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Anies Baswedan-untuk terus menciptakan Indonesia yang lebih
maju dalam merawat kebinekaan kita.
Perekat yang dinamis
Andai pemuda bangsa mula-mula itu tak berikrar
memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa, mungkin saja keindonesiaan
kita jadi lain. Tokoh bangsa ini sesungguhnya adalah "pemulia bahasa
negara-bangsa". Pada titik ini mereka tidak hanya bersepakat berbangsa
satu, bertanah air satu, dan menjunjung bahasa satu, tetapi juga telah
membuat bangunan kebangsaan. Mereka telah memperjumpakan kebinekaan bangsa
dengan bahasa sebagai perekat yang dinamis.
Kesadaran memilih satu bahasa untuk perjumpaan
dalam ruang kebangsaan yang bineka ini adalah tanda bahwa pemuda mula-mula
bangsa ini tak sekadar ingin bercakap dalam satu bahasa, tetapi justru sedang
memainkan suatu ketinggian budi bahasa. Bahasa tak hanya dipersepsi sebagai
realitas linguistik semata. Bahasa Indonesia dipilih untuk memperjumpakan
keragaman dan meletakkan kepelbagaian sebagai kekayaan bangsa.
Dengan cara ini, mereka telah melampaui sekat
atau demarkasi linguistik, lalu masuk ke dalam suatu ruang bersama, bercakap,
membangun dialog, untuk membentuk suatu bangsa yang bineka. Kalau kecakapan
bertutur pada bahasa masing-masing adalah fakta alamiah makhluk yang
bercakap-cakap (animal speaking), maka bersepakat memilih satu bahasa
untuk membangun percakapan dan menyemai perjumpaan dalam relasi keberbedaan
dan kepelbagaian adalah kehalusan dan ketinggian budi (bahasa) dan gerakan
pemuliaan bahasa Indonesia.
Delapan puluh tahun lalu bahasa Indonesia
memang telah dimuliakan, kemudian mengikat erat kita ke dalam rumah besar
Indonesia, tetapi dalam satu-dua dekade terakhir kita mengamati begitu banyak
tampilan berbahasa kita yang menarik sekaligus mencemaskan. Menarik karena
sebagai bangsa kita telah membawa bahasa nasional kita, bahasa Indonesia, ke
tingkat kemajuan yang bisa mewadahi pertumbuhan peradaban Indonesia. Bahasa
Indonesia kini telah mengalami metamorfosis linguistik yang begitu hebat,
dari bahasa pepatah-petitih menjadi bahasa yang lugas-rasional, dari bahasa
yang "meliuk-liuk" ke bahasa yang lurus-linier, dari bahasa yang
berkelimpahan menjadi bahasa yang ajek-padat.
Akan tetapi, di sisi lain, kemajuan bahasa ini
mencemaskan karena saat yang bersamaan-dalam satu dekade terakhir, terutama
setelah reformasi-kita pun menyaksikan bahasa Indonesia jadi begitu
"binal". Tindak-tutur kita dalam perhelatan pemilihan kepala
daerah, dalam kegaduhan yang dipertontonkan elite politik, tindak-tutur kita
dalam perkelahian antarpelajar dan antarmahasiswa, antarkampung, antara
pedagang dan satuan polisi pamong praja, bukan lagi bahasa yang merangkul,
bukan lagi bahasa yang mengajak, bukan pula bahasa yang memuliakan.
Bahasa kita pun jadi bahasa permusuhan, saling
mengenyahkan, bahasa kelompok, bahasa yang menghinakan kemanusiaan kita.
Meski berjumpa, bahasa kita bukan bahasa dialogis, tetapi bahasa monologis.
Kita bertutur dengan orang lain, tetapi kita tidak berdialog. Bahasa kita
adalah bahasa klaim. Berbahasa untuk memaksa didengarkan, tetapi enggan
mendengarkan.
Bahasa kita adalah bahasa kelompok dan persona
sosial kita adalah "kami" dan "mereka". Deiksis sosial
kita adalah "di sini" dan "di sana". Kami "di
sini" dan mereka "di sana". Pula, ke-"di sini"-an
dan ke-"di sana"-an bukanlah posisi koeksistensi, tetapi ruang
oposisi, saling menyisihkan. Bahasa kita bahasa berseberangan, bukan yang
menyeberangkan. Bahasa kita adalah bahasa pemisahan, bukan lagi yang memperjumpakan.
Bahasa kita kini bahasa yang menegasikan,
bukan menegosiasikan. Kita tidak sedang bernegosiasi, tetapi saling
bernegasi. Kami benar dan mereka salah. Kita seakan kehilangan persona sosial
bernama "kita". Kita bertutur untuk sama-sama merebut ruang, bukan
membagi ruang. Bahasa kita bahasa kemarahan, bukan bahasa keramahan.
Padahal, tinggi budi bahasa sebagai wujud
pemuliaan bahasa haruslah ditandai dengan bahasa yang merangkul dan
tindak-tutur yang saling memuliakan. Bahasa kita adalah bahasa negosiasi,
menyatukan, bukan yang memisahkan, memahami dan bukan menekan untuk memaksa
dipahami. Tinggi budi bahasa haruslah ditandai dengan bertindak-tutur untuk
menemukan jalan keluar, bukan untuk menyodorkan jalan buntu, meletakkan
"orang lain" sebagai mitra wicara, bukan lawan bicara. Bahasa kita
haruslah bahasa kemitraan, bukanlah tindak-tutur permusuhan.
Kalau kita bertindak-tutur karena marah, atau
kemarahan itu adalah tindak-tutur itu sendiri, maka bahasa kita adalah bahasa
kemarahan. Kalau kita bertutur karena ingin mengenyahkan atau pengenyahan itu
adalah tindak-tutur itu sendiri, maka kebudayaan kita adalah kebudayaan
kelompok, dan kebudayaan kelompok pastilah komunal.
Cermat-apik-santun
Supaya kita terus jadi bangsa yang berbudi
bahasa tinggi, pengertian mengenai berbahasa (Indonesia) yang baik dan benar
yang kita pegang selama ini sebagai kata-kata sakti untuk menjaga kemuliaan
bahasa Indonesia perlu dirumuskan kembali. Kita rasanya tak cukup lagi
mengandalkan "baik" dan "benar", tetapi memerlukan soal
kecermatan, keapikan, dan kesantunan, ketika kita melihat fakta-fakta orang
Indonesia berbahasa Indonesia.
Kita perlu berbahasa Indonesia secara cermat,
apik, dan santun. Kecermatan berkelindan dengan kegramatikalan dan
kebernalaran. Keapikan berkaitan dengan estetika bertutur yang mengatarsis
jiwa. Adapun kesantunan berasosiasi dengan pengelolaan etika bercakap.
Berbahasa Indonesia secara cermat adalah berbahasa yang bernalar, berbahasa
Indonesia secara apik adalah berbahasa yang menggugah, dan berbahasa secara
santun adalah berbahasa yang mengajak dan merangkul.
Inilah tiga tanda penting semesta budi bahasa
Indonesia. Dari titik inilah kita mulai kembali bergegas membuat pemuliaan
kedua atas bahasa Indonesia: berbahasa untuk membangun perjumpaan Indonesia
dalam merawat kebinekaan dalam segala aspek kebangsaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar