Jumat, 06 November 2015

Ancaman Kebiri bagi Pemerkosa Anak

Ancaman Kebiri bagi Pemerkosa Anak

Bagong Suyanto  ;  Dosen Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
                                                     KOMPAS, 03 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Batas kesabaran terhadap pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak tampaknya sudah benar-benar habis. Tak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri kabarnya setuju jika pelaku pemerkosaan terhadap anak mendapat tambahan hukuman berat.

Selain ancaman penjara, pemerkosa anak juga akan disuntik kebiri. Pemerintah dikabarkan tengah menyusun draf peraturan pemerintah pengganti undang- undang untuk merealisasikan usulan pengebirian bagi pelaku tindak kejahatan seksual atas anak.

Dalam jumpa pers yang dilakukan di Kantor Presiden, 20 Oktober 2015, pemerintah memahami bahwa tindak kekerasan seksual terhadap anak sering kali menimbulkan rasa traumatis yang luar biasa pada korban. Untuk mencegah atau minimal membuat pelaku paedofilia jera, pemerintah dalam waktu dekat diharapkan sudah bisa mengeluarkan perppu yang mengesahkan tindak kebiri bagi seseorang yang terbukti secara hukum melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.

Penderitaan korban

Secara umum yang dimaksud tindak pemerkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan secara paksa dan merugikan pihak korban. Pemerkosaan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang (lelaki) terhadap seseorang korban (biasanya perempuan) dengan cara yang menurut moral dan/atau hukum yang berlaku adalah melanggar (Wignjosoebroto, 1997). Sementara itu, Brownmiller (1975) mendefinisikan pemerkosaan sebagai pemaksaan terjadinya hubungan seks terhadap perempuan tanpa persetujuan ataupun tanpa kehendak yang disadari oleh perempuan itu.

Pemerkosaan terhadap anak adalah salah satu bentuk dari tindak kekerasan kejahatan yang meresahkan. Dampaknya bukan sekadar terjadi luka fisik, melainkan luka psikologis yang akan dibawa dalam pikiran korban hingga ia meninggal dunia.

Tindak pemerkosaan adalah puncak dari tindak pelecehan seksual yang paling mengerikan. Berbeda dengan tindak kekerasan lain, seperti korban penjambretan, pemukulan, atau penipuan, tindak pemerkosaanmenimbulkan luka traumatis yang mendalam, terlebih jika korban anak di bawah umur.

Bagi anak-anak korban tindak pemerkosaan dan kemudian dibunuh, mereka sesungguhnya bisa dikatakan tergolong ”beruntung” karena penderitaannya telah berakhir ketika mereka tewas. Namun, bagi anak-anak korban pemerkosaan yang terselamatkan atau dibiarkan hidup oleh pelakunya, mereka mengalami tekanan dan penderitaan yang seolah tak berujung batas karena pengalaman traumatis yang dialaminya. Dalam berbagai kasus, anak yang jadi korban pemerkosaan biasanya akan stres yang berkepanjangan, dan bahkan tidak mustahil tumbuh dengan mental yang disorder.

Sesungguhnya apa yang dialami anak-anak korban tindak pemerkosaan adalah sebuah penderitaan yang jauh lebih dahsyat daripada apa pun kerugian lain yang mereka rasakan. Anak perempuan korban pemerkosaan akan mengalami trauma psikologis yang tak terperikan dan mereka biasanya tak akan kuat menanggung tekanan sosial dari masyarakat karena memperoleh stigma seumur hidup. Anak yang jadi korban pemerkosaan setelah kejadian akan jadi mudah curiga, tidak mudah percaya kepada laki-laki, dan merasa teralienasi dari lingkungan sekitarnya—atau mengalami apa yang disebut rape trauma syndrome.

Banyak kasus membuktikan, anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan ketika dewasa tak dapat melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita vaginismus, di mana otot dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup saat melakukan hubungan kelamin. Minimal, korban akan mengalami dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang dirasakan sebagai penderitaan apabila melakukan hubungan seksual.

Dampak traumatis dari tindak kekerasan seksual sering berpengaruh pada munculnya perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta martabat anak-anak korban pemerkosaan hingga mereka tua sekalipun. Anak korban tindak kekerasan seksual biasanya akan tumbuh dengan kepribadian dan jiwa yang terluka. Mereka acap kali merasa rendah diri, minder, merasa tak berharga. Bagi yang tak kuat, bukan tak mungkin memilih mengakhiri penderitaannya dengan cara bunuh diri.

Setimpal

Melihat betapa mengerikan dampak yang dialami anak-anak korban pemerkosaan, bisa dipahami jika muncul desakan agar dirumuskan formula sanksi yang benar-benar efektif untuk mencegah dan membuat jera pelaku pemerkosaan terhadap anak.

Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan: alih-alih dihukum berat dan dijatuhi vonis maksimal, di Tanah Air ini ketika kasus pemerkosaan terhadap anak dibawa ke meja hijau, para pelaku tindak pemerkosaan sering kali justru dijatuhi hukuman ringan. Sementara itu, penderitaan dan masa depan korban yang terenggut seolah tidak dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan sanksi bagi pelaku.

Untuk mencegah agar tindak pemerkosaan terhadap anak tak makin marak dan sekaligus membuat jera pelaku, berbagai pihak telah melontarkan wacana agar pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak disuntik hormon yang dapat menghilangkan libido nafsu seksualnya. Ancaman hukuman kebiri terhadap pelaku paedofilia ini didesak segera diberlakukan karena kebijakan ini sebetulnya bukan hal yang baru di dunia internasional. Hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak sudah banyak dilakukan di sejumlah negara, seperti di Amerika, Jerman, Australia, Denmark, dan Korea Selatan.

Meski ancaman tambahan hukuman kebiri ini dalam praktiknya sulit dapat berjalan efektif dan mampu mengurangi tindak kejahatan seksual terhadap anak di masyarakat, tetapi kalau menimbang bagaimana penderitaan yang mesti ditanggung anak yang menjadi korban pemerkosaan seumur hidupnya, maka hukuman kebiri bagi pelaku sesungguhnya masih jauh lebih ringan atau paling tidak setimpal dengan penderitaan korban.

Satu hal yang perlu digarisbawahi: di luar perdebatan tentang efektif-tidaknya ancaman hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, persoalan yang tak kalah penting adalah bagaimana menjamin proses persidangan untuk membuktikan terjadi tidaknya kasus pemerkosaan tidak menjadi bentuk tindak pemerkosaan baru yang justru merugikan korban.

Kita tentu telah mengetahui, dalam beberapa kasus pemerkosaan yang dicoba diselesaikan secara hukum, kadang-kadang mentah di tengah-tengah, karena pihak keluarga korban menarik pengaduannya, dan lebih memilih memendam penderitaannya karena tidak menginginkan anaknya mengalami trauma baru akibat proses pengadilan yang memaksa mereka mengingat kembali aib yang telah dialami.

Membuat peraturan yang mengesahkan hukuman kebiri bagi pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak, sebagai suntikan dukungan moral bagi anak yang jadi korban tindak pemerkosaan memang dibutuhkan. Tetapi, jangan lupa untuk membuktikan kesalahan pelaku masih ada satu tahapan antara yang krusial, yakni proses persidangan yang bisa saja malah menambah beban penderitaan baru bagi korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar