Bencana Asap di Negeri Keledai
Ashadi Siregar ; Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme pada
Yayasan LP3J
|
KOMPAS,
14 November 2015
SATU KALI, KOMPAS —
membuat judul ”Penyelamatan Flora dan Fauna: Tragedi Jerebu, Petaka Hayati”
(30 Oktober 2015, halaman 20). Istilah ”jerebu” dikenal di kawasan berbahasa
Melayu (Deli, Riau, Semenanjung Malaya).
Jerebu bukan sekadar
asap, tetapi termasuk di dalamnya partikel debu arang yang memerihkan mata
dan mengganggu pernapasan. Jerebu pada dasarnya bersumber dari kebakaran yang
bersifat masif. Bagi masyarakat yang terkena dampak, sangat jelas sebutan
jerebu betul-betul sebagai penghancur kehidupan manusia, dan seluruh sumber
daya hayati umumnya akibat kebakaran di area yang luas.
Dalam melihat pemberitaan
media pers, pada dasarnya berfokus pada dua aspek, yaitu fenomena fisik asap,
dan langkah mitigasi. Peralihan sebutan bencana ke tragedi bagi koran Kompas
tentunya membawa perubahan paradigma dalam menghadapi fakta. Bencana (alam)
diartikan sebagai peristiwa yang tidak terelakkan, sementara tragedi adalah
akibat yang melanda manusia dari suatu peristiwa ekstrem, baik karena alam
(tak dapat dihindari)atau perbuatan manusia.
Kedua sebutan
itu,bencana maupun tragedi, bersifat konotatif. Denotasinya adalah kebakaran
di kawasan tertentu dan asap pekat di wilayah yang jauh lebih luas.
Penyebab kebakaran
dapat berupa kekeringan dari El Nino. El Nino boleh dipersalahkan, tetapi
masalah mendasar tetaplah kebakaran yang masif. Adapun fakta kepekatan jerebu
ini ada parameternya berupa indeks standar pencemaran udara (ISPU) yang
mencakuppengukuran kuantitas zat berbahaya, seperti karbon monoksida, sulfur
dioksida, nitrogen dioksida, danozon.
Fenomena asap yang
terjadi di Sumatera dan Kalimantan, belakangan di Papua, bagi koran Kompas
dilihat pada efek berupa tragedi kemanusiaan. Untuk itu Kompas menggunakan
sebutan ”Tragedi Asap” untuk rubrik liputan khusus beritanya. Dengan
diksiyang dramatis ini tentunya diharapkan dapat menggugah
pembaca.Persoalannya, apakah tragedi kemanusiaan masih dapat menggugah
pengusaha korporasidan pejabat publik di kawasan penyebab fenomena asap
pekat?
Menulis dengan perspektif
Di negeri ini,
manakala musim hujan tiba, bencana kekeringan dihentikan oleh alam.
Karut-marut pejabat publik di kawasan terlanda kebakaran dan asap juga akan
mereda, dan otomatis karut-marut pemberitaan pers pun akan berhenti. Nanti,
ganti soal banjir. Percayalah. Begitu biasanya. Kita biasa terantuk ke batu
yang sama berkali-kali.
Dari sini bisa dilihat
bahwa dinamika yang berlangsung adalah dari alam, yaitu adanya kejadian
ekstrem berupaasap pekat. Untuk itu perlu dilihat langkah pejabat publik,
baru kemudian pemberitaan.
Kalau jurnalis
dituntutuntuk menulis dengan perspektif kesejarahan, sementara pejabat publik
hanya blusukan saat peristiwa kritis, kemudian cukup membuat keputusan
momentum bak ”problemshooter”, dengan sendirinya liputan
berperspektifkesejarahan tidak ada artinya.Paling banter menumbuhkankesadaran
pada publik pembaca betapa abainya pejabat publik kita.
Untuk pencitraan,
pejabat publik dapat merancang adegan bersama warga yang hidupnya tragis, dan
juga membuat keputusan cepat untuk mengatasi masalah kritis. Efek
kesegeraansuatu keputusan mendongkrak popularitas. Akan tetapi, berbagai
fenomena tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan publik bersifat
momentum.Mengatasi kebakaran di kawasan masif dengan membeli pesawat terbang
penyemprot api merupakan contoh keputusan jangka pendek ala ”problemshooter”.
Memadamkan kebakaran memang perlu secepatnya, selain berdoa agar musim hujan
di Indonesia dan kawasan sumber asap disegerakan oleh Tuhan.
Akan tetapi, yang
tidak kalah penting adalah melihat secara komprehensif seluruh permasalahan
yang menyebabkan berulangnyakebakaran masif ini. Kita tidak mendengar bahwa
Presiden RI selaku chief executive officer pemerintahan mengumpulkan kepala
daerah dari kawasan sumber tragedi untuk sekaligus dihadapkan dengan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna mengurai problem yang bersifat sistemik.
Apakah ada, siapa yang tahu di mana ditempatkan ”ruang operasi” guna
mengatasi tragedi ini?
Mengatasi secara
sistemik tentulah perlu melihat fakta secara komprehensif. Pertama, secara
fisik dapat dilihat dengan foto satelit sebaran kebakaran. Lebih jauh, area
ini perlu diidentifikasi komposisi kawasan terbakar, seberapa luas dan di
mana saja kawasan pertanian rakyat, konsesi hak guna usaha (HGU) korporasi,
dan hutan negara/adat.
Media pers, kalau mau,
tentunya mampu mendapatkan peta area kebakaran secara fisik dari sumber
pengelola satelit cuaca. Berbeda dengan komposisi penguasaan area sumber asap
pekat, yang hanya dapat diperoleh pers jika pengambil keputusan memang punya
data dimaksud. Sejak awalpeta yang menggambarkan komposisi penguasaan area
terbakar ini seharusnya sudah dibuka kepada publik, dan dari sini langkah
penindakan dapat dijalankan. Tindakan tentunya berbeda terhadap obyek-obyek
sesuai dengan karakteristik kategori penguasaan area.
Melihat akar masalah
Saya membayangkan,
akan lebih berguna manakala saat blusukan ke daerah terdampak Presiden Joko
Widodo meminta pejabat setempat dan Menteri LHK memperlihatkan/memaparkan
peta area sumber kebakaran dan luasan terdampak, sekaligusmenunjukkan
komposisipenguasaan area.
Akan sangat bernas
manakala media pers ikut memberitakan komposisi area terdampak, dan di situ
Presiden memerintahkan membekukan seluruh konsesi korporasi yang abai
sehingga areanya terbakar secara masif. Berita semacam itu jauh lebih
bernilai untuk pencitraan ketimbang menghadapkan warga Suku Anak Dalam dengan
”pakaian” aslinya kepada sang Rajo.
Yang terjadi, media
sosial sibuk mempersoalkan pencitraan ala ”pertemuan” dengan warga Suku Anak
Dalam, sementara media arus utama berusaha menjelas-jelaskan keotentikan
adegan. Padahal, bukan di situ duduk soalnya. Blusukan kebakaran bersifat
mikro dan keputusan bersifat momentum,tidak akan menyelesaikan masalah secara
sistemik.
Akar permasalahan
adalah perlunya regulasi yang ketat dan konsekuen dalam hal pemberian konsesi
penerokaan hutan kepada korporasi. Instruksikan korporasi memadamkan
kebakaran di area konsesinya. Kelalaian yang mengakibatkan kerugian besar
harus ditindak.
Berikutnya,segera
bangun sistem pengairan lingkungan (eko- hidro) di hutan lahan gambut dengan
prioritas di area pertanian rakyat dan hutan negara/adat. Kalau tidak masuk
dalam APBN tahun berjalan, presiden tentu punya kewenangan mengalihkan
anggaran, kalau perlu menghentikan bikin jalan tol.
Penanggulangan
kebakaran yang menyebabkan jerebu itu mendesak, karena senantiasa berulang.
Memangnya mau jadi keledai? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar