Manusia dan Bangsa
Boediono ; Wakil Presiden RI 2009-2014
|
KOMPAS,
13 November 2015
Nun di perbatasan
Amerika Serikat dengan Meksiko ada sebuah kota namanya Nogales. Kota ini unik
karena terbelah dua oleh pagar yang menandai perbatasan dua negara. Bagian
utaranya adalah bagian dari Arizona, negara bagian Amerika Serikat, sedangkan
bagian selatannya adalah bagian dari Sonora, negara bagian Meksiko.
Sejarahnya kembali
pada abad ke-19, mengapa satu kota terbelah dua dan menjadi bagian dari dua
negara yang berbeda. Tetapi, kita tidak perlu ke situ. Yang perlu kita catat
adalah bahwa dengan sumber alam yang tidak berbeda dan mayoritas penduduk
yang lahir dari nenek moyang yang sama, kondisi kehidupan di kedua bagian
kota itu saat ini sangat berbeda.
Di bagian utara
rata-rata penghasilan rumah tangga mencapai 30.000 dollar AS per tahun,
sedangkan di sebelah selatan hanya sekitar 10.000 dollar AS per tahun. Di
utara mayoritas penduduk dewasa lulusan SMA, di selatan mayoritas tidak punya
ijazah SMA dan bahkan banyak remajanya yang tidak mengenal sekolah. Dibandingkan
dengan Nogales utara, Nogales selatan penduduknya punya harapan hidup yang
lebih pendek, harus puas dengan pelayanan kesehatan yang lebih buruk,
sehari-hari harus menghadapi kondisi jalan rusak dan prasarana lain penopang
kehidupan yang tidak memadai, dan kehidupannya dihantui rasa waswas karena
tingkat kriminalitas yang tinggi.
Pertanyaan langsung
muncul di benak kita: apa penyebab utama perbedaan kondisi kehidupan yang
mencolok di dua bagian kota ini? Jawabannya: di Nogales selatan
perangkat-perangkat publik yang memengaruhi kehidupan sehari-hari warga
umumnya punya kinerja lebih buruk daripada di Nogales utara. Politiknya
kotor, pemerintahan setempat tidak peka pada kebutuhan warga, birokrasinya
lamban dan banyak mengutip pungutan, lembaga penegak hukumnya tidak bersih. Untuk
mengejar Nogales utara, bagi Nogales selatan hanya ada satu jalan, yaitu
memperbaiki kinerja lembaga-lembaga itu.
Kinerja lembaga publik
Kisah seperti itu
tidak unik Nogales.Kita menjumpai kisah serupa bila kita membandingkan Korea
Utara dengan Korea Selatan, atau—di masa lalu—Jerman Barat dengan Jerman
Timur. Juga, barangkali antara satu daerah dengan daerah lain di Tanah Air,
meskipun kontrasnya tidak akan setajam kisah-kisah antarnegara tersebut.
Pesannya satu: kinerja lembaga-lembaga publik—institusi—menentukan
kesejahteraan bangsa.
Setiap institusi
publik pada hakikatnya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu (a) satu set
aturan main; dan (b) manusia-manusia yang melaksanakan aturan main itu. Hakikat
suatu institusi bukanlah gedungnya, bukan pula berbagai peralatan canggih
yang ada di sana, bahkan bukan pula banyaknya manusia yang bekerja di sana.
Kinerja suatu institusi ditentukan oleh kualitas dua komponen intinya tadi,
yaitu kualitas aturan mainnya dan kualitas manusia pelaksananya.
Membangun institusi
jauh lebih rumit daripada mendirikan pabrik, membangun infrastruktur, atau
membuka lahan pertanian dan tambang. Institusi harus mengakar pada kultur dan
kenyataan sosial yang ada di negara itu dengan segala keunikannya. Membangun
institusi lebih mirip menanam pohon, yang harus dicocokkan dengan keadaan
tanah dan iklim yang ada.Institusi tidak bisa sekadar dijiplak dari negara
lain. Ia harus ditumbuhkan di lingkungan sosial nyata di negeri ini dan
sebagai hasil tangan kita sendiri.
Manusia adalah
building blocs institusi. Kinerja suatu institusi ditentukan oleh mutu
manusia pembuat aturan mainnya dan mutu manusia pelaksana aturan main
tersebut.
Membangun manusia untuk
membangun institusi menuntut langkah-langkah yang konsisten dan
berkesinambungan dalam rentang waktu panjang, melintas generasi. Tuntutan ini
sering tidak klop dengan siklus tahunan anggaran dan siklus politik lima
tahunan. Dalam kehidupan berdemokrasi dan berpolitik di dunia nyata,
permasalahan jangka panjang sering tersisih oleh masalah-masalah ”mendesak”
yang terus-menerus datang. Tanpa kita sadari kita terperangkap dalam dunia
yang serba jangka pendek. Kita merasa tidak sempat lagi untuk mengalokasikan
waktu dan perhatian untuk memikirkan masalah-masalah mendasar jangka panjang;
masalah-masalah yang akhirnya menentukan apakah bangsa kita akan tetap eksis
50 tahun, 100 atau 200 tahun lagi.
Kita memang tidak
pernah berpangku tangan membangun manusia. Sudah banyak program di bidang pendidikan
dan kesehatan yang dilaksanakan. Tetapi, program dan kebijakan yang fokus dan
terpadu untuk menciptakan manusia-manusia Indonesia baru yang unggul, saya
harus mengatakan bahwa kita belum punya.
Perspektifnya harus
antargenerasi. Suatu bangsa akan maju bila setiap generasi mampu menciptakan
generasi penerusnya yang lebih unggul. Oleh karena itu, fokus dan titik berat
program dan kebijakan di bidang pendidikan dan kesehatan haruslah pada
generasi muda. Langkah-langkahnya harus terpadu dengan satu tujuan, yaitu
mengembangkanpotensi jasmani-rohani anak-anak Indonesia sejak di rahim ibu
sampai, setidaknya, mereka menginjak masa remaja. Pada umur yang menentukan
ini program-program itu harus dilaksanakan dengan keterpaduan dan intensitas
maksimal. Apabila kita lalai atau terlambat, kita akan melahirkan generasi
yang kerdil secara fisik maupun mental; generasi yang mengalami stunting!
Akhir-akhir ini kita
sangat dirisaukan oleh adanya berita yang bertubi-tubi mengenai kasus
kekerasan terhadap anak dan berbagai praktik perampasan hak-hak anak. Kita
jelas terganggu secara moral. Tetapi, kita makin merasa terganggu karena kita
menyadari bahwa tindak kejahatan terhadap anak-anak mengacaukan upaya kita
membangun bangsa.
Oleh karena itu,
pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak harus menjadi Trilogi
Pembangunan Generasi Muda kita. Idealnya, ke depan setiap anak yang baru
lahir di negeri, tanpa kecuali, harus mampu dijangkau program terpadu ini.
Dua ribu lima ratus
tahun lalu filsuf Yunani kuno, Aristoteles, mengatakan, bahwa masyarakat yang
baik adalah masyarakat yang semua komponennya berada di tempat yang
seharusnya, termasuk manusia-manusianya menduduki posisi yang paling sesuai
dengan bakat dan kemampuannya. The
right person in the right place. Inilah prinsip meritokrasi. Bersama
dengan pembangunan manusia, meritokrasi merupakan prasyarat mutlak untuk
membangun institusi yang efektif.
Meritokrasi tidak
datang dengan sendirinya. Realitanya, di negara-negara yang sedang membangun
justru banyak hambatan kultural, sosial, ekonomi, dan politik yang menghadang
upaya penegakan meritokrasi. Demokrasi tidak menjamin terwujudnya
meritokrasi. Demokrasi membantu, tetapi bukan prasyarat terwujudnya
meritokrasi. Kuncinya satu: adanya kemauan politik dan komitmen yang kuat
dari elite bangsa untuk menegakkan meritokrasi. Ada satu contoh untuk ini
yang patut disebut: Singapura.
Prioritaskan di tiga hal
Mengingat kita tidak
mungkin membenahi semua institusi sekaligus, institusi- institusi mana yang
seyogianya diprioritaskan? Menurut pandangan saya, ada tiga kelompok
institusi publik yang perlu diprioritaskan karena punya dampak luas bagi
kinerja institusi-institusi lain. Institusi-institusi itu berada di ranah
politik, birokrasi, dan hukum.
Politik! Dulu pernah
ada ungkapan ”politik adalah panglima”. Ungkapan ini tidak terlalu salah
karena di negara modern politik adalah sumber utama dari aturan- aturan yang
mengikat publik. Institusi politik harus yang paling pertama dibenahi karena
ia adalah hulunya dari pembuatan aturan-aturan publik. Sebaik apa pun
institusi-institusi lain, masyarakat tak akan menikmati hasilnya apabila
aturan-aturan yang dibuat dari awal tidak baik.
Institusi politik
semestinya diisi oleh putra-putri terbaik bangsa.Di masa perjuangan
kemerdekaan dulu, mereka yang terbaik dan paling cerdas—the best and the brightest—menjadi penjuru perjuangan politik dan
karena itu kemerdekaan diraih dengan gemilang. Di masa setelah itu tampaknya
bangsa kita kesulitan untuk mempertahankan standar tersebut, dan kita
menyaksikan konsekuensinya. Demokrasi ternyata tidak menjamin putra-putri
terbaik bangsa berduyun-duyun masuk politik. Keengganan putra-putri terbaik
untuk masuk politik dan membenahi kehidupan politik tentu tidak boleh berlanjut.
Plato, guru Aristoteles, mengingatkan kita begini: ”One of the penalties for refusing to participate in politics is that
you end up being governed by your inferiors.”
Birokrasi! Institusi
birokrasi penting karena sebaik apa pun aturan mainnya tak akan pernah
diperoleh hasil yang baik bila aparat pelaksananya memble. Masalahnya sama:
bagaimana kita bisa menarik orang-orang terbaik masuk birokrasi. Birokrasi
adalah barometer utama pelaksanaan meritokrasi. Reformasi birokrasi harus
diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang menarik bagi putra-putri terbaik
untuk mengabdikan bakat dan kemampuannya bagi kepentingan publik.
Di sini pun demokrasi
tidak menjamin terwujudnya birokrasi yang baik dan ia bukan pula prasyarat
bagi berhasilnya reformasi birokrasi. Kuncinya, sekali lagi, adalah tekad
politik dan komitmen elite bangsa. Reformasi birokrasi bukan program yang
tuntas dalam satu masa kabinet, tetapi rangkaian langkah pembenahan yang
konsisten dan berkesinambungan antarkabinet.
Hukum!Saya ingin
menggarisbawahi pentingnya pembangunan institusi hukum dengan kisah sejarah
berikut ini.
Di abad ke-18 ada dua
revolusi besar yang terjadi hampir bersamaan: Revolusi Amerika (1776) dan
Revolusi Perancis (1789). Keduanya bercita-cita mulia, yaitu mengganti orde lama
yang tidak adil dan opresif di negara masing-masing dengan orde baru yang
berlandaskan demokrasi, kebebasan, dan persamaan. Namun, dalam perjalanannya
kedua revolusi itu ternyata menapak trayektori yang sangat berbeda. Revolusi
Amerika berlanjut dengan perjalanan panjang menuju pembentukan negara
demokrasi yang mapan, sedangkan Revolusi Perancis—setelah sepuluh tahun
berjalan—berakhir dengan munculnya Napoleon Bonaparte sebagai kaisar.
Mengapa? Ada berbagai
faktor yang menyebabkan perbedaan trayektori itu. Tetapi, yang paling
penting, menurut hemat saya, adalah adanya perbedaan mendasar dalam bagaimana
hukum diterapkan dalam perjalanan revolusi itu. Sejak awal para tokoh
Revolusi Amerika menginginkan sistem hukum Inggris, yang sangat mengedepankan
proses hukum, due process of law,
diadopsi di negara baru mereka. Mereka dari awal sibuk menyempurnakan dan
membangun fondasi baru bagi sistem hukum lama yang dinilai cukup baik.
Sementara para tokoh
Revolusi Perancis menginginkan sistem hukum lama yang ada dijebol dan diganti
dengan sistem yang sama sekali baru yang sesuai dengan cita-cita revolusi. Karena
berbagai sebab, dalam perjalanannya Revolusi Perancis menjadi makin radikal. Kebencian
rakyat terhadap para aristocrat dan mereka yang terkait dengan ordelama
dibiarkan menjadi motivasi dan penggerak penerapan hukum. Kekacauan hukum
terjadi. Pada masa yang disebut Reign
of Terror, 1791-1792, banyak orang dikirim ke guillotine tanpa proses hukum. Kekacauan sosial terjadi. Rakyat
mulai mendambakan kembalinya kedamaian dan ketertiban sosial. Muncullah sosok
orang kuat, Napoleon Bonaparte, yang mampu mengembalikannya. Perancis
berterima kasih dan memberinya kekuasaan absolut.
Inilah pelajaran
sejarahnya: penerapan hukum yang tidak ditambatkan pada proses hukum yang
tidak mengutamakan kebenaran dan keadilan, yang didasarkan pada kebencian,
melahirkan social disorder.
Dibutuhkan seorang diktator untuk mengembalikan social order. Dan, revolusi yang mencita-citakan demokrasi justru
akhirnya melahirkan otokrasi.
Kisah ini semestinya
menjadi pengingat bagi kita betapa pentingnya mengawal penerapan hukum yang
adil, betapa pentingnya pembangunan institusi hukum, dan betapa pentingnya
putra-putri kita terbaik masuk dan terlibat penuh dalam upaya kita membenahi
dan membangun hukum di Tanah Air tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar